Senin, 10 Oktober 2016

Luna

Hujan turun seharian. Luna hanya menghabiskan seluruh waktunya di kamar. Memainkan ponsel. Atau sesekali mengelus Ploi—kucing kesayangannya. Kepalanya masih terasa pening, sisa menangis semalaman. Iya, semalam dia bertengkar dengan Barata—seseorang yang hampir dua tahun ini menjadi kekasihnya. Dan seperti biasa, setiap kali bertengkar Luna akan berurai air mata. Ada perasaan sakit yang teramat di hatinya.

Sembari memainkan game, berulang kali Luna membuka aplikasi whatsapp-nya. Berharap, sangat berharap ada pesan masuk dari Barata. Sebuah permintaan maaf atau sekedar menanyakan kabar. Tapi, nihil. Sepertinya kali ini Barata benar-benar marah. Muak mungkin. Sama seperti Luna semalam. Semalam Luna benar-benar emosi. Dia mengeluarkan semua yang dia pendam selama ini. Tentang sikap Barata yang lama-lama membuatnya tidak nyaman.

Sebenarnya bukan sekali ini saja Luna mengkomplain sikap Barata yang seringkali meyentuh rasa sakitnya. Sudah puluhan kali dia memberi warning kepada Barata atas ketidaknyamanannya. Tapi, Barata cuek. Tak mengacuhkannya. Dan kali ini Luna berada di puncak kejengkelan. Hanya karena Luna menghadiri acara ulalng tahun salah seorang sahabatnya, Barata marah. Bahkan sampai mendiamkannya. Padahal sebelumnya dia sudah meminta ijin, dan Barata mengijinkan.
“Kalo dengan menjadi monster bisa membuatmu merasa keren, up to you. Tapi, manusia lain tidak akan selamanya nyaman berada di dekat monster. Karena monster itu hanya ditakuti, bukan di-respect-i , apalagi dicintai.”
Begitu lah pesan terakhir Luna yang tak dibalas oleh Barata. Keterlaluan memang. Luna pun merasa kali ini dirinya sangat kasar. Tapi, di saat bersamaan, dia merasa bahwa Barata memang harus ditampar sekeras-kerasnya, supaya dia sadar kalau berkarakter seorang antagonis bukan lah yang patut dibanggakan. Kalau keegoisan dan kegengsiannya tidak akan membawa kebaikan apa-apa, kecuali kebencian dari orang lain. 

Barata sebenarnya kekasih yang baik dan sangat mencintai Luna. Saking cintanya, dia sampai tidak rela kalau Luna menghabiskan waktu bersama orang lain, selain dirinya. Tapi, rasa cintanya kebablasan. Barata bahkan tidak suka melihat Luna menghabiskan waktu dengan keluarga atau sahabat-sahabatnya. Dan di bagian ini Luna sama sekali tak nyaman. Bagaimana pun juga Luna punya keluarga dan sahabat yang sebelum ada Barata, mereka sudah ada lebih dulu. Luna sudah berangsur menarik diri dari beberapa temannya. Itu belum cukup bagi Barata. Ini lah yang membuat Luna benar-benar kesal.

Ploi mengeong. Membuat Luna tersadar dari lamunannya. Kembali dia mengecek ponsel. Masih berharap ada pesan masuk dari Barata. Dan lagi-lagi nihil. Berlahan air matanya turun lagi. deras. Sederas hujan yang menetes dari langit siang ini.