Kamis, 29 Agustus 2013

Review, Test Pack



Btw, pengen nge-review salah satu film nasional nih. Film lama sih, tapi sampai sekarang masih kerasa gregetnya. Mungkin karena semalam saya abis nonton [lagi].

Test Pack, you’re my baby. Film “dewasa” ber-genre romantic comedy karya Mas Monthy Tiwa ini sangat recomended untuk ditonton, tentunya oleh orang-orang yang sudah masuk dalam golongan manusia dewasa. Dewasa di sini bukan berarti berbau sex atau porno. Permasalahan yang diangkat dalam film ini memang masalah orang dewasa atau yang sudah menikah.

Overall, film ini sangat apik. Alurnya mengalir lancar. Segala macam masalah disajikan dengan pas. Tidak menye-menye. Tidak juga overdrama. Meskipun tergolong film dewasa, di film ini tidak ada adegan yang kelewat saru. Bumbu-bumbu komedi di beberapa frame juga membuat film ini asyik untuk ditonton. Konten-konten kedewasaan ditampilkan dengan rapih. Apalagi masing-masing karakter diperankan oleh para pekerja seni –entahlah, saya lebih suka menyebut mereka pekerja seni– yang sudah tidak diragukan lagi aktingnya. Dari pemeran utama, pemeran pendukung, bahkan para camoe pun, semua orang yang wajahnya sudah sering wara-wiri di layar lebar maupun layar kaca.

Diangkat dari sebuah novel yang berjudul sama, karya Ninit Yunita –saya sendiri belum pernah membaca novelnya–, Film ini bercerita tentang sepasang anak manusia yang membina rumah tangga atas dasar cinta. “Apa adanya kamu sudah melengkapi hidupku”. Itulah yang diucapkan oleh Rahmat –diperankan oleh aktor favorit saya, Reza Rahadian– usai ijab khobul kepada istrinya Tata –Acha Septriasa–. Rahmat bekerja sebagai dokter psikolog yang seringkali menangani masalah-masalah pernikahan orang lain. Sedang Tata adalah wanita karir yang bekerja di bidang advertising.

Selama 7 tahun menikah, Rahmat dan Tata belum juga dikarunia anak. Sementara itu, Ibu Rahmat terus mendesak agar mereka segera memiliki momongan. Segala macam usaha sudah dilakukan oleh kedua sejoli itu. Dari konsumsi tauge yang banyak. Mandi dengan air es. Nungging setelah berhubungan. Calender system. Tapi semuanya nihil.

Sampai pada akhirnya mereka harus ke dokter dan melakukan suntik hormon untuk Tata. FYI, Dokter absurd bernama Dr. Peni S ini diperankan oleh Oon Project Pop. Selama 2 bulan melakukan therapy invitro, belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Kemudian Dr. Peni S, meminta Rahmat untuk melakukan tes sperma. Dan hasilnya, sperma Rahmat positif tidak subur alias mandul. Dari sini lah klimaks cerita dimulai.

Tata yang menemukan hasil tes Rahmat di lemari pakaian, mengamuk. Selama ini Tata mengira, dia yang tidak subur, ternyata sebaliknya. Dan Rahmat pun tidak mampu berbuat apa-apa. Rahmat kecewa terhadap dirinya sendiri, masih belum bisa menerima keadaannya. Di saat seperti ini datang seorang Shinta –Renata Kusmanto–. Shinta adalah mantan pacar Rahmat yang memiliki kesamaan nasib dengan Rahmat. Sama-sama mandul. Dan bagi keduanya, mereka bisa saling memahami keadaan dan perasaan masing-masing.

Tata yang nge-gap Rahmat dan Shinta makan berdua, kalap. Dia memutuskan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan Rahmat. Singkat cerita Rahmat dan Shinta kembali dekat. Tapi, pada akhirnya Rahmat tetap memilih Tata. Di bandara, saat Tata mau pergi ke Thailand untuk pindah kerja, dia bertemu dengan pasien Rahmat –pasangan suami istri yang diperankan oleh Jaja Miharja dan Mariam Belina–. Mereka menjalaskan kepada Tata, kenapa mereka bisa rujuk. Dan itu berkat cerita Rahmat tentang kalimat yang dia ucapkan saat dia dan Tata menikah “apa adanya kamu sudah melengkapi hidupku”.

Cerita ditutup dengan kepulangan Tata ke pelukan Rahmat. Mereka memutuskan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan. Dan Shinta, dia kembali pada suaminya, Heru –Dwi Sasono–.

Satu-satunya hal yang tidak saya pahami keberadaannya dalam film ini adalah adanya Poppy Sovia saat di rumah sakit. Untuk apa? Dan kenapa adegan itu ada? karena menurut saya, sama sekali tidak berpengaruh terhadap jalannya cerita. Tidak ada dialog di sana. Hanya bertemu, bahkan tanpa bertatap mata.

Satu pelajaran yang bisa kita ambil dari film tersebut adalah tentang bagaimana mempertahankan sebuah hubungan. Tidak ada hubungan yang sempurna. Apalagi pelakunya. Sebesar apapun ujian yang menyapa, seharusnya cinta mampu menyelamatkannya. Saya jadi teringat wejangan dari Abah “Sedikit waktu mungkin sudah cukup untuk menentukan pilihan. Tapi untuk bertahan pada pilihan tersebut, mungkin harus menghabiskan sisa usia yang dimilikinya”.

Sahabat


 
“Bi, lu benci banget ya sama dia?”, tanya Audy suatu malam. Iya, malam itu. Minggu kedua bulan September, Ribi menginap di rumah Audy. Audy ulang tahun. Dia meminta Ribi untuk menjadi coordinator pesta perayaan ulang tahunnya. Sebagai sahabat dekat, tentu saja Ribi tidak bisa menolak. Ribi tinggal di rumah Audy sampai larut. Dan akhirnya menginap di rumahnya.

Hening sejenak. Di kamar berukuran 4 x 4 m itu, hanya ada mereka berdua. Ribi menundukkan wajah. Matanya memanas. Jari-jarinya sibuk memainkan HP touchscreen-nya. Seolah meraba jawaban yang tepat untuk pertanyaan Audy. Sementara itu, Audy masih asyik di depan cermin, membersihkan sisa-sisa make up-nya.

“Ribi…” Audy menoleh. Memastikan bahwa Ribi mendengar pertanyaannya.

“Ya gak lah. Lu kenal gue kan?” Jawaban datar dari seorang Ribi. Jari-jarinya masih sibuk ber-touchscreen.

“Tapi biii, sikap lu…”

“Kenapa dengan sikap gue? Ada yang salah?”, sela Ribi sebelum Audy menyelesaikan kalimatnya.

“Lu itu sekarang seperti antipati sama dia. Semua hal yang berhubungan dengan dia, lu hindari. Apapun tentang dia, lu close. Mau sampai kapan kayak gini terus? Gue kenal lu. Lu tu gak ada pantes-pantesnya benci sama orang”, cerocos Audy yang bagi Ribi seperti penghakiman.

“kalo lu jadi gue, lu bakal ngapain? Pura-pura gak ngerasain apa-apa, gitu?”, jawab Ribi dengan nada suara yang masih datar. Kali ini dia menghentikan aktivitas jari-jarinya dan menoleh pada Audy.

“Ya, kalo gue jadi lu. Gue bakal maki-maki dia lah. Keluarin semua uneg-uneg yang ada di hati. Abis itu, udah, slesai. End. Gak ada beban lagi kan?”. Ahhh, Audy ini seperti sedang berorasi saja. Berapi-api.

Ribi tersenyum. Hanya senyum kecil. Dia meletakkan HP-nya. Menatap Audy sebentar. Kemudian berbicara, mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. “Dy, itulah bedanya gue sama lu. Lu kan tahu itu dari dulu? Kalo gue maki-maki dia, apa bedanya gue sama dia? Dia nyakitin hati gue. Dan gue ganti nyakitin hatinya dengan makian? No dy. Lu tahu gue gak bisa kan maki-maki orang? Apalagi orang yang pernah ngasih kebahagiaan buat gue. Lagian, apa untungnya sih kalo gue ngeluarin semua uneg-uneg ke dia? Gak ada efeknya juga kan? Dia juga gak akan mengubah keputusannya.”

“tapi, tapi, tapi, seenggaknya perasaan lu itu plong. Gak galau-galauan lagi. Dan yang pasti lu akan bisa tersenyum dan tertawa lepas lagi.” Audy masih saja kekeuh dengan pendapatnya.

“Apa yang mau dan perlu gue omongin ke dia, sudah gue omongin. Dan buat gue itu cukup. Seenggaknya gue gak akan pernah menyesal. Gue sudah melakukan yang terbaik. Gue sudah mengatakan apa yang harus gue katakan”, sahut Ribi.

I know you lah, Bi…”. Akhirnya Audy menyerah. Dia tahu, dia tidak akan pernah menang berdebat dengan Ribi.

“Dy, lu tahu, apa do’a gue setiap hari?”, tanya Ribi setelah sekian detik keduanya larut dalam kesibukan pikiran masing-masing.

“Ya gak lah. Emang gue malaikat pencatat do’a lu apa? Emang apaan? Berdo’a supaya dia balik lagi sama lu?” Jawab Audi sekenanya, yang dapat bonus polesan dari Ribi.

“Aduh.. touchy banget sih lu”, protes Audy.

“Abisnya, lu gitu sih!”, jawab Ribi dengan ekspresi kesal.

“Iye, iye… Gue minta maaf. Jadi beneran do’a lu itu tadi?” Audy semakin menjadi-jadi menggoda Ribi. 

“Serius nih Dy”. Ribi menghela nafas panjang. Audy sudah pasang telinga, bersiap untuk mendengarkan cerita Ribi.

“Setiap hari, gue itu berdo’a supaya gue dijauhkan dari rasa benci dan dendam. Gue takut menyakiti diri sendiri dengan rasa-rasa semacam itu. Kalo gue menghindar dari dia, bukan berarti gue benci sama dia. Gue hanya menjaga perasaan sendiri. Siapa yang bisa menjaga hati gue, selain gue sendiri? Gue paham apa yang gue rasain. Selama logika dan hati gue masih belum klop, gue lebih baik ngalah. Ngalah untuk gak berhubungan sama dia. Ngalah untuk menjauh dari dia”. Ribi memalingkan wajah ke Audy dengan tersenyum.

Kali ini mata Audy yang berkaca-kaca. Audy mendekat dan memeluk sahabatnya erat. Audy kenal betul dengan sahabatnya ini. Dia tahu apa yang dirasakan Ribi. Meskipun Ribi terlihat keras dan kuat, itu hanya kulit luarnya. Hatinya rapuh. Nonton film india saja dia bisa nangis-nangis bombay.

Thank’s ya Dy!”

“Apaan? Gue kali yang makasih ke elu. Udah bantuin seharian gini”. Audy masih memeluk Ribi.

“Buat pelukannya. Nyesek nih..”, canda Ribi.

Buru-buru Audy melepas pelukannya “Sorry By. Saking sayangnya gue sama sahabat gue yang baik hati dan tidak sombong ini hehe..”. Audy nyengir.

Malam yang melegakan untuk Ribi. Malam itu dia bisa meluapkan apa yang ada di pikiran dan hatinya yang selama ini tidak bisa dia ceritakan kepada siapapun. Dan Audy, sahabatnya lah, yang selalu bisa menjadi pendengar yang baik untuk segala macam keluh kesah Ribi.

Quote : Sahabat, dia yang tetap tinggal di sampingmu bagaimanapun keadaanmu.

