Selasa, 31 Desember 2013

Menoleh Sejenak


Waktu berlalu begitu cepat. 365 hari, 8.760 jam, 525.600 menit, semua merangkak, berjalan, lalu berlari dan terbang dengan kilat. Masih teringat jelas, bagaimana aku mengawali tahun 2013 dengan tertatih. Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya di akhir tahun 2012.

Dan hari ini tahun 2013 berakhir. Aku mengakhirinya dengan senyum lebar sambil melihat ke sana. Ke masa bodoh-bodohnya aku menjalani hidup. Satu kata, “LUCUK!". Kadang, bagian hidup yang paling lucu itu, ya menertawakan diri sendiri.

2013 itu, masa di mana kapabilitasku sebagai perempuan dewasa benar-benar diuji. Dan lagu di atas menjadi themesong sepanjang tahun.

Wish the best for 2014. Happy new year.

Selasa, 24 Desember 2013

Review, 99 Cahaya di Langit Eropa


99 Cahaya di Langit Eropa. Dulu, pertama kali tahu judul ini langsung tertarik. Pokoknya harus nonton. Bukan karena jalan ceritanya. Tapi karena –kalau dilihat dari judulnya– pasti settingnya di Eropa. Entahlah, ada sesuatu yang membuat saya tertarik dengan benua yang satu itu. Apalagi jika penjelajahannya dilakukan oleh orang lokal.

Sejak kunjungan ke Girona, dan menemukan satu gereja yang pernah beralih fungsi sebagai masjid, saya merasa ada banyak tempat lain di Eropa yang menyimpan jejak-jejak peradaban islam.

Lalu, saya googling judul tersebut. Ternyata benar, film yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Mbak Hanum Rais –merupakan putri dari Bapak Amin Rais– dan Mas Rangga Alma –suaminya– ini menceritakan tentang perjalannya selama 3 tahun di Eropa. Dan menemukan tempat-tempat ziarah baru di sana.

Di tangan sutradara Guntur Soeharjanto buku ini divisualisasikan dalam sebuah film. Dua bintang utamanya, yaitu Acha Septriasa (Hanum) dan Abimana (Rangga), mereka berperan sebagai sepasang suami istri yang hidup di Vienna demi melanjutkan pendidikan. Rangga sibuk sebagai seorang mahasiswa, sedang Hanum, untuk mengisi kebosanan hari-harinya dia mengikuti les bahasa Jerman.

Saat les bahasa itulah, dia bertemu dengan Raline Shah (Fatma), seorang Turki yang menetap di Austria. Dari pertemuan ini, perjalanan dimulai. Dimulai dari Vienna, Austria. Lalu perjalanan dilanjutkan ke Paris, Ibukota Perancis yang sangat terkenal dengan menara eiffelnya itu.

Bukan karena mupeng ingin menjamah tempat-tempat wisatanya yang membuat saya menyeka air mata berkali-kali. Tapi, isi perjalannya. Sejarah islam, jejak-jejak peradabannya, bagaimana seharusnya seorang muslim berlaku?

Film ini membuat saya jatuh cinta kembali pada agama yang selama ini saya anut. Islam. Melalui seorang Fatma, kelembutan islam digambarkan. Betapa dia tetap baik kepada orang yang menjahatinya, seperti yang diajarkan Kanjeng Nabi. Sulitnya menjadi muslim di eropa tidak membuatnya goyah untuk tetap menjadi agen muslim di sana. Dia ingin menebus perbuatan moyangnya, Kara Mustofa Pasha yang gagal meluluhkan Eropa dengan perang dan kekerasan. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan senyum dan kelembutan.

Sebenarnya, dari segi konflik, film ini biasa saja –kalau di novel aslinya saya tidak tahu, belum pernah baca–. Tapi disampaikan dengan gambar yang enak dilihat. Jadi yang nonton pun merasa nyaman. serasa ikut jalan-jalan di eropa. Dialognya saya suka. Ringan banget, tapi tetap berisi. Gampang dicerna sama otak.

Yang menjadi pertanyaan saya untuk film-film Indonesia yang berlatar di luar negeri adalah, kenapa orang turki itu pandai berbahasa Indonesia? dulu di Ayat-ayat Cinta juga kan? Aisyah yang dari Turki itu lancar berbahasa Indonesia. Sekarang Fatma dan anaknya juga. Iya, sih. Ini untuk memudahkan penyampaikan pesan saja. Tapi kalau bisa pakai bahasa aslinya kan lebih bagus. Bisa sekalian buat media belajar.

Yang saya tunggu selanjutnya adalah perjalanan ke Spanyol dan Turki. Sepertinya lebih seru. Dan untuk itu saya harus sabar menunggu sampai part selanjutnya ke luar. 
 
Well, goodjob for Mas Guntur Soeharjanto and team. Filmnya bagus dan pesannya ngena.

Kamis, 05 Desember 2013

Barcelona, Fifth Day

Haiho.... Ketemu lagi yak!

Udah masuk hari kelima aja. Cepet banget yak kalo jalan-jalan di negeri orang. Btw, hari ini kami diajak shopping-shoping lagi nih. Saya dan rombongan diarak ke La Roca Village dan Maremagnum sama Om Mario, tour leader kami. Dua-duanya merupakan pusat perbelanjaan tekenal di Barcelona.

La Roca Village berada di sebelah utara Barcelona, arah menuju Itali. Perjalanan ke tempat ini tidak sampai satu jam. Dengan pemandangan yang aduhai di sepanjang jalan, rasanya sayang sekali kalau harus dilewatkan tanpa menikmatinya. Area persawahan membentang luas di sisi kanan dan kiri jalan. Dari kejauhan, saya bisa menangkap tanaman berupa sayur mayur dan bunga-bunga tertancap di sana. Apa pun itu, yang pasti bisa membuat mata saya melek, setelah tadi sempat terserang kantuk yang luar biasa.

Tempat perbelanjaan yang luar biasa.

Di sini tidak ada bangunan bertingkat ala mall atau warung-warung yang berdesakan seperti di pasar tradisional. Bangunannya seperti kompleks perumahan dengan dua lantai, terlihat rapi dan teratur. Sangat nyaman untuk sekedar jalan-jalan. Tempat ini seperti kampung berkumpulnya brand-brand dunia. Botiga, Billabong, Chamber, Channel, Celvin Klein, Furla, Gucci, Garments, Hackett London, Lacoste, Old Ridel, Puma , Vans dan masih banyak lagi brand yang namanya masih asing di mata saya. Masing-masing dari mereka punya satu rumah di sini yang berupa factory outlet.

Awalnya saya sendiri bingung, mau apa di tempat seperti ini? Uang di dompet saya tentu saja tidak cukup kalau diniatkan untuk shopping beneran. Well, saya yang jalan berdua dengan Sarah hanya seperti menjadi pengamat di tempat ini. Keluar masuk dari satu Outlet ke Outlet lain. Melihat produk dan ngecek harga.

Mahal.

Iya, tentu saja. Kalau menilik dari merk-merk di atas, sudah bisa dipastikan harganya kisaran berapa, kan? Tapi itu masih lebih murah jika dibandingkan dengan yang ada Indonesia. padahal, setahu saya yang pernah bekerja di pabrik garment, dan kebetulan pernah menangani beberapa merk tersebut di atas, barang-barang itu dibuat oleh tangan-tangan orang Indonesia lho. Lantas dikasih main label merk luar dan dijual dengan harga menggunung seperti itu. jadi, jangan terlalu bangga lah buat orang-orang yang suka membeli barang [yang katanya] merk impor. Itu hasil karya orang lokal kok. 

Terimakasih atas kunjungan anda
Taman depan La Roca Village
Jalan-jalan di La Roca Village
Bareng Sarah
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Maremagnum. Nama yang tidak asing, bukan? Saat menulis kata itu saya langsung teringat salah satu brand eskrim kesukaan saya hehe....

Maremagnum ini sebuah pusat perbelanjaan dan hiburan di pusat kota. Merupakan satu-satunya mall di Barcelona yang masih buka di hari minggu. Terletak di pinggir dermaga dengan pemandangan air yang sekali lagi, luar biasa. Saya selalu kagum dengan kebersihan tempat di Barcelona.

Di Maremagnum kamu bisa berbelanja sepuasnya. Soal harga, tentu saja jauh lebih murah daripada di La Roca. Ini kalau di Indonesia seperti BTC Solo lah. Sedikit lebih elegan di sini sih. Outlet baju, sepatu, make up, market, restoran, bioskop, semua ada dalam satu area Maremagnum.

Saat menjelang malam, banyak orang yang hanya sekedar duduk-duduk di dekat dermaga atau di seberang Bioskop yang lantainya terbuat dari kayu yang tertata rapi.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan hari ini. Karena seharian hanya belanja. Sama saja dengan kegiatan belanja yang lain di negeri sendiri. Bedanya, di sini tidak ada tawar menawar. Dan saat saya membayar ke kasir harus pakai bahasa asing. Melihat ke arah monitor jumlah pembayaran, kasih uang, dan bilang “Gracias”. 
 
Dermaga di samping Maremagnum
Maremagnum Cinema
Air dermaganya bening banget
Mungkin nanti akan lebih menarik cerita di hari terakhir. Jalan-jalan ke mana? Masih rahasia. Yang melewatkan hari ke satu, dua, tiga, empat, bisa blogwalking ke sini ^^. 

>> To be continue

Minggu, 01 Desember 2013

Life... (1)


SMS dari Silla

“Aku putus sama Andre! Gara-gara dia belum bisa move on dari mantannya!”

What?! Masih nggak paham sama jalan pikiran sahabatku yang satu ini. Pacaran udah dua tahun dan putus gara-gara gagal move on. Terus selama dua tahun ini mereka ngapain aja? Cuma ciuman dan gandengan tangan? Naif sekali.

***

Shilla datang padaku dengan mata berbinar. Lagi-lagi dia membawa segepok cerita tentang Andre. Lelaki yang baru dua bulan ini dikenalnya lewat sosial media. Baru dua bulan, tapi lelaki itu sudah berhasil meracuni otak Silla dengan pesonanya. Merampok hati Silla dengan perhatiannya.

“Nar, Andre tuh baik banget lho. Pinter, alim, ganteng, perhatian pula.”

“Oh, ya? Kamu kan baru kenal sama dia?”

“Iya sih. Tapi Beneran dia baik banget. kemarin aja aku dibawain coklat sama bunga.”

Cuma disogok sama coklat dan bunga dan langsung menjudge bahwa pribadi seseorang itu baik. Begitulah jatuh cinta. Sejuta rasanya. Dunia milik berdua, yang lain pada ngontrak semua. Kayak Silla ini, yang khayalannya sudah melanglang buana ke mana-mana.

“Dia juga udah cerita banyak tentang kehidupan pribadinya sama aku. Kasian deh, Nar. Dia dihianati sama mantannya. Ceritanya sama kayak aku, kan?”

Oh, jadi masalahnya perasaan senasib. Sama-sama merasa dikhianati. Disakiti. Ditinggal pergi. Dan sama-sama butuh tempat untuk bersandar, berbagi sisa-sisa luka. Baiklah, aku mulai paham.

“Kemarin dia nembak aku. Dan aku tak kuasa menolak. Kami jadian, Nar. November tahun ini benar-benar berkah. Tuhan megirimkan pengeranku. Dia bilang, dia serius sama aku. Dia udah capek pacaran mulu.”

Secepat itukah? Mataku hampir saja melompat. Untung ada kontak lens yang menghalanginya. Seingatku, dulu dengan mantan sebelumnya, Silla juga bilang kayak gitu, dia serius. Tapi, apa mau dikata, takdir berucap lain. Silla putus setelah tiga tahun pacaran, gara-gara mantannya kegap lagi jalan sama cewek lain.

Semoga saja pilihan Silla kali tepat.

***

Dua tahun berlalu, di bulan yang sama, kini Silla datang padaku dengan matanya yang sembab. Sisa-sisa tangisannya masih terlihat jelas di wajahnya yang sayu. Dalam semalam, matanya berubah menjadi mata panda. Kantung matanya membesar dan sedikit menghitam.

“Nar, selama ini aku dibohongi. Ternyata Andre belum bisa move on dari mantannya hikshiks….” Lagi, tangis Silla pecah. Sekotak tissue yang baru saja kubeli dari mini market sebelah ludes dalam sekejap. Air mata dan ingusnya deras mengalir. Bak sungai ciliwung di musim hujan. Banjir.

“Sabar ya, Sil….” Aku tidak tahu kata ampuh apalagi yang bisa kukatakan selain sabar.

“Dua tahun, Nar. Dua tahun hikshiks….”

Kuelus punggung Silla selembut mungkin.

“Kemarin, nggak sengaja aku nemu diarinya. Aku penasaran, lalu kubuka. Dan isinya menyakitkan, Nar. Selama ini kupikir dia benar-benar mencintaiku, ternyata… hikshiks….”

Kurangkul Silla. Kubiarkan dia bersandar di bahuku. Mengeluarkan segala gemuruh hatinya yang sedang terkoyak karena cinta. Karena sosok bernama Andre. Lelaki yang dua tahun lalu pernah dia bangakan dan yakini kesungguhannya. Yang meskipun waktu itu sudah kuingatkan untuk berhati-hati, tapi tak pernah digubris olehnya. Semua kata-kataku mental. Tak bisa menembus akal sehatnya.

“Ternyata, selama ini dia belum bisa melupakan mantannya. Di buku itu dia nulis, meskipun ada aku di sampingnya, tapi mantannya adalah yang terbaik. Yang tidak pernah akan dia lupakan seumur hidup. Aku sakit, Nar. Hikshiks….”

Ya, sebagai sesama perempuan, aku mengerti perasaan Silla. Perempuan normal mana sih, yang mau diduakan secara perasaan? Di mana-mana, perempuan itu ingin dijadikan sebagai satu-satunya penghuni hati. The one and only

“Aku bisa menerima kalo dia punya masa lalu. Tapi, tolong jangan bawa masa lalunya di masa depanku.” Silla sedikit lebih tenang. Dia berusaha mengatur napasnya yang masih sesenggukan.

“Sabar ya, Sil. Hidup itu memang kadang-kadang keras dan tak terduga. Tidak semua hal harus berjalan seperti yang kita mau. Kamu dulu pernah mengalami masa-masa seperti ini, kan? Dan kamu bisa melewati. Sekarang juga kamu harus bisa.”

“Iya, Nar. Tapi sakit…..”

“Gini, deh. Kalo Tuhan lagi-lagi memberi ujian yang sama pada kita, itu artinya kita belum lulus di ujian sebelumnya. Dan kalo kali ini kamu belum lulus juga, bisa jadi nanti kamu akan mengalami hal yang sama lagi.”

“Nggak, ah. Aku udah kapok. Besok lebih hati-hati lagi aku, Nar.”

Kupeluk sahabatku ini dengan erat. Semoga pelukan ini bisa sedikit saja melegakan hatinya. Semoga November kelabu ini bisa dilaluinya dengan baik. Dua November yang dilalui Silla dengan rasa yang berbeda.

***

Dan empat bulan kemudian, kulihat Silla sudah jalan lagi dengan seorang laki-laki yang kukenal dia adalah seorang playboy. Duhhh, Silla. Aku cuma bisa tepok jidat sendiri. Hanya bisa berharap kalau Silla akan bisa menjaga dan membawa diri dengan sebaik-baiknya. Dan tak mengulangi kebodohannya untuk ke sekian kali.

Kamis, 21 November 2013

Hati-hati Dengan Ekspektasi

Setiap manusia, apalagi yang sudah masuk ke dalam kasta dewasa, tentu pernah mengalami satu masa di mana kita merasa down se-down-down-nya. Melewati satu masa di mana kita merasa dipermainkan oleh takdir. Kalo kamu bilang belum pernah, berarti kamu orang yang kurang beruntung. Karena telat naik kelas. Telat mendapatkan pelajaran hidup yang seharusnya bisa membuatmu lebih bijaksana.

Atas permintaan seorang teman, kali ini saya ingin sedikit sok tahu tentang psikologis. Karena saya tidak ahli dalam bidang ini, jadi saya akan mencoba berbagi tentang pengalaman pribadi saja. Dari pada ngomongin orang lain. Ya, kan? Udah, iyain aja!

Panggil saja dia Dodi (nama samaran). Dia mantan teman dekat saya. Kami pacaran saat sama-sama masih duduk di bangku SMA. Ceritanya cinta monyet gitu. Itu sudah berselang bertahun-tahun yang lalu. Dan Alhamdulillah, sampai detik ini hubungan kami baik-baik saja. Bahkan saat saya menulis ini pun, saya sedang kakaoan sama dia. Saya kenal baik dengan keluarganya, begitu pun sebaliknya.

Saat berpacaran, saya tidak punya ekspektasi apapun tentangnya. Saya menikmati saat-saat bersamanya, ya sebagai remaja. Untuk having fun saja. Lucu-lucuan. Saat itu kalau saya disuruh milih, saya tidak akan memilih dia untuk menjadi pendamping hidup saya. Saya gak yakin sama dia, dia kan playboy. Tapi ganteng. Ya udah, lumayan kan untuk temen jalan-jalan. Kalo orang bilang “wangun dijak kondangan”. Dan dia secara fisik, dia lebih dari wangun. Ini dari sudut pandang anak SMA lho.

Waktu berlalu. Seiring dengan berakhirnya masa-masa SMA, berakhir pula hubungan kami. Awalnya sih sakit. Tapi itu cuma sebentar. It’s so easy to moving on.

Kesimpulannya, saat kita tidak punya ekspektasi apapun terhadap seseorang atau suatu hal, kita akan lebih siap dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Kita akan legowo, karena saat kita jatuh pun, itu bukan dari tempat yang begitu tinggi. Tapi hanya sedekar kesandung.

Jadi, jika kita merasakan sakit atau kecewa yang luar biasa saat kehilangan seseorang atau sesuatu, jangan langsung melimpahkan segala kesalahan padanya. Tengok diri sendiri dulu. Seberapa besar ekspektasi kita kepadanya? Jangan-jangan kita yang salah, karena terlalu berharap sama orang yang salah?

***

Alam bawah sadar kita itu sebenarnya selalu mengirimkan sinyal jika ada sesuatu yang tidak beres dengan diri kita atau lingkungan di sekitar kita –Teori darimana? Lupa–. Tapi, kitanya sering mengabaikan. Misal, saat kita menjalin hubungan dengan seseorang. Kita tahu ada yang salah dengan hubungan itu. Tapi karena satu, dua, tiga, empat (malah itung-itungan) hal, kita sering memaksakan hubungan itu untuk tetap berjalan. Kita lebih sering menuruti hati, dari pada nurani. Padahal kebenaran yang sebenar-benarnya kan nurani –Yun, bangun, Yun! Gak ngelantur–. Oke! Anggap saja saya lagi ngelantur. Tapi mari, kita menunduk sejenak. Bertanya pada nurani masing-masing. Dan temukan sendiri jawabannya di sana.

#edisiyuyunlagiselo

Rabu, 13 November 2013

Pabozz, My Favorite Author

Btw, ini foto favorit saya lho. Lucuk!
Ah, Tuhan Sayang Padaku Kok
Sekitar 4 tahun yang lalu. Saat itu saya sedang berada di sebuah pameran buku di Kota Salatiga. Mondar-mandir mencari buku yang ringan untuk bacaan sehari-hari. Dan tentu saja yang harganya sesuai dengan budget bulanan saya waktu itu. Akhirnya pilihan saya tertuju pada buku bersampul putih dengan gambar hati bergelantungan berwarna merah dengan judul yang menggelitik. Ah, Tuhan Sayang Padaku Kok. Membaca judulnya saja, sudah membuat saya penasaran untuk tahu isinya. Bukan dari penerbit terkenal sih –I mean, yang sudah saya kenal bhehe–. Tapi tetap saja saya tergerak untuk memiliki buku itu.

Seperti sudah jodoh. Saya merasa klik dengan buku itu. Isinya ringan. Bertutur tentang kehidupan kita sehari-hari. Bahasanya juga asyik. Konyol. Gak berat-berat amat. Gak nyastra-nyastra amat juga. Tapi pesannya ngena banget. Rasanya seperti dijewer, ditampar, dibogem, digelitik, dikuliti setiap kali membaca bab-bab di buku itu.

Selesai membaca, ternyata ada informasi lengkap mengenai penulisnya. Dari situ, saya mulai kepo tentang penulisnya. Nama kecilnya Herman Hidayatullah. Lahir di Sumenep, 13 November 1977. Entah sejak kapan berganti nama menjadi Edi Mulyono. Dan kemudian beken dengan nama Edi Akhiles di berbagai jejaring sosial. Saya mulai search akun FBnya. Add friend. Dan alhamdulillah bisa diterima dengan baik oleh beliau.

Sejak saat itu, saya tidak pernah melewatkan notes beliau di facebook. Bahkan beberapa ada yang saya print. Dan kemudian dipinjam oleh beberapa kawan saya –Maap, ya, Pak. Ndak ijin dulu–. Buku yang saya beli pun sering berpindah tangan. Dari satu kawan ke kawan lainnya.

Dan pada bulan April tahun ini, Tuhan mengabulkan doa saya untuk bertemu beliau –FYI, saya berulang tahun di bulan April. Jadi anggap saja ini hadiah dari Tuhan–. Dengan ikutan nyusup ke Kampus Fiksi. Dan bonusnya saya mendapatkan banyak teman di sini. Pertama kali ketemu, speechless. Makanya gak banyak omong. Takut salah, takut apalah, karena di sana saya merasa kecil. Berada di antara para penulis, dan saya tidak bisa menulis, rasanya seperti pecundang. Lumayan minder.

Sebenarnya, saya kagum dengan beliau bukan hanya karena tulisannya. Tapi lebih karena perilaku beliau yang patut dijadikan contoh. Sedikit banyak, pengalaman hidup dan pemikiran-pemikiran beliau telah di-share ke banyak orang. Baik dalam bentuk buku, atau postingan di blog. Seorang yang nyata pernah saya kenal yang membuktikan bahwa kalimat “from zero to hero” itu gak pernah salah. Seorang CEO dari Diva Press Group yang peduli dengan seluruh karyawannya. Seorang penulis besar yang peduli dengan bakat-bakat penulis muda. Seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya. Seorang anak yang berbakti pada orang tua. Dan seorang manusia yang peduli pada sesama. Setidaknya seperti itulah beliau di mata saya. –Maaf lagi ya, Pak. Waktu itu pernah ngomongin sama supir yang menjemput dan mengantar saya. Tapi ngomonginnya yang baik-baik kok. Suerrr! *sungkem*–

Berkat Kampus Fiksi, yang artinya berkat beliau juga, sekarang saya jadi seneng nulis. Nulis apa aja yang ingin saya tulis. Meskipun saya gak punya ekspektasi apa-apa tentang apa yang saya tulis. Tapi tetep saya ingin menulis. Setidaknya untuk berbagi pengalaman dengan orang lain. Dan menuliskan sejarah untuk diri saya sendiri. Mungkin, nanti, 10 atau 20 tahun ke depan, tulisan-tulisan itu bisa jadi pengingat tentang masa-masa sekarang saya. Karena otak punya keterbatasan untuk mengingat, sedangkan tulisan itu abadi.

Dan hari ini. Rabu. 13 November 2013. Beliau. Bapak Edi Mulyono a.k.a Edi Akhiles yang saya cintai dan kagumi berulang tahun yang ke 36. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Semoga sisa usia yang dimiliki semakin berkah dan bermanfaat. Semoga keluarganya semakin sakinah, mawadah, warahmah.

Terima kasih telah menjadi salah satu inspirasi dalam hidup saya. Terima kasih telah mencetak nama @yuyun_en di salah satu buku terbitan Diva Press. Meskipun hanya antologi, tapi saya tetap merasa senang. Itu persembahan terbaik untuk Ibu saya. Terima kasih untuk segala kebaikan Bapak.

Sekali lagi selamat ulang tahun..

*Tiup terompet*

*Tiup lilin dan potong kue*

*Sebarin potongan kertas*

*Nyanyi lagu selamat ulang tahun bareng-bareng*

Sabtu, 09 November 2013

Barcelona, Fourth Day

Masih terbangun dengan cantik di kamar nomor 208 Hotel Tryp Barcelona. Jam analog di HP saya masih menunjukkan pukul 4 pagi waktu Barcelona. Saya langsung meraih labtob dan membuka akun facebook. Berharap ada teman di tanah air yang bisa saya ajak ngobrol. Dengan selisih waktu 5 jam, tentunya teman-teman saya di Indonesia sudah pada beraktivitas. Sementara itu, Sarah, teman sekamar saya, masih terlelap. 

Matahari terbit. Langit di luar sudah terlihat terang. Saya beranjak dari ranjang. Seperti biasa, saya membuka tirai dan melongok ke luar sebentar. Matahari yang muncul dari balik bukit terlihat indah dari tembok kaca kamar di lantai 2 ini. Bias golden rise-nya sayang untuk dilewatkan. Beginilah ritual pagi saya, sebelum berpindah tempat ke kamar mandi.

Oh, ya. Sesuai dengan rencana, Sarah hari ini akan terbang ke Indonesia. Dia harus mengikuti ujian dari salah satu mata kuliah yang dia ambil di fakultas kedokteran Universitas Tri Sakti. Eh, Sarah ini calon dokter lho. Pekerjaan tetap keluarganya secara turun temurun. Mama Papanya dokter. Mungkin juga begitu dengan Opung-opungnya.

Berhubung Sarah sudah packing semalam, pagi ini dia tinggal pergi kebandara. Saya dan Sarah turun bersama untuk sarapan. Usai sarapan kami berpisah. Rasanya sedih juga. Meski baru 4 hari kenal dan langsung tidur sekamar, saya sudah menganggap dia seperti adik sendiri. Yach, namanya di negara asing, orang lain pun bisa jadi saudara. Jadi ingat mamanya Sarah yang baik itu.

Saya kembali bergabung dengan rombongan untuk melanjutkan perjalanan. Sementara Sarah harus berbelok ke Bandara. Sendirian. Salut buat Sarah.

Di hari keempat ini, kami di ajak jalan-jalan ke pantai. Dari hotel, kami langsung meluncur ke Sitges. Salah satu kawasan pantai terbaik yang dimiliki Barcelona. Sitges berjarak 35 km dari Barcelona. Kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam di dalam bus untuk sampai ke tempat ini. Untuk menyentuh bibir pantai, kami masih harus berjalan berkilo-kilo meter dari tempat parkir. Lumayan membakar kalori.

Sitges menyambut kami dengan cuaca yang cerah. Khas cuaca pantai. Panas dan berangin. Suasana jalan di Sitges pagi ini masih terlihat sepi. Masih jam 9, aktivitas harian masyarakat belum dimulai. Seperti kota-kota lain di Barcelona, di Sitges pun tidak ada kendaraan besar yang lewat. Hanya terlihat beberapa skuter dengan ban bulat yang ukurannya lebih besar dari skuter yang biasa kita lihat di alun-alun kota. sepertinya, setiap kota di Barcelona memang dikonsep untuk tidak dilewati kendaraa-kendaraan besar seperti bus, tronton, truk, kecuali di jalan raya.

Inilah kenapa Barcelona sangat menyenangkan untuk berjalan-jalan. On foot, tentunya. Udaranya terjaga. Polusinya tidak gila-gilaan seperti di kota-kota besar di negeri saya tercinta. Jalanan teratur. Seandainya ada macet pun, macet cantik. Gak ada bunyi-bunyian klakson yang memekakan telinga. Suasana tetap adem.

Toko-toko yang berjajar di sepanjang jalan Sitges sedang bersiap untuk buka, saat kami lewat. Sttt, di Sitges ini kamu akan menemui banyak lelaki centil. Mukanya sih ganteng. cashing macho. Tapi ya gitu, tingkahnya gemesin.

Pantai sudah terlihat. Kami mempercepat langkah agar segera bisa menikmati keindahan ini. Dan untuk beristirahat tentunya. Kami berdiri depan sebuah gereja. Gereja Sant Bartomeu i Santa Tecla. Gereja ini dibangun pada abad 17. Bangunannya terlihat tua eksotis. Memiliki altar yang tinggi. Dari sini kamu bisa menikmati pemandangan Pantai Sitges dengan leluasa.

Karena beriklim mediterania yang memastikan matahari akan bersinar selama 300 hari, Sitges merupakan salah satu tujuan wisata favorit di eropa. Ditambah, kota ini terkenal dengan kehidupan malamnya. Bocoran nih, Kota Sitges ini surganya kaum maho. One of the most friendly places for homosexuals. Sebagian besar tempat hiburan malam di Sitges diperuntukkan bagi kaum gay atau lesbian.

Kembali ke pantai. Sitges memiliki 17 pantai pasir. Ombaknya tenang. Lingkungannya bersih dan rapi. Saya sarankan, jika ingin berjalan-jalan di pantai ini, kamu harus memakai sunblock. Matahari di sini menyengat. Jangan tertipu dengan hawa dingin yang kamu rasakan. Pulang-pulang, kulit kamu akan menghitam.

Oh, ya, harga barang-barang di sini juga mahal. Tidak disarankan untuk berburu oleh-oleh di sini. Selama berjalan-jalan di tepi pantai, saya dan rombongan hanya berburu foto saja. Dan sekali membeli es krim bersama-sama. Es krim cone di sini mencapai 4 euro. Kalau 1 euro = 12.000 rupiah. Silakan hitung sendiri harganya dalam rupiah.

Dari pantai menuju parkiran, kami harus berjalan jauh lagi. Miss Ana, guide kami dari Barcelona, mengajak kami mengambil jalur yang berbeda dengan saat berangkat tadi. Kali ini kami melewati rentetan restoran yang ada di pinggir jalan. Suasana sudah jauh lebih ramai. Pusat perbelanjaan di Sitges sudah lebih pasarawi –maksudnya, benar-benar terlihat seperti pasar ^^–.

Pemandangan dari altar gereja
Perahu pun berjajar rapi
Jalan di tepi pantai
Pasukan hotel, restoran, dan tempat hiburan
Doggi berlarian di tepi pantai
Yeee... Yuyun in action
Patung Leonardo da Vinci
Salah satu sudut Sitges
Bus Sagales lengkap dengan supirnya yang ganteng sudah menunggu di parkiran. Saya dan rombongan melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah makan siang. Bus membawa kami ke tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Ke sebuah restoran spanyol. Saat turun dari bus, saya tidak menyangka bahwa ini adalah restoran. Bangunan dengan eksterior putih ini dari luar lebih terlihat seperti hunian tempat tinggal atau rumah. Tumbuhan bunga dan pohon mengelilingi bangunan ini. Tapi begitu masuk, suasanya sudah lain. Beberapa set kursi dengan meja bundar, kotak, dan panjang tersedia di restoran ini. Tinggal pilih sesuai jumlah rombongan. Kami duduk di pojokan. Di meja paling panjang. Desain interior di restoran ini unik. didominasi oleh kayu dan mozaik.

Seorang bertubuh gembul, berpakaian putih ala koki keluar dengan membawa daftar menu. Om Mario, Tour Leader kami, memilihkan menu makanan.

Tidak butuh waktu lama untuk menyediakan pesanan kami. Tidak sampai seperempat jam, beberapa orang berpakain putih ala koki yang lainnya menghampiri meja kami dengan meletakkan piring, mangkuk, gelas, garpu, pisau, dan disusul menu yang akan diisikan ke piring-piring tersebut. Sup makaroni sudah lebih dulu dihidangkan sebagai makanan pembuka. Rasanya hambar. Untung masih ada mayones dan beberapa potong roti gandum yang bisa kami santap dan memberikan rasa asin pedas di lidah kami. 

Sup makaroni
Hidangan pokok selanjutnya adalah stik iga kambing. “lumayan ada rasanya”. Saya suka geli sendiri kalau ingat makanan-makanan yang pernah saya makan di Barcelona. Tapi ini adalah steak paling enak yang pernah saya makan di sini.

Selanjutnya, kami disuguhi roti karamel. Manis sekali. Setiap kali makan selalu seperti ini. Membuat saya berpikir dan menyimpulkan “Inilah kenapa orang eropa gembul-gembul. Lha kalo makan saja kayak gini. Hidangan pembuka, pokok, dan penutup. Tiga kali sehari. Pantaslah kalo gizi mereka sangat tercukupi”.

Dari restoran yang unik ini, kami kembali ke Placa Catalunya. Hanya sedekar untuk menghabiskan waktu sampai tiba saatnya makan malam. Berhubung Sarah sudah tidak ada, saya mencari partner lain untuk jalan-jalan. Kali ini bersama Dek Indah dan ayahnya. Kami bertiga berjalan sampai ke pasar tradisionalnya Catalunya. First time. Dan tetap kagum. Pasarnya teratur. Dan yang paling penting, bersih. Dari pasar, saya mendapatkan 2 potong besar coklat hitam dan putih. 

Macam-macam coklat di pasar
Jajanan kita juga ada di sini lho
Kami berburu oleh-oleh yang lain. Sebuah toko dengan pengunjung paling banyak yang kami pilih.

“Selamat siang.” Sapa pemilik toko.

“Siang.” Kami menjawab dengan nada keheranan. Bahasa Indonesianya lancar.

Alih-alih sibuk memilih barang yang akan kami beli, kami malah asyik ngobrol dengan pemilik toko. Seorang pria berpasport pakistan. Saya lupa namanya. Dia bercerita, pernah tinggal di Bali selama 6 bulan. Dan kagum dengan keindahan Pulau Bali.

Kami berjalan menjauh dari area pertokoan Catalunya dengan membawa tentengan berisi cindera mata. Mulai dari gantungan kunci, baju, payung, tas, yang semuanya berlabel Barcelona. Berakhir dengan duduk cantik di bangku taman. Dan... itu kan Sarah. Yeyeye lalala Sarah kembali lagi.

Ceritanya, Sarah tidak jadi terbang ke kampung halaman hari ini. Pihak bandara tidak bisa mengijikan Sarah ke luar Barcelona hari ini. Dan saya senang sekali. Malam ini tidak jadi tidur sendiri.

Menjelang malam, kami menuju Restoran Cina langganan untuk santap makan malam. Yuhuuu, ketemu nasi lagi. Minum teh cina lagi. Makan ayam goreng dan sayuran lagi. Dan hari ini berakhir di kasur empuk Hotel Tryp lagi.

Yang belum baca cerita di hari pertama, kedua, dan ketiga, bisa ngeklik di sini. Next, lanjut lagi ya. Malam ini, mata sudah tidak bisa diajak kompromi. See ya!

>> To be continue

Rabu, 06 November 2013

Pesan Dari Alam

“Alam bukan untuk ditakhlukan, tapi diakrabi”
Ini kali ketiga saya menjejakkan kaki memasuki kawasan hutan Gunung Ungaran sejak saya lahir sampai segede ini. Terakhir kali ke sana, saat itu usia saya masih belasan tahun. Untuk merayakan kelulusan dari Sekolah Menengah Pertama a.k.a SMP, saya dan teman-teman se-genk, kami bertiga belas nekat mendaki Gunung Ungaran. Kami melakukan pendakian di malam hari. Yang tentunya tanpa persiapan standar pendakian. Kami hanya membawa pakaian lengkap dengan jaket harian. Tanpa senter atau makanan yang cukup. Yach, namanya juga anak-anak, nekat dan berani menembus batas itu hebat. Tapi itu dulu, saat saya dan teman-teman masih labil. Kalau pendakian yang sekarang mah, udah lebih ngerti tentang apa yang harus dibawa dan dilakukan?

Kali ini saya jalan-jalan ke Gunung Ungaran bersama empat teman saya –saya sebut jalan-jalan soalnya kami gak sampai ke puncaknya–. Tiga perempuan, dua laki-laki. Dan saya memberi pengharaan kepada mereka dengan sebutan Power Rangers [dadakan]. Saya, dengan persiapan yang cukup matang. Kostum yang setidaknya tepat. Makanan dan minuman yang cukup. Dua teman, dengan persiapan yang paling lengkap. Segala jas hujan dan kompas dibawa. Tapi sayang yang paling penting justru gak bawa. Obat-obatan. Dan dua teman saya lagi yang cuma bawa diri mereka sendiri.

Perjalanan dimulai jam 8 pagi dari pos pertama yang berlokasi di Mawar, Umbul Sidomukti. Bersyukur, cuaca pagi ini bersahabat. Meski matahari terasa begitu terik, tapi itu tetap lebih baik dari pada hujan. Saya berjalan paling depan, memimpin teman-teman yang lain. Diikuti Na, sepupu saya yang pendiam. Tomo, teman kuliah yang ngebet banget pengen jalan-jalan ke Singapura adan Thailand. Ariana, teman yang baru saya kenal dari Rofik –ehm, pacarnya mungkin–. Dan Rofik, entah ini teman darimana, saya sendiri kurang paham. Yang penting saya dan dia berteman dengan sangat baik. Bukan begitu, Kak?

Langkah-langkah masih terasa ringan, karena medan yang kami lalui juga belum terlalu berat. Entahlah, ini saya yang terlalu bersemangat atau bagaimana? Setelah perjalanan yang lumayan jauh, saya menoleh ke belakang, dan tiga rangers paling belakang sudah menghilang dari pandangan. Kemudian saya beristirahat dan menunggu mereka. Begitu berulang kali. Bahkan di tengah hutan pun saya sempat foto-foto sembari menunggu mereka. 

Pose di tengah hutan ^^

Lebih dari setengah perjalanan kami sampai di pos kedua. Kebon kopi. Pemandangan di sini lumayan bisa menjadi pengobat lelah. Wangi kembang kopi, warna hijau daun kopi, ditambah kolam renang di pegunungan adalah keajaiban alam yang ditawarkan di tempat ini. Kami beristirahat sejenak. Merendam kaki di kolam renang pegunungan. Nyesss! Rasa sejuk menyergap di kedua telapak kaki saya. Bahkan dinginnya menyebar ke seluruh tubuh saya. Air alami pegunungan nyes-nya memang beda dengan yang ada di bawah. 


Ini kolam renangnya. Airnya ijo, pantulan dari lumut di kolam

Ngeksis ^^
Bangunan kuning ijonya

Lanjut jalan lagi. Medan di kebon kopi ini lebih bersahabat daripada yang ada di hutan tadi. Jalannya lebih lebar, bisa dilewati kendaraan juga. Di sekitarnya ada beberapa rumah. Rumah pegawai atau penjaga kebon mungkin. Dan ada satu bangunan yang mencolok berwarna kuning hijau. Disamping bangunan ada mesin penggiling kopi. Mungkin, bangunan ini merupakan bangunan utama untuk para pekerja. Tapi ketika saya lewat semua tertutup. Di sepanjang jalan suasana juga sudah mulai ramai. Kami berpapasan dengan banyak orang dan rombongan yang turun gunung.

“Biasanya banyak turis lho, mbak!” Kata Tomo, yang memang sering melakukan perjalanan ke gunung Ungaran ini.

“Oh, ya?” Sahut saya singkat.

Selama perjalanan, kami, terutama saya dan Tomo sering bercerita. Ngobrol apa saja yang bisa diobrolin. Dari masalah skripsi dia yang tertunda-tunda atau sengaja ditunda, sampai ke ranah politik yang bahkan kami sendiri tidak mengerti. Ya beginilah, anak muda yang penuh impian dan kebimbangan. 

Selepas kebon kopi, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Sepanjang mata memandang yang ada hanya indah. Hijau dimana-mana. Yup! Kebon teh dengan latar puncak Gunung Ungaran. Segala lelah terbayarkan di sini. Beberapa tenda masih berdiri kokoh di tepian kobon teh. Pasukan rangers menyebar. Menikmati alam dengan caranya masing-masing. Saya berdiri diantara barisan pohon teh. Mengambil nafas dalam-dalam. 

Power Rangers
Ini pada minta difotoin
Kebon teh berlatar Gunung Ungaran

“Ini nih. Mumpung di sini, ambil nafas sebanyak-banyaknya. Mumpung udaranya bersih. Jarang-jarang lhoh, kita bisa ketemu sama udara sesejuk ini.” Seperti biasa, saya yang paling banyak berceloteh di antara mereka.

“Sekalian masukin kantong, bawa pulang buat oleh-oleh.” Dasar. Rofik ini memang suka ngasal kalau jawab. Tapi jawaban spontan itu berhasil membuat kami ngikik bersama.

Dari kebon teh, kami berjalan turun menuju Promasan. Sebuah kampung kecil yang terletak di dataran pegunungan. Tempat ini merupakan tempat latihan yoniv 400 / Raider. Biasa digunakan untuk uji metal bagi para pecinta alam atau pelantikan pramuka. Dulu, pas masih berseragam biru putih, saya juga dilantik sebagai dewan galang di tempat ini.

Promasan sudah jauh berbeda dari terakhir saya ke sini –ya, iyalah. Udah berapa tahun Ye?-. Rumahnya sudah lebih banyak. Candi Promasan juga sudah dibangun. Tata kampungnya sudah jauh lebih teratur. Lantai mushola sudah tidak kayu lagi. Sudah diganti sama keramik warna ijo. Toilet, tempat wudhu, semua lebih nyaman. Yang paling penting nih, jajanan di warung sudah lebih lengkap. Dan heiii, ada juga tukang jual cilot di sini. Heran sih, gimana itu Bapak Cilot bawa dagangannya di mari? Jalan bebatuan semua, tapi dia bisa bawa dagangannya pakai motor. 

 
Rumah di Promasan
Candi Promasan

Saya juga dibuat kaget dengan adanya mobil bagus yang terparkir di dekat mushola. Lha kok bisa mobil bagus gitu di tengah gunung gini? Meskipun jalanan di Promasan ini bisa dilewati kendaraan, tapi sama sekali gak recommend buat mobil halus. Jalannya sama sekali gak cocok. Jalannya hanya cocok untuk motor trail. Tapi ya gitu, ada beberapa motor matic yang maksa buat sampai ke tempat ini. Gak tau lewat jalan mana? Setahu saya sih, yang bisa dilewati kendaraan cuma dari jalur Boja.

Power rangers menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam di tempat ini. Menikmati saat-saat bercengkrama dengan alam. Membiarkan angin gunung membelai wajah kami masing-masing.

“Tom, saya juga mau kalo disuruh hidup di sini selama seminggu. Asyik kali ya? Lepas dari segala hiruk pikuk yang ada di bawah sana.” Kalimat itu terlontar dari bibir saya saat kami duduk-duduk di beranda mushola. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa saya merasa bosan dengan segala aktivitas yang ada di bawah sana. Bahwa saya rindu dengan alam yang setenang ini. Sesejuk ini. Sedamai ini.

Kejutan lagi. Ada anak kecil usia 6 tahunan habis turun dari puncak. Kok, saya jadi mikir ya. Besok kalau saya punya anak, pengen juga ngajak dia main ke alam gini. Supaya dia bisa belajar langsung dari alam. Gak cuma kenal mall, gadget dan kendaraan di kota saja.

Kami pulang melewati jalur sama dengan berangkat tadi. Melewati kebon teh, kebon kopi, dan memasuki hutan. Member ranger, Tomo, kali ini agak kreatif. Dia mengajak kami, sedikti belok ke air terjun mini di tengah hutan. Keren. Airnya kayak air es. Dingin. 

Ini pemandangan di air terjun mini

Dan saat kami sibuk berkecipuk dengan air, tiba-tiba langit menangis. Rintik hujan mulai turun. Makin lama makin deras. Kami mempercepat langkah. Saya masih berjalan di depan. Kemudian berhenti di bawah pohon rimbun untuk berteduh. Sambil menunggu dua rangers yang masih di belakang. Satu ranger kakinya terluka karena salah pake alas kaki. Pelajaran nih, kalau niat naik gunung atau perjalanan jauh, pakailah alas kaki yang nyaman senyaman-nyamannya. Pakai baju yang nyaman juga. Hindari pakai celana jeans ketat. Kasihan otot kakinya, susah nafas. Jangan pakai highheel juga. Kecuali kalau kamu memang suka tantangan.

Tak lama kemudian hujan mulai reda. Rombongan lain yang tadi turun beriringan dengan kami sudah tak terlihat. Sepertinya mereka menerabas hujan. Di perjalanan selanjutnya, kami berpapasan dengan banyak turis asia. Saya geli sekaligus kagum melihat mereka. Dengan usia yang tidak bisa lagi dibilang muda, mereka masih saja bersemangat naik gunung. Bahkan dalam cuaca seperti ini. Dan dua jempol buat mereka. Meskipun mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi, mereka tetap mengenakan pakaian mendaki lengkap dengan tongkat di kedua tangan mereka. Ini contoh orang-orang yang sama sekali tidak menyepelekan alam.

“Tom, itu yang kamu cari udah datang. Para turis.” Saya melambai ke Tomo yang ada di urutan keempat belakang saya.

Tomo tersenyum.

Kami juga ketemu dengan sekelompok ibu-ibu yang mencari kayu bakar di tengah hutan. Satu kata buat mereka “HEBAT”.

Power rangers akhirnya sampai di pos pertama juga. Tempat kami memarkirkan motor. Perjalanan sederhana yang menyenangkan dan syarat dengan pesan dari alam. Dari kacamata hilang. Kaki Ariana yang lecet-lecet karena gak pernah jalan jauh. Kehujanan di tengah hujan. 
 
Dan pesan singkat yang bisa saya sampaikan dari alam adalah:
"Gak usah mikir jauhnya kayak apa? Jalan aja terus, ntar juga sampe. Kalo capek, ya istirahat. Tapi jangan sampe lupa tujuan. Kadang ada angin kenceng, ujan, ato awan gelap. Kadang cuaca juga cerah ceria. Tapi percayalah, selalu ada keindahan di depan sana"

Sabtu, 26 Oktober 2013

Tentang Orang Tua Dan Wisuda

Ada rekan kerja sekantor yang anaknya baru saja wisuda DIII. Wajahnya begitu sumpringah. Dia kelihatan bahagia sekali. Selama seminggu, tidak henti-hentinya dia bercerita ke semua orang tentang wisuda anaknya itu. Memperlihatkan foto-foto wisuda, album kenangan, bahkan transkrip nilai sementara anaknya pun dia bawa kemana-nama.

Senyum bangga selalu tersungging di wajahnya yang keriput.


“Lihat, Bu, Pak! Ini Epik. Kemarin baru wisuda.” Demikian dia selalu berkata pada rekan-rekan kerjanya. Termasuk padaku.

“Wah, Epik sekarang kelihatan lebih cantik ya, Pak.” Hampir semua orang menlontarkan jawaban seperti itu usai melihat foto Epik dengan baju toganya. 

Dan kembali dia tersenyum bangga.

Rekanku itu begitu bangga, karena merasa berhasil mengantarkan anaknya sampai ke bangku kuliah. Dia yang hanya berijazah SMP, dan sekarang anaknya punya ijazah DIII.

***
Kemudian, aku teringat ibuku. Aku merasa terhempas. Hatiku ngilu. Setahun yang lalu, aku juga diwisuda. Kedua orang tuaku bangga, pasti. Tapi justru aku yang mematahkan semangat kebanggaan mereka. Egoku sebagai seorang perempuan muda memaksaku harus menyembunyikan sebagian besar kenangan yang bersinggungan dengan wisuda.

Pernah, waktu itu, sepulang dari kantor. Aku mendapati salah satu foto wisudaku sudah berdiri gagah di atas meja kamar. Aku tahu, ini pasti kerjaan ibuku untuk menunjukkan rasa bangganya. Tapi, kemudian aku mengambilnya dan memasukkannya lagi ke dalam map wisuda dan menyimpannya di lemari. Bahkan, berkali-kali ibu meminta untuk memajang foto-foto itu di ruang tamu atau ruang keluarga. Tapi aku selalu menolak. Sampai akhirnya ibuku lelah dan tak lagi membahas tentang foto-foto itu.

Ya, seperti itulah kadang-kadang kelakuan kita (bisa jadi hanya aku). Aku selalu bilang ingin membahagiakan orang tua. Ingin menyenangkan hati mereka. Takut menyakiti mereka. Tapi hal kecil seperti ini saja tidak bisa kulakukan. Hanya memajang foto, apa susahnya? Tentu aku punya alasan. Alasan yang menurutku aneh. Karena foto-foto terlihat jelek. Ini alasan klise untuk menutupi alasan sebenarnya.

Dan alasan yang sebenarnya, tentu tidak akan ku ceritakan. It’s a private.

Tapi, sejak kemarin aku sudah berjanji. Akan memajang foto-foto itu. Tapi nanti. Mungkin, saat aku sudah tak tinggal lagi di rumah orang tuaku. Jadi, aku tidak akan sering-sering melihat foto itu. Cukup orang tuaku yang merasa bangga setiap kali menatap foto anak-anaknya dengan berpakaian toga.

Seperti rekan saya tadi. Orang tuaku pun akan bercerita dengan penuh rasa bangga bila ada kerabat yang bertanya tentang wisuda anaknya. Orang tua yang hanya berijazah SD, bisa mengantarkan anak-anaknya menyentuh bangku kuliah. Ini yang seringkali membuat saya haru, hingga terkadang meneteskan air mata.

Diakui atau tidak, tingkat pendidikan memang menjadi prestige tersendiri bagi keluarga, terutama orang tua. Kamu, mau sekolah tinggi atau tidak itu memang terserah kamu. Kamu yang merasakan efeknya langsung. Tapi orang tuamu, mereka berhak bahagia dan bangga saat berfoto bersama anak-anaknya yang mengenakan toga. #SeflNote

Senin, 21 Oktober 2013

Barcelona, Third Day

Saya berdiri di dekat jendela. Menatap langit Barcelona di pagi hari. Jalanan masih lenggang. Kabut bercampur embun membuat udara sedikit lembab. Sudah 3 hari saya menghirup udara di kota ini. Rasanya semakin betah saja. Tata kota yang bagus dan kehidupan yang teratur adalah salah satu hal yang membuat saya kagum dengan Barcelona. Bahkan, berada di kamar hotel saja saya merasa damai. Udara di dalam kamar terasa dingin. Namun, akan langsung berubah manjadi hangat ketika kita berpindah ke kamar mandi. 

Pagi ini saya menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. Memanjakan tubuh yang terasa sangat lelah. Sejak berangkat dari Jakarta, saya belum bisa beristirahat dengan nyenyak. Mungkin karena tubuh masih memerlukan adaptasi dengan ekosistem baru hehe. Berendam di bathup dengan air hangat beraroma terapi, membuat badan terasa lebih fresh.

pukul delapan waktu setempat, saya dan Sarah sudah duduk manis di restoran untuk sarapan. Hari ini kondisi perut sudah lebih stabil. Tidak eneg lagi saat melihat aneka makanan yang tersedia –berharap ada soto atau nasi goreng, huhuhu–. Saya memilih telur dadar dan beberapa potong biskuit untuk mengisi perut. Jus jeruk dan air putih sebagai minumnya. Potongan melon dan pepaya sebagai penutup. Dan sedikit yogurt yang saya fungsikan sebagai penyeimbang pencernakan. Ah, saya jadi teringat beberapa cup mi instan yang ada di koper.

Di hari ketiga ini, saya dan rombongan akan jalan-jalan ke luar kota. Kami akan plesiran ke Girona dan Montserrat. Dua tempat wajib kunjung saat berada di Barcelona. Girona yang terkenal dengan tata kota yang unik. Dan Montserrat dengan pemandangan alamnya yang menakjubkan.

GIRONA. Kota ini terletak 100 km ke arah utara kota Barcelona. Lumayan jauh. Butuh waktu 2 jam menggunakan bus untuk sampai di sini. Girona kota yang tenang. Setenang aliran sungai Onyar yang mengalir di tengah kota. Yang unik dari kota ini adalah bangunan warna-warni yang berbaris rapi di sepanjang tepi sungai Onyar. Girona sangat terkenal dengan legenda kissing the famous lion of Girona. Legenda yang mempercayai bahwa, orang yang mencium bokong patung singa yang berada di jalan masuk kota lama Girona ini, dia akan kembali lagi ke tempat ini. Amin. 

Lion of Girona

Bangunan warna warni di sepanjang sungai
Saya dan rombongan berjalan kaki memasuki area kota lama. Jalanya nanjak dan berkelok-kelok. Tujuan kami adalah Katedral Saint Mary of Girona. Sebuah gereja Kristen primitif yang pernah beralih fungsi menjadi masjid pada abad ke-7. Jadi, jangan heran jika di beberapa bagian gereja ini terdapat arsitek khas timur tengah. Yang saya Sayangkan ketika memasuki wilayah dalam gereja, para wisatawan dilarang memotret.

Kota lama Girona

Musisi jalanan dengan alat music tradisionalnya

Bangunan di sekitar gereja

Anak-anak yang belajar di depan gereja
Di Girona ada festival bunga tahunan. Biasanya diselenggarakan saat musim semi. Sekitar bulan Mei. Dan beruntung sekali, saya ke sana pada bulan Mei. Meskipun, tidak bertepatan dengan hari perayaan festival bunga, tapi kami berkesempatan untuk melihat persiapan festival bunga tahun ini (2012).

Persiapan festival bunga
Dari Girona, saya dan rombongan melanjutan perjalanan ke Montserrat. Rute menuju Montserrat ini subhanallah sekali. Jalannya berkelok-kelok khas pegunungan. Saya bisa menikmati pemandangan alam yang luar biasa sepanjang perjalanan. Bukit-bukit yang tersusun tak beraturan dari batuan bergerigi. Dan segala macam tanaman yang tumbuh di atasnya. Kalau di Jawa, gambarannya seperti perjalanan ke Gunung Kidul lah –jauh banget Ye?!–.

Saya dan rombongan tiba di Montserrat hampir sore. Ramai sekali. Suhu udara di sini terasa lebih dingin. Anginnya juga kencang. Kami langsung menuju restoran yang berada di tepi tebing untuk menyantap makan siang –late lunch. Makan siang kok jam 15.00 lebih–.

MONTSERRAT. Pegunungan ini berada pada ketinggian 1.240 mdpl. Terletak di sebelah barat laut kota Barcelona. Terkenal dengan patung The Black Madonna. Yaitu patung Maria yang berwarna hitam legam. Warna hitam tersebut, diperkirakan berasal dari asap lilin yang menumpuk selama ratusan tahun. Di pegunungan Montserrat terdapat sebuah gereja dan museum. Basilika. Iya, disebut Basilika Montserrat.

Pemandangan sepanjang jalan menuju Montserrat

Barcelona dari Montserrat

Pegunungan bergerigi

Patung yang matanya serasa hidup

Teras gereja

Dalam gereja
Sebenarnya tidak banyak yang bisa saya ingat tentang gereja dan museum di sini –maaf, saya tidak terlalu concern dengan sejarah katedral yang berdiri megah di tempat setinggi ini–. Saya kelewat takjub dengan pemandangan alam yang terpapar. terlanjur dibuat kagum dengan karya cipta Tuhan yang se-WOW ini.

Satu hal yang tidak boleh terlewat saat ke Montserrat adalah kereta gantung. Kereta gantung ini menjadi penghubung antara Basilika Montserrat dengan tempat parkir bus kami. Ini pertama kalinya saya naik kereta gantung. Rasanya, dududu syalala. Alias menyenangkan. Karena suguhan pemandangan alamnya benar-benar luar biasa. Bisa juga menjadi therapy untuk mereka yang phobia dengan ketinggian. Saat melihat pemandangan yang begitu luar biasa, dijamin kamu akan lupa dengan yang namanya ketinggian –semoga–.

Kereta gantung

Tempat pendaratan kereta gantung

Seperti biasa, plesiran hari ini ditutup dengan makan malam. Di Restoran Cina lagi. Alasannya, ya biar kita ketemu sama nasi lagi. Di restoran yang kami kunjungi -selain Restoran Cina-, kami tidak menemukan menu nasi. Dan perut kami masih perut pribumi yang selalu membutuhkan nasi setiap harinya ^^.

Malam ini, kami tiba di hotel lebih larut dari biasanya. Saya langsung menuju kamar. Kemudian tekpar. Charging tenaga untuk perjalanan selanjutnya.

Demikian, yang bisa saya sampaikan di hari ketiga. Pengalaman hari ke pertama dan kedua bisa kamu intip di sini. Tunggu cerita selanjutnya ya, masih ada 3 hari lagi ^^.

>> to be continue