Sabtu, 26 Oktober 2013

Tentang Orang Tua Dan Wisuda

Ada rekan kerja sekantor yang anaknya baru saja wisuda DIII. Wajahnya begitu sumpringah. Dia kelihatan bahagia sekali. Selama seminggu, tidak henti-hentinya dia bercerita ke semua orang tentang wisuda anaknya itu. Memperlihatkan foto-foto wisuda, album kenangan, bahkan transkrip nilai sementara anaknya pun dia bawa kemana-nama.

Senyum bangga selalu tersungging di wajahnya yang keriput.


“Lihat, Bu, Pak! Ini Epik. Kemarin baru wisuda.” Demikian dia selalu berkata pada rekan-rekan kerjanya. Termasuk padaku.

“Wah, Epik sekarang kelihatan lebih cantik ya, Pak.” Hampir semua orang menlontarkan jawaban seperti itu usai melihat foto Epik dengan baju toganya. 

Dan kembali dia tersenyum bangga.

Rekanku itu begitu bangga, karena merasa berhasil mengantarkan anaknya sampai ke bangku kuliah. Dia yang hanya berijazah SMP, dan sekarang anaknya punya ijazah DIII.

***
Kemudian, aku teringat ibuku. Aku merasa terhempas. Hatiku ngilu. Setahun yang lalu, aku juga diwisuda. Kedua orang tuaku bangga, pasti. Tapi justru aku yang mematahkan semangat kebanggaan mereka. Egoku sebagai seorang perempuan muda memaksaku harus menyembunyikan sebagian besar kenangan yang bersinggungan dengan wisuda.

Pernah, waktu itu, sepulang dari kantor. Aku mendapati salah satu foto wisudaku sudah berdiri gagah di atas meja kamar. Aku tahu, ini pasti kerjaan ibuku untuk menunjukkan rasa bangganya. Tapi, kemudian aku mengambilnya dan memasukkannya lagi ke dalam map wisuda dan menyimpannya di lemari. Bahkan, berkali-kali ibu meminta untuk memajang foto-foto itu di ruang tamu atau ruang keluarga. Tapi aku selalu menolak. Sampai akhirnya ibuku lelah dan tak lagi membahas tentang foto-foto itu.

Ya, seperti itulah kadang-kadang kelakuan kita (bisa jadi hanya aku). Aku selalu bilang ingin membahagiakan orang tua. Ingin menyenangkan hati mereka. Takut menyakiti mereka. Tapi hal kecil seperti ini saja tidak bisa kulakukan. Hanya memajang foto, apa susahnya? Tentu aku punya alasan. Alasan yang menurutku aneh. Karena foto-foto terlihat jelek. Ini alasan klise untuk menutupi alasan sebenarnya.

Dan alasan yang sebenarnya, tentu tidak akan ku ceritakan. It’s a private.

Tapi, sejak kemarin aku sudah berjanji. Akan memajang foto-foto itu. Tapi nanti. Mungkin, saat aku sudah tak tinggal lagi di rumah orang tuaku. Jadi, aku tidak akan sering-sering melihat foto itu. Cukup orang tuaku yang merasa bangga setiap kali menatap foto anak-anaknya dengan berpakaian toga.

Seperti rekan saya tadi. Orang tuaku pun akan bercerita dengan penuh rasa bangga bila ada kerabat yang bertanya tentang wisuda anaknya. Orang tua yang hanya berijazah SD, bisa mengantarkan anak-anaknya menyentuh bangku kuliah. Ini yang seringkali membuat saya haru, hingga terkadang meneteskan air mata.

Diakui atau tidak, tingkat pendidikan memang menjadi prestige tersendiri bagi keluarga, terutama orang tua. Kamu, mau sekolah tinggi atau tidak itu memang terserah kamu. Kamu yang merasakan efeknya langsung. Tapi orang tuamu, mereka berhak bahagia dan bangga saat berfoto bersama anak-anaknya yang mengenakan toga. #SeflNote

Senin, 21 Oktober 2013

Barcelona, Third Day

Saya berdiri di dekat jendela. Menatap langit Barcelona di pagi hari. Jalanan masih lenggang. Kabut bercampur embun membuat udara sedikit lembab. Sudah 3 hari saya menghirup udara di kota ini. Rasanya semakin betah saja. Tata kota yang bagus dan kehidupan yang teratur adalah salah satu hal yang membuat saya kagum dengan Barcelona. Bahkan, berada di kamar hotel saja saya merasa damai. Udara di dalam kamar terasa dingin. Namun, akan langsung berubah manjadi hangat ketika kita berpindah ke kamar mandi. 