Jumat, 23 Agustus 2013

Barcelona, Second Day

Fajar pertama di Barcelona. Jendela kamar hotel yang menghadap ke timur adalah nilai plus buat saya. Saya bisa dengan leluasa menikmati pemandangan terbitnya matahari. Indah. Dari lantai 2 kamar hotel ini saya juga bisa melihat kelenggangan jalanan Barcelona di pagi hari dengan lampu-lampu jalan yang masih menyala.

Morning call pagi ini jam 07.00 waktu setempat. Saya sengaja bangun 3 jam lebih awal. Saya ingin menikmati belaian fajar di sini. Juga ingin menyempatkan diri untuk chatting dengan teman-teman yang ada di tanah air. Dengan selisih waktu 5 jam, tentu saya harus pintar-pintar menyesuaikan waktu agar selalu bisa kontak-kontakan dengan mereka setiap hari. Selain itu juga karena saya sadar, saya termasuk orang yang betah berlama-lama di kamar mandi ^_^.

Selesai sarapan, saya dan rombongan bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Di hari kedua ini ada 3 tempat lagi yang harus kami jamah. Yang pertama yaitu The Cathedral of the Holy Cross and Saint Eulalia. Lebih dikenal dengan Barcelona Cathedral. Gereja ini masih terletak di salah satu pusat kota Barcelona. Dekat dengan wilayah Placa Nova.

Salah satu katedral dengan gothic architecture. Tidak beda jauh dengan katedral-katedral pada umumnya yang pernah saya lihat di TV atau internet. Megah dan classicly. Kesan pertama memasuki gereja ini adalah serem sekaligus takjub. Sisi kanan dan kiri ruangan dikelilingi oleh kuburan beberapa petinggi gereja -Mungkin. Maaf, yang seperti ini saya kurang paham- terdahulu. Cahayanya temaram. Hawa mistis sangat terasa di sini. Apalagi udara di dalam ruangan terbilang dingin. Tanpa jendela dan pintu yang terbuka. Cahaya matahari hanya diijinkan masuk melalui pantulan kaca jendela yang terpasang tinggi pada bagian atas bangunan. 

Atap Barcelona Cathedral mirip payung yang mengembang
 
Barcelona Cathedral dari luar
Setelah kurang lebih sejam berada di ruangan, akhirnya saya ke luar. Rasanya hangat. Sinar matahari membuat suhu udara lebih bersahabat. Pemandangan di luar sudah jauh lebih ramai dari sejam yang lalu. Ada anak-anak yang sedang belajar di depan gereja. Mungkin, kalau di Indonesia semacam kegiatan rumah pintar gitu kali ya? Ada musisi jalanan yang sedang beraksi. Ambigu untuk menyebutnya apa? Antara ngamen dan mini konser. Kalau ngamen, ini terlalu elegan. Kalau mini konser, gak ada pangungnya. Atau saya sebut pengamen yang elegan gitu ya? ^^. Deretan pedagang kaki lima juga sudah mulai menjajakan dagangannya –Jangan bayangkan pedagang kaki lima di sini seperti yang ada di Indonesia–. Traffic pengunjung di area outlet seberang jalan juga sudah terlihat padat. Pun dengan kafe-kafe yang berjejer di pinggir jalan. 

Jalanan di sekitar Barcelona Cathedral
Tengah hari, saya dan rombongan diajak menyantap makan siang di salah satu restoran cina yang berlokasi di tepian dermaga. Kembali saya dibuat takjub dengan pemandangan di tempat ini. Bersih dan asri. Cocok untuk olahraga lari, jogging, atau sekedar jalan-jalan.

Dermaga dari teras atas retoran
Perjalanan selanjutnya adalah intisari dari seluruh rangkaian perjalanan. Meet and Greet with Fabregas. Yak, saya dan rombongan digiring ke suatu tempat. Semacam open sport center gitulah. Setelah melewati beberapa spot lapangan tennis, akhirnya kami sampai juga di lapangan footsal. Tempatnya paling ujung. Dan di sini kami kangen-kangenan dengan Fabregas -ciyeee, kangen-kangenan- hehehe.

Saya tidak akan bercerita banyak mengenai kegiatan di tempat ini. Biarkan saja diwakili sama foto-foto berikut. Kalau mau mupeng, silakan saja ^_^.


Yaiiiii.. kami dari Indonesia
Signing time
Ibnu Jamil lagi PDKT sama Fabregas
Coffee Break
Fabregas and me
Next destination today is Sagrada Familia. Gereja katedral [lagi]. Dan yang ini sangat, sangat terkenal di seluruh dunia. Bisa dibilang merupakan salah satu ikon kota Barcelona. Dirancang oleh seorang Antoni Gaudi, arsitek cerdas [gila] -Karena orang yang terlalu cerdas seringkali dianggap  gila- yang punya ide untuk mendirikan gereja dengan model seperti ini. Sagrada Familia dibangun sejak tahun 1882. Dan direncakana akan selesai pada tahun 2022 mendatang.


Sagrada Familia
Unsur seni sangat kentara di tempat ini. Terlihat dari seni pahat yang menempel pada seluruh dinding luarnya. Detail dan halus. Mozaik-mozaik terpampang indah pada jendela-jendela kaca. ini mengingatkan saya pada Blue Mosque yang ada di Istanbul yang juga penuh dengan mozaik. Ruang dalam gereja sangat luas. Terdiri dari 2 lantai. Dan memiliki daya tampung sebanyak 8.000 jamaah. 


Mozaiknya keren
Ini contoh pahatannya. Detail banget kan?
Selesai berkeliling gereja, saya dan rombongan jalan-jalan di sekitar gereja. Hufttt, lagi-lagi yang ada hanya toko-toko di sepanjang jalan. it's annoying again and again.


Rambutnya mirip Puyol, jadi difoto deh hehe
Perjalanan hari ini ditutup dengan suasana senja di tepi pantai. Sejuk. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 lebih, namun cahaya matahari masih bersinar terang. Kami Makan malam di sebuah retoran di area pantai. Gak ada nasi. Yang ada hanya salad -Padahal, saya berharap ini gado-gado-, plus beef steak yang kerasnya minta ampun. Tapi daripada kelaparan, mau gak mau saya lahap juga.

Suasana senja di pantai
Sekian, perjalan hari kedua yang lumayan panjang ini. Kalau pengen tahu perjalanan di hari pertama, bisa mampir di sini. Ketemu lagi di hari ketiga yes? See ya….

>> to be continue

Senin, 19 Agustus 2013

Manahan, Pengalaman Pertama

Rasanya kurang afdol kalau orang yang mengaku penggemar sepakbola seperti saya ini gak pernah nonton pertandingan langsung di stadion. Rabu, 14 Agustus 2013 kemarin, atas dasar ajakan dari teman saya, –lebih ke paksaan sih sebenarnya– saya datang juga ke Stadion Manahan, Surakarta untuk menonton laga Timnas Indonesia vs Filipina. Awalnya, saya pikir menonton pertandingan di stadion itu akan sangat menyebalkan. Apalagi dengan sering adanya berita tentang tawuran antar-supporter sepakbola. Tentunya sebagai seorang perempuan saya sedikit was-was.

Dengan berbekal kenekatan, saya dan teman saya yang juga penggila sepakbola, yang level kegilaannya lebih tinggi di atas saya, sampai juga di Stadion Manahan. Kami datang 1,5 jam lebih awal sebelum kick off. Dengan harapan bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman dan eyes-able. Tapi kenyataannya, tempat duduk di tribun VIP ini sudah penuh sesak dengan para supporter tim garuda.

Tepat pukul 20.30 WIB, para pemain memasuki lapangan. Suasana langsung menjadi riuh. Teriakan dan tepuk tangan para penonton menyambut kedatangan para bintang lapangan bergema di setiap sudut. Tak terkecuali saya. Saya dengan semangat 45 langsung memberikan standing applause. Ya, meskipun saya tidak terlalu paham dengan pemain-pemain lokal. Tapi melihat animo penonton lain yang luar biasa, saya pun jadi ikut-ikutan luar biasa. Apalagi ketika mengumandangkan lagu kebangsaan “Hiduplah Indonesia Raya”. Kemudian diakhiri dengan tepuk tangan yang lebih cetar membahana. It’s awesome. “Seperti inilah pemuda Indonesia seharusnya” kata saya dalam hati. Di saat seperti ini, rasa nasionalisme sepertinya benar-benar terbangun. Semua supporter dari berbagai tim bersatu untuk satu nama INDONESIA.

Uforia para supporter
“Prittt...” peluit panjang berbunyi. Tanda pertandingan dimulai. Mata saya berusaha mencari-cari satu pemain bertubuh mungil. Andik Vermansyah. Ya, saya berharap dia masuk di starter lineup. Tapi ternyata coach berpikiran lain. Saya tidak melihat Andik ada di lapangan pada awal pertandingan ini. It’s oke. Kemudian saya mulai memperhatikan seluruh pemain satu per satu, sambil mengikuti arah tendangan bola. Pandangan saya tertuju pada pemain Filipina bernomor punggung 37. “Ni orang ya cakepnya full, gak setengah-setengah”, gumam saya –tetep, naluri kewanitaan selalu muncul saat melihat yang seperti ini mehihi–

Warm up para pemain cadangan. Andik ada di antara mereka
Lupakan itu. Saya kembali fokus pada pertandingan. Kali ini gagal. Uforia penonton di tribun sebelah berhasil memecah konsentrasi saya. “Gila tu penonton di tribun ekonomi. Gilaaa... Pengen nih loncat ke sana. Trus ikut-ikutan nyanyi bareng mereka”, saya berkata ke Ika, teman saya, setengah teriak.

Saran nih ya, kalau kamu pengen fokus nonton pertandingan saja, pilihlah tribun VIP/VVIP yang notabene lebih tenang. Tapi kalau kamu pengen nonton pertandingan sambil seru-seruan, pilihlah tribun ekonomi.

Di tribun VIP/VVIP, penontonnya cenderung jaim. Pengennya nyaman. Berdiri saja gak mau. Padahal, serunya nonton bola kan kalau berdiri, terus nyanyi-nyanyi bareng gitu. Kalau gol loncat-loncat bareng.

Saat nonton pertandingan di TV, saya sering mengumpat sendiri kalau ada yang nyalain mercon dan keluar asap. Tapi, di stadion, saya mulai paham. Itu namanya antusiasme. Agak anarkis sih. Tapi itulah ekspresi kebanggaan saat tim kesayangan berhasil membobol gawang lawan.

Saran lagi nih. Jangan pernah mengajak anak kecil nonton pertandingan sepakbola ke stadion. Secara, mereka kan masih kecil. Otak mereka belum punya filter untuk menyaring mana informasi yang baik dan yang gak. Dari pengalaman kemarin, tepat di belakang saya ada bapak-bapak yang hampir sepanjang permainan mulutnya gak bisa diam. Mengomentari jalannya pertandingan dengan nada-nada negatif. Saya yang ada di depannya saja geram. Pengen lempar itu orang ke tengah lapangan biar ditendang-tendang kayak bola. Bilang pemainnya bego lah, wasitnya goblok lah. Memangnya itu bapak-bapak kalau diberi kesempatan bisa lebih bagus dari yang ada di lapangan apa? Eits, kok saya malah misuh-misuh di sini ya? Sudahlah, terbawa perasaan.

Sementara di dekat bapak-bapak itu ada beberapa anak kecil usia 7 tahunan. Saya kaget, ketika mendengar salah satu anak ikut berkomentar seperti bapak-bapak tadi. Secara reflek saya menoleh ke arah anak tersebut. Menatapnya tajam. Tatapan seorang kakak yang memberikan nasehat sekaligus ancaman kepada adiknya. Kemudian anak itu diam dan menunduk. Yang saya sesalkan kenapa orang tua atau wali yang ada di samping anak itu justru diam saja ketika anaknya mengeluarkan umpatan-umpatan yang gak baik kayak gitu.

Iseng-iseng, saya memotret Bapak yang gak bisa diam itu. Begitu sadar ada suara kamera di depannya, dia seperti salah tingkah, gak PD lagi untuk menggerutui para pemain dan wasit yang ada di lapangan.

Itu contoh pengalaman yang tidak asyik selama di stadion. Pengalaman asyiknya jauh lebih banyak kok. Bisa seru-seruan bareng supporter lain. Bisa teriak-teriak gaje. Gak ada jaim. Gak ada sok elegan. Nyanyi bareng. Nasionalismenya terasa banget. Apalagi kalau Timnas bisa memenangkan pertandingan gini. Hasil akhir pertandingan 2-0 untuk Indonesia.

Usai pertandingan, saya dan teman saya tidak langsung pulang. Teman saya ngeyel untuk ketemu sama para pemain. Saya sarankan untuk menyusup saja ke ruang ganti pemain dan official. Sampai di sana, ternyata sudah ada beberapa orang yang juga menunggu para pemain yang sedang konpers. Kami duduk-duduk tepat di depan ruang official wasit. Entah keberuntungan apa lagi yang menyapa kami. Wasit dari Myanmar yang tadi memimpin pertandingan, dia keluar dan membagikan beberapa botol air mineral kepada kami. “Tau aja nih Bapak kalo saya lagi dehidrasi”, batin saya sambil senyum-senyum. Gimana gak dehidrasi coba? Selama pertandingan teriak-teriak. Sementara minuman yang sengaja saya bawa dirampas sama petugas sebelum masuk lapangan. Ada sih yang jual minuman di dalam, tapi saya gak nafsu untuk membeli dari mereka. 

Wasit dari Myanmar yang memimpin jalannya pertandingan
Seneng sih, bisa ngobrol-ngobrol langsung sama beberapa wasit. Ada yang dari Myanmar, Malang, dan ada juga official-nya yang dari Ungaran. Tetangga kan?

Setelah menunggu sekian lama, akhirnya para pemain itu keluar juga dari ruang konpers. Teman saya langsung semangat mengejar mereka. saya mengekor saja di belakangnya, sambil memegang HP. Bersiap untuk mengambil gambar saat ada pemain lewat. Dan tentunya menjadi fotrografer dadakan pribadinya. 

Jacson F Tiago, Pelatih Timnas
Sekitar pukul 00.00 kami baru keluar dari area stadion manahan. Capek? Jangan ditanya. Seru? Pasti. Kapan-kapan mau lagi lah kalau ada yang ngajak untuk nonton di stadion. Selama masih dalam jangkauan. Ya jangkauan waktu, tempat, dan biaya hehehe

Senin, 05 Agustus 2013

Bersyukur Dalam Galau ^^

“kalau kau pernah takut mati, sama
Kalau kau pernah patah hati, akuuu juga iya
Dan seringkali sial datang dan pergi tanpa permisi kepadamu
Suasana hati, tak peduli”
Alunan lagu letto menemaniku siang ini. suara mas Noe memang bikin adem. Lirik lagu itu, mengingatkanku akan kegalauanku kemarin sore. Rasanya ingin menertawakan diri sendiri saja. Betapa manusia itu rentan sekali terjangkiti bipolar (semacam gangguan psikologis, yang salah satu cirinya adalah suasana hati yang mudah berubah).

Pada suatu jam aku bisa merasakan kegalauan akut, hingga terciptalah kata-kata yang mengalir sedemikian begini

Aku tahu apa yang harus kulakukan
Aku paham betul apa yang kurasakan
Aku mengerti tempat baik mana yang harus aku tuju
Tapi sayang, aku tidak cukup pintar untuk berbohong
Tidak cukup cerdas untuk berdusta
Tidak cukup cakap untuk menjalankan otak tanpa hati
Aku bodoh? Tidak, menurutku
Aku hanya… ah, hatiku terlalu lemah untuk membenci seseorang

Membencimu? Tidak. Aku tidak pernah menginginkan
Sama seperti mencintaimu. Aku juga tidak pernah merencanakan
Memaafkan. Itu yang paling ku inginkan. Setidaknya untuk detik ini saja
Aku ingin merasakan kebebasan dari semua rasa-rasa tentangmu

Apapun, APAPUN, aku akan melakukannya
Asal Kau kembalikan lagi kebebasan hatiku
Memampukan aku untuk bisa membencinya sesaat, lalu memaafkan

Bukankah ini sudah lama?
Tidak bisakah Kau akhiri hukuman atau, entahlah ini?
Aku bahkan tidak bisa membedakan ini hukuman atau ujian

Mau sedalam apa lagi Kau biarkan rasa sakit itu menjalari setiap ruas hatiku?
Tidak mungkin aku jatuh lebih dalam lagi ketika aku sudah berada di dasar

Aku tahu ini hanya soal waktu
Yang ku takutkan, jika terlalu lama
Aku akan lupa bagaimana rasa-rasa yang lain selain sakit

Dan pada jam berikutnya aku sudah kembali pada kesadaranku sebagai manusia yang penuh syukur. Ya, aku bersyukur. Bahwa dalam segala kegalauanku, aku masih bisa makan enak. Masih bisa menikmati lezatnya eskrim. Masih bisa ngemil coklat tiap malam. Masih bisa tidur di bawah selimut tebal dan di atas kasur empuk. Masih bisa jalan ke tempat-tempat yang aku inginkan. Masih bisa nonton film. Masih bisa membeli segala macam barang ini itu.

Bahwa dalam setiap senggukan tangisanku, aku masih punya mereka yang selalu siap menghapus air mataku. Atau bahkan menangis bersamaku. Aku masih berada dalam dekapan kedua orang tuaku. Aku masih punya Nopi, adikku, yang akan seringkali mengalah untukku. Aku masih punya saudara-saudara yang begitu peduli padaku. Aku masih punya sahabat-sahabat yang selalu tahu bagaimana cara membuatku tersenyum. Dan yang paling penting di atas sepenting-pentingnya kepentingan, aku masih punya Tuhan. Yang kapanpun dan di manapun selalu siap menjadi tempat pengaduanku atas segala masalah yang ku risaukan. Lalu, nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan ku dustakan?

Setuju atau tidak? Meski se-[pura-pura]-benci apapun kamu dengan para motivator itu, kata mereka memang benar adanya. Bahagia adalah soal keputusan. Karena sejatinya hidup ini bagai dua sisi mata uang. Hanya salah satu sisi yang bisa kita lihat dalam satu waktu. Tidak mungkin melihat kedua sisinya dalam waktu yang bersamaan, kecuali kamu punya lebih dari satu mata uang. Alias kamu punya lebih dari satu kehidupan. Mau melihat kepala atau ekor adalah pilihan.

Galau. Aku percaya, aku bukan satu-satunya di dunia ini yang merasakannya. Sama seperti takut mati. Semua orang pasti [pernah] takut mati, meskipun mereka tahu itu adalah kepastian. Patah hati juga. Semua orang yang pernah jatuh cinta, pasti juga pernah merasakan patah hati. Alam semesta ini diciptakan berpasang-pasangan. Hidup mati, perempuan laki-laki, begitupun dengan jatuh dan bangkit.

Dan seringkali sial datang dan pergi tanpa permisi kepadamu suasana hati, tak peduli.
Bukan “sial” namanya kalau dia peduli dengan suasana hati kita. Tuhan menciptakan “kesialan” berdampingan dengan “keberuntungan” juga. Nah, tergantung kitanya, mau focus menatap yang mana. Mau bilang “sial, dompet gue ilang” atau “untung, cuma dompet gue yang ilang”. Selalu ada pilihan untuk menyikapi segala sesuatu dari sisi positif atau negatif. So, be good selector for your life ya guys ^_^