Pagi ini saya menghabiskan banyak waktu di kamar mandi. Memanjakan tubuh yang terasa sangat lelah. Sejak berangkat dari Jakarta, saya belum bisa beristirahat dengan nyenyak. Mungkin karena tubuh masih memerlukan adaptasi dengan ekosistem baru hehe. Berendam di bathup dengan air hangat beraroma terapi, membuat badan terasa lebih fresh.

pukul delapan waktu setempat, saya dan Sarah sudah duduk manis di restoran untuk sarapan. Hari ini kondisi perut sudah lebih stabil. Tidak eneg lagi saat melihat aneka makanan yang tersedia –berharap ada soto atau nasi goreng, huhuhu–. Saya memilih telur dadar dan beberapa potong biskuit untuk mengisi perut. Jus jeruk dan air putih sebagai minumnya. Potongan melon dan pepaya sebagai penutup. Dan sedikit yogurt yang saya fungsikan sebagai penyeimbang pencernakan. Ah, saya jadi teringat beberapa cup mi instan yang ada di koper.

Di hari ketiga ini, saya dan rombongan akan jalan-jalan ke luar kota. Kami akan plesiran ke Girona dan Montserrat. Dua tempat wajib kunjung saat berada di Barcelona. Girona yang terkenal dengan tata kota yang unik. Dan Montserrat dengan pemandangan alamnya yang menakjubkan.

GIRONA. Kota ini terletak 100 km ke arah utara kota Barcelona. Lumayan jauh. Butuh waktu 2 jam menggunakan bus untuk sampai di sini. Girona kota yang tenang. Setenang aliran sungai Onyar yang mengalir di tengah kota. Yang unik dari kota ini adalah bangunan warna-warni yang berbaris rapi di sepanjang tepi sungai Onyar. Girona sangat terkenal dengan legenda kissing the famous lion of Girona. Legenda yang mempercayai bahwa, orang yang mencium bokong patung singa yang berada di jalan masuk kota lama Girona ini, dia akan kembali lagi ke tempat ini. Amin. 

Lion of Girona

Bangunan warna warni di sepanjang sungai
Saya dan rombongan berjalan kaki memasuki area kota lama. Jalanya nanjak dan berkelok-kelok. Tujuan kami adalah Katedral Saint Mary of Girona. Sebuah gereja Kristen primitif yang pernah beralih fungsi menjadi masjid pada abad ke-7. Jadi, jangan heran jika di beberapa bagian gereja ini terdapat arsitek khas timur tengah. Yang saya Sayangkan ketika memasuki wilayah dalam gereja, para wisatawan dilarang memotret.

Kota lama Girona

Musisi jalanan dengan alat music tradisionalnya

Bangunan di sekitar gereja

Anak-anak yang belajar di depan gereja
Di Girona ada festival bunga tahunan. Biasanya diselenggarakan saat musim semi. Sekitar bulan Mei. Dan beruntung sekali, saya ke sana pada bulan Mei. Meskipun, tidak bertepatan dengan hari perayaan festival bunga, tapi kami berkesempatan untuk melihat persiapan festival bunga tahun ini (2012).

Persiapan festival bunga
Dari Girona, saya dan rombongan melanjutan perjalanan ke Montserrat. Rute menuju Montserrat ini subhanallah sekali. Jalannya berkelok-kelok khas pegunungan. Saya bisa menikmati pemandangan alam yang luar biasa sepanjang perjalanan. Bukit-bukit yang tersusun tak beraturan dari batuan bergerigi. Dan segala macam tanaman yang tumbuh di atasnya. Kalau di Jawa, gambarannya seperti perjalanan ke Gunung Kidul lah –jauh banget Ye?!–.

Saya dan rombongan tiba di Montserrat hampir sore. Ramai sekali. Suhu udara di sini terasa lebih dingin. Anginnya juga kencang. Kami langsung menuju restoran yang berada di tepi tebing untuk menyantap makan siang –late lunch. Makan siang kok jam 15.00 lebih–.

MONTSERRAT. Pegunungan ini berada pada ketinggian 1.240 mdpl. Terletak di sebelah barat laut kota Barcelona. Terkenal dengan patung The Black Madonna. Yaitu patung Maria yang berwarna hitam legam. Warna hitam tersebut, diperkirakan berasal dari asap lilin yang menumpuk selama ratusan tahun. Di pegunungan Montserrat terdapat sebuah gereja dan museum. Basilika. Iya, disebut Basilika Montserrat.

Pemandangan sepanjang jalan menuju Montserrat

Barcelona dari Montserrat

Pegunungan bergerigi

Patung yang matanya serasa hidup

Teras gereja

Dalam gereja
Sebenarnya tidak banyak yang bisa saya ingat tentang gereja dan museum di sini –maaf, saya tidak terlalu concern dengan sejarah katedral yang berdiri megah di tempat setinggi ini–. Saya kelewat takjub dengan pemandangan alam yang terpapar. terlanjur dibuat kagum dengan karya cipta Tuhan yang se-WOW ini.

Satu hal yang tidak boleh terlewat saat ke Montserrat adalah kereta gantung. Kereta gantung ini menjadi penghubung antara Basilika Montserrat dengan tempat parkir bus kami. Ini pertama kalinya saya naik kereta gantung. Rasanya, dududu syalala. Alias menyenangkan. Karena suguhan pemandangan alamnya benar-benar luar biasa. Bisa juga menjadi therapy untuk mereka yang phobia dengan ketinggian. Saat melihat pemandangan yang begitu luar biasa, dijamin kamu akan lupa dengan yang namanya ketinggian –semoga–.

Kereta gantung

Tempat pendaratan kereta gantung

Seperti biasa, plesiran hari ini ditutup dengan makan malam. Di Restoran Cina lagi. Alasannya, ya biar kita ketemu sama nasi lagi. Di restoran yang kami kunjungi -selain Restoran Cina-, kami tidak menemukan menu nasi. Dan perut kami masih perut pribumi yang selalu membutuhkan nasi setiap harinya ^^.

Malam ini, kami tiba di hotel lebih larut dari biasanya. Saya langsung menuju kamar. Kemudian tekpar. Charging tenaga untuk perjalanan selanjutnya.

Demikian, yang bisa saya sampaikan di hari ketiga. Pengalaman hari ke pertama dan kedua bisa kamu intip di sini. Tunggu cerita selanjutnya ya, masih ada 3 hari lagi ^^.

>> to be continue 
 

Celotehku Tentang [yang katanya] Penjajahan Budaya

Setiap pagi saya selalu mendengarkan lagu-lagu CNBLUE. Itu band asal korea selatan yang hampir semua lagu-lagunya saya suka. saya juga seringkali menghabiskan waktu malam dengan menonton drama korea yang sudah jadi penghuni tetap di HD labtop. Saya suka dengan fashion ala-ala korea. Sederhana, tapi enak dilihat. Saya juga banyak belajar make up dari tutor korea yang tersedia di youtube. Terus, apakah saya bisa disebut sebagai korban budaya korea? Menurut saya, enggak. Saya memilih itu itu semua dengan sadar, karena saya suka. Karena saya nyaman. Bukan karena ikut-ikutan trend demam korea. Atau karena terhipnotis sama wajah-wajah bening orang korea. saya tahu kok, kebanyakan wajah bening mereka itu palsu. Hasil rekaan belaka.

Sebagai warga negara indonesia yang lahir, tumbuh, dan mungkin akan mati di tanah air ini, dengan bangga saya mengatakan “saya sangat mencintai tanah air ini. Indonesia.” saya mencintai tanah air ini dengan segala keindahan dan kebobrokannya. Apa yang saya makan dan minum berasal dari tanah air ini. Menghirup udara di sini. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air ini.

Tapi mencintai tanah air beserta segala budaya yang terkandung di dalamnya, bukan berarti saya harus anti terhadap budaya negara lain kan? Misalnya Korea itu tadi. Saking sukanya dengan budaya korea, saya sempat belajar menulis dan membaca huruf hangul. Sempat ingin sekali berkunjung ke Korea Selatan. Ingin belajar lebih banyak tentang pola kehidupan dan pengelolaan negara di sana.

Satu pertanyaan yang sering berputar-putar di kepala saya adalah, kenapa Korea Selatan negara kecil begitu bisa semaju itu? Secara geografis, bila dibandingkan dengan indonesia, Korea Selatan itu tidak ada apa-apanya. Saya pernah mendiskusikan ini dengan guru IPS di sekolah. Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan di sini.

Saya ingin menyampaikan, bahwa keberhasilan penjajahan budaya terhadap suatu negara itu bukan sepenuhnya karena usaha negara penjajah. Negara yang dijajah pun ikut andil menyukseskannya.

Contoh...

Serial kartun Upin Ipin sukses di Indonesia. Kita menyebutnya sebagai strategi penjajahan bahasa. Jangan hanya melihat itu. Tapi lihat, apakah kita bisa memberikan tayangan yang sebagus itu untuk anak-anak Indonesia? Yang nilai edukasi memang rasa anak-anak? Big no! Selama ini saya hanya melihat tayangan anak-anak yang nilai edukasinya jarang sekali dipikirkan. Bahkan terkesan dikesampingkan. Sinetron anak-anak kita ceritanya terlalu monoton. Anak yang disiksa orang tuanya lah. Anak yang di-bully sama teman-temannya lah. Sisi edukasinya dimana? Kalau saya jadi orang tua pun, saya tidak akan menginjinkan anak saya untuk menonton acara-acara semacam itu.

Saat kita menonton film superhero dari amerika. Kita bilang itu sebagai penjajahan karakter. Amerika ingin dianggap sebagai negara paling hebat di dunia, karena mampu menciptakan superhero. Mereka ingin menanamkan hal tersebut di otak kita. Well, mungkin pendapat seperti itu masuk akal juga. Tapi introspeksi dulu lah diri kita. Kalau saya pribadi, ya tentu saya lebih suka menonton film-film dari luar itu dari pada sinetron-sinetron kita yang komersilnya sudah tingkat dewa itu. kalau memang kita keberatan dengan tontonan-tontonan macam itu, ya buatlah karya lain yang lebih atau minimal bisa mengimbanginya.

Dan saat kita punya film The Raid yang sukses di luar negeri, kita malah berprasangka buruk lagi dengan orang luar. Ada yang beropini bahwa melalui The Raid, Amerika ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang sadis. Ya Tuhan!

Terus, masih ingat sama tayangan X-Factor Around The World? Saat Ahmad Dhani terbata-bata berbahas inggris? Banyak banget yang melontarkan bully-an ke Ahmad Dhani. Padahal menurut saya tidak ada yang salah dengan sikap Ahmad Dhani. Ya, wajarlah. Dia kan orang Indonesia asli yang tidak diwajibkan untuk menguasai Bahasa Inggris. Justru orang luar yang datang ke kita itulah yang seharusnya menghargai Bahasa kita. Saat melihat orang eropa tidak bisa berbahasa Inggris, kita selalu bilang “itu namanya cinta bahasa”. So, kenapa itu tidak diterapkan di negara sendiri?

Pun, saat ada yang tergila-gila dengan K-Pop. Kita anggap itu ababil. Hanya ikut-ikutan biar dibilang gaul. Ealah, lalu bagaimana dengan yang gila sepakbola? Belum pernah saya mendengar hal itu disebut aneh.

Kemudian saat ada budaya indonesia yang go internasional, kita bilang, kita bangga. Tapi sebagian ada yang bilang itu ciri-ciri bangsa minder. Lha terus, harus gimana? Bangga terhadap budaya sendiri salah. Mengagungkan budaya negara lain apalagi.

Ya gitu deh. Kadang kita itu terlalu sibuk mendikte dan manyalahkan negara lain. Sampai kita sendiri lupa untuk berbenah. Ayolah, jangan hanya menyalahkan mereka jika budaya mereka semakin diterima oleh masyarakat kita. Tapi coba tanya, ada apa dengan kita? Kenapa budaya kita tidak lagi diminati bahkan oleh masyarakat sendiri?

Hanya celoteh pribadi perempuan yang lagi selo

Rabu, 16 Oktober 2013

Kenapa Harus Saya?

Dalam Angkot

Mentari terik. Panas sangat terasa di dalam angkutan ini. Angkutan izuzu trayek Salatiga – Ungaran ini penuh sesak dengan penumpang. Tak ada lagi bangku kosong di sana. Saya naik dari Karangjati menuju Ungaran. Duduk di samping seorang Ibu. Sudah tua. Usianya sekitar 60 tahunan sepertinya. Ibu itu menyambut saya dengan senyum ramah.

Untuk mengisi waktu, saya sengaja berbincang dengan Ibu tersebut. Kami berbincang selayaknya orang yang baru kenal dalam angkot. Angkot terus berjalan. Ungaran semakin dekat. Dan tiba-tiba ibu tersebut menggenggam tangan saya. Ibu itu bercerita panjang lebar tentang dompetnya yang hilang di dalam bus (baca: kecopetan). Bagaimana dia diturunkan oleh kernet bus karena tidak bisa membayar ongkos sampai ke Boyolali? Ibu tersebut sebenarnya mau ke Boyolali, menjenguk anak dan cucunya. Namun, diturunkan di Salatiga oleh kernet bus. Diturunkan di dekat pos polisi. Kemudian oleh polisi, dia disuruh pulang lagi ke Semarang. Namun, dititipkan kepada angkutan yang hanya sampai di ungaran. Dalam kebingungannya, Ibu itu menurut saja.

Selama Ibu itu bercerita saya hanya bisa menimpalinya dengan kata “oh.. iya.. terus?.. pripun?” dan sebangsanya. Ternyata, sepanjang jalan sambil bercerita, Ibu itu mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kalau sekarang dia tidak punya uang sepeserpun. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa sampai ke rumahnya yang berada di daerah Pasar Kambing, Semarang, jika dia tidak punya ongkos untuk pulang. Dan saya adalah satu-satunya orang yang berada di dekatnya. Yang dia harapkan bisa membantunya.

“Sebentar lagi Ibu ini turun. Kasian kalo gak punya ongkos. Nanti pulangnya gimana?” Pikiran saya terus berdiskusi. Masih antara ingin memberi atau tidak. Angel and demon are making a war in my mind.

Malaikat bilang, “Kasih, Yun! Kasihan. Coba kalo kamu yang ada di posisinya?”

Iya, ya benar juga. Coba kalau saya ada di posisi seperti ibu ini, pasti juga akan melakukan hal yang sama.

Iblis nyela, “Tunggu, Yun! Siapa tau dia itu cuma pura-pura aja. Masa iya jaman sekarang masih ada cerita kayak gini. Macam di sinetron aja.”

Iya juga ya. Kalau ibu itu bohong gimana?

Malaikat bilang lagi, “Yun, mau dia bohong atau enggak kan urusannya. Urusan kamu cuma menjalankan perintah Tuhan untuk saling membantu. Siapa tau lho, dia jelmaan malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengujimu?”

Setelah perdebatan sengit itu, akhirnya saya putuskan memberi uang secukupnya untuk ongkos pulang sampai ke rumahnya. Saya memberikannya beberapa menit sebelum ibu itu turun. Doa-doa meluncur begitu saja dari bibir ibu yang sudah beranjak renta itu. saya hanya bisa tersenyum seraya mengamini segala doanya.

Dalam perjalanan selanjutnya, setelah ibu itu turun, saya masih terus kepikiran. Bagaimana ibu itu nanti? Bisa sampai rumah atau tidak dengan ongkos yang pas-pasan tadi. Ah, kenapa saya tidak memberi uang lebih kepadanya tadi? Bahkan setelah saya sampai rumah pun, saya masih kepikiran.

Hari ini hidup mengajari saya satu pelajaran lagi. Kenapa di antara puluhan orang yang ada di angkot, ibu itu memilih saya untuk menolongnya? Karena saya berada di dekatnya. Mungkin. Tapi, tentu bukan itu jawaban yang saya harapkan. Saya berharap, jawabannya adalah, karena Tuhan yang menyuruh dia untuk memilih saya. Saya berharap dia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menguji saya. Dan saya berharap jika suatu saat, saya mengalami hal yang sama, Tuhan juga akan mengirimkan malaikatNya untuk menolong saya, meski dalam wujud yang lain.

***

Jalan Malioboro

Siang itu, saya berjalan sendirian di sepanjang trotoar jalan Mataram menuju Malioboro. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak menyapa. Wajahnya terlihat sangat lelah. Dia menenteng sebuah tas yang terlihat usang. Dari penampilannya, bisa ditebak kalau bapak ini sudah cukup lama berada di bawah terik matahari. Kulitnya hitam mengkilap. Pakainnya lusuh.

Awalnya dia tanya jalan. Tapi kemudian curhat. Kasusnya sama dengan yang di atas. Bapak itu kecopetan dalam perjalanan pulang menuju kampung halamannya di Wonogiri. Sementara itu, dia terpisah dengan teman-temannya. No handphone, no gadget. Lagian kalau pun ada  bapak itu tidak akan bisa memanfaatkannya.

Dari seisi curhatannya, saya bisa menarik kesimpulan bahwa bapak itu butuh uang untuk bisa sampai ke rumahnya. Kembali pikiran saya berdiskusi. Malaikat dan iblis mulai mendebatkan argumennya masing-masing. Kasih enggak? Kasih enggak? Kasih enggak?

Setelah sekian menit, akhirnya malaikat menang lagi. Saya mengeluarkan dompet, dan mengulurkan selembar uang untuk bapak itu.

“niki pak, mung sekedik. Mugi-mugi panjenengan kerso nampi.” Saya berbasa-basi dengan bahasa jawa yang belepotan.

Bapak itu tersenyum. Terlihat senang. Tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih dan doa. Saya mengantarnya sampai ke celter. Memastikan bapak itu tidak akan kesasar. Saya menyeberang ke malioboro, dan Bapak itu melambaikan tangan dari celter. Saya tersenyum. Merasa lega.

Di sini, saya kembali bertanya. Kenapa harus saya? Dari puluhan orang yang lewat, kenapa bapak itu memilih saya? Dan jawaban yang saya harapkan juga sama dengan yang tadi. Bahwa Tuhan sedang mengirimkan malaikatNya untuk menguji saya. Malaikat Tuhan sedang menjelma dalam wujud yang lain.

***

SPBU Surakarta

Dompet saya tertinggal di mushola salah satu SPBU di Surakarta. Saya menyadarinya setelah berada di Boyolali. Panik. Semua barang berharga ada di dompet itu. Saat itu yang saya harapkan cuma satu. Ada orang baik yang menemukannya dan kemudian mengembalikan dompet itu ke alamat yang tertera di KTP. Uangnya mau diambil silakan, tapi minimal dompet, KTP, ATM, dan buku tabungan saya kembali.

Dan keajaiban pun terjadi. Tuhan benar-benar mengirimkan malaikatNya. Dompet itu ditemukan oleh orang baik. Dan kembali pada saya dalam keadaan utuh. Uangnya tak berkurang sepeserpun.

Kejadian ini, mengingatkan saya dengan peristiwa-peristiwa di atas. Malaikat-malaikat Tuhan selalu menjelma dalam berbagai wujud. Kadang dikirmkan untuk menguji kita. Kadang untuk menguatkan. Kadang sebagai penolong.

Saya selalu percaya apa yang kita tanam, akan kita petik. Kalau menanam apel ya pasti berbuah apel. Tidak ada ceritanya kan, pohon apel berbuah mengkudu? Kalau menanam padi ya akan tumbuh padi. Meskipun ada ilalang di sekitarnya. Tapi jangan berharap kalau kamu menanam ilalang akan tumbuh padi.

Saat kita menolong orang lain, pada dasarnya kita sedang menolong diri sendiri. Pun saat kita menyakiti orang lain, tanpa sadar kita sedang bersiap untuk menyakiti diri sendiri. Dan Tuhan tidak pernah menutup mata untuk melihat itu semua.

Saat saya selesai menulis ini, saya menatap langit sejenak. Tersenyum kepadanya. BerharapTuhan juga tersenyum kepada saya.

Senin, 14 Oktober 2013

#SelfNote

Damn! TL malam ini bikin panas mata dan mengoyak hati. Yang satu mengingatkan tentang Ibu. Satunya lagi bercerita tentang pernikahan mengharukan penyandang difabel. 

Oiii..

Mana yang selalu sok sibuk dengan hidupnya sendiri dan mengabaikan Ibu? Mulai sekarang sering-seringlah habiskan waktu bersamanya, selagi dia masih ada di dekat kita.

Mana yang selalu memusingkan berat badan dan jerawat di wajahnya? Belajarlah dari peyandang difabel, penderita penyakit kronis, yang meskipun tidak sempurna dan sakit-sakitan tetap hidup dengan penuh syukur.

Mana yang saat putus cinta, merasa paling menderita sedunia? Keluarlah, ke jalanan sebentar. Lihat orang-orang yang tidur di emperan toko, anak-anak yatim piatu. Mereka tidak banyak mengeluh dan tidak menangis sepanjang hari. Kamu yang masih tidur di kasur empuk. Makan makanan enak. Masa' gak ada syukurnya sama sekali. 

*toyor diri sendiri*

Sabtu, 12 Oktober 2013

Solo, Semalam Sehari

Wah, udah weekend lagi aja. Hari-hari cepat berlalu. Baru seminggu yang lalu saya dan 3 orang saudara menghabiskan waktu semalam sehari di Solo. Sensasinya aja masih terasa sampe sekarang.

Solo, the spirit of Java, emang kota yang tidak pernah membosankan untuk dikunjungi. Minimal setahun sekali saya berkunjung ke kota ini. Karena urusan pekerjaan. Nah, minggu lalu, saya bersama 3 saudara sengaja mbolang ke sana dengan menggunakan kendaraan umum. Niatnya untuk mencari suasana baru dan kabur dari segala rutinitas yang membosankan.

Jam 15.00 waktu bagian karangjati, kami berempat memulai perjalanan. Jam segitu saat weekend, bus semarang – solo pada penuh. Terpaksa kami harus berdiri sepanjang perjalanan, sampai ada penumpang lain yang turun dan mengiklaskan tempat duduknya untuk kami. 2,5 jam kemudian kami sampai di Solo. Tepatnya di terminal Tirtonadi. Dari sini kami mulai ribut. Tak ada satupun dari kami yang tahu jalan di Solo. Pun dengan saya yang menjadi andalan mereka. Meskipun saya sering ke Solo, tapi saya juga tidak begitu paham jalanan di daerah ini. Ya, gimana bisa tahu? Setiap ke Solo selalu dijemput di depan rumah, terus pulangnya diantar sampe depan rumah lagi. Semua tinggal terima jadi.

Bermodalkan alamat hotel hasil googling, saya bertanya kepada petugas terminal. Ada yang menyarankan untuk lanjut naik bis saja, terus nanti turun di perempatan. “Lhah, ini di perempatan mana pak? Saya buta perempatan di Solo je...” Teriak saya dalam hati.

Ada yang menyarankan untuk nyarter mobil atau taxi saja. Berhubung, waktu itu langit sudah hampir gelap, kami putuskan untuk bergerak cepat. Kami menyewa mobil yan seadanya dengan harga Rp 50.000. Itu harga mati. Supirnya gak mau ditawar-tawar lagi. Ya sudah. Demi keamanan dan kenyamanan bersama kami menyepakati harga tersebut.

Setelah, muter-muter gak jelas. Dari satu perempatan ke perempatan lain. Lewat jalan ini itu. Nanya-nanya ke tukang parkir, Akhirnya hotel yang menjadi tujuan kami ketemu juga. Paradiso Guest House. Tempatnya agak masuk ke gang. Sebenarnya dekat dengan jalan raya. Tapi gak tau tuh supirnya, malah muter-muter gak jelas. Berada di daerah Kemlayan Kidul. “Pilihan hotel yang tepat.” Gumam saya begitu petugas membuka pintu. Sekilas bangunannya agak serem. Maklum, bangunan peninggalan jaman Belanda. Tapi suasana asyik. Tenang. Harganya juga murah. Antara Rp 80.000 s.d Rp 150.000 per kamar. Cocok untuk kami yang memang berniat backpacker-an. Tapi, jangan mengharapkan fasilitas wah di hotel dengan harga murah. Fasilitasnya standar sekali. Kamar tidur yang empuk, kamar mandi dalam. Tentu, tanpa ada pilihan keran hangat atau dingin. Handuk. Dan terakhir kipas angin. Pokoknya, menurut saya, lumayanlah. FYI, kipas anginnya lucu,khas jaman dahulu kala. Keran klosetnya juga. Masih puteran. Saya suka, dan memainkannya beberapa kali. Kamso ya? biarin!
 
Salah satu spot di Paradiso

Spot lainnya
Kami sempat berbincang dengan petugas hotel. Dan mendadak shock, saat tahu ongkos dari terminal ke hotel. Hanya Rp 25.000. Itupun sudah taxi. Iya, selisih 50%. Muka kami langsung lemes. Tapi ya sudahlah. “Anggap saja ngamal.” Kata-kata pembelaan untuk diri sendiri kalo lagi salah.

Malam hari, kami menyusur Solo dengan jalan kaki. Karena hari ini memang antinyaman. Gak ada mbecak atau ngangkot lagi. Kami muterin kota Solo. Jalan Slamet Riyadi dan sekitarnya lewat. Berakhir di Galabo. Niatnya kulineran. Eh, malah asyik nonton akustikan. Ya udah, ngendon aja di situ sampe tengah malam. Lagunya syik-asyik sih. Tapi sempat jalan-jalan juga dink. Coba-coba makanan dan minuman baru. Wedang Uwuh, bajigur, ternyata jenis minuman tradisioanl itu gak cocok di lidah saudara-saudara saya. Saya mah, pilih aman aja. Pesen es pisang ijo dan rolade. Bukan rolade dari daun singkong lho ya. Rolade yang ini dari daging yang digulung, terus diiris tipis menyerupai tempura yang bunder itu. “Jauh-jauh ke Solo kok Cuma makan es pisang ijo, Ye?” Batin saya sendiri. 
 
Suasana makan malam dihibur sama akustikan

Galabo

Manusia-manusia dengan pose yang gak jelas
Berhubung di situ juga lagi ada Pekan Wisata dan Ekonomi Kreatif 2013, ya sempatin mampir dulu lah. Itung-itung liat hiburan kesenian daerah geratis. 
 
Salah satu kesenian daerah. Tapi maaf kurang jelas
Lewat tengah malam, masih dengan jalan kaki kami pulang ke hotel. Sepanjang jalan yang kami lewati masih ramai saja. anak-anak motor seperti membuat barisan sendiri sesuai dengan jenis motor yang mereka tunggangi. Singkat cerita, kami sampai di hotel dan langsung tekpar. Bayangan untuk tidur dengan nyenyak buyar seketika, mendengar dengkuran keras dari bantal sebelah. Huh, pengen timpukin itu yang tidur di sebelah. Atau ganjel mulutnya pake bantal. "Dek!!!"

Pagi hari, jalan-jalan lagi. ikuta CFD ceritanya. Maklum di negara saya, karangjati, gak ada yang namanya CFD. Berlanjut ke acara selanjutnya, yaitu muterin Keraton Solo. Setelah berjalan jauh, dan 2 orang saudara saya mengaku kelelahan, kami putuskan untuk menyewa becak. Rp 25.000 per becak. Mahal gak sih harga segitu? Kalo menurut saya sih enggak. Lha bapaknya yang sudah tua gitu suruh genjot becak muterin keraton, kampung batik, sampai ke BTC. Terus masih diantar pulang sampai ke hotel. Duhhh, Si Bapak, semoga rejekinya berkah deh. 
 
CFD...
Muterin Keraton solo itu nyenengin. Bangunnya yang khas. Warna yang identik dengan putih biru. Diapit 2 alun-alun. Liat kebo keramat juga. Beneran deh, kalo lain kali ke sini lagi, harus benar-benar meluangkan waktu. Titik. 
 
Depan Museum Keraton

Dekat pintu masuk keraton
Dari keraton, perjalanan di lanjutkan ke kampung batik yang lokasinya tidak jauh dari keraton. Biasa, belanja-belanja. Kata bapak tukang becaknya, di sini batiknya bagus-bagus. Iya, memang bagus-bagus kalo yang harganya juga bagus. Tapi tersedia juga harga murah kok. Tapi, ya gitu susah nawarnya. Ditawar sampe gimana juga turunnya pol 15 %. Belinya borong pun, tetep segitu. Ya udah, kadung kepincut sama batiknya, ya dibeli juga.

Selesai transaksi di kampung batik, kami melanjutkan perjalanan ke BTC (beteng Trade Center) Solo. Belanja-belanja lagi. Memang ya, gini kalo perginya sama mbak-mbak. Harus siap uang saku dadakan. Tapi, BTC ini tempat favorit belanja saya di Solo lho. Harganya miring hehe. Yang suka fashion, tapi uangnya pas-pasan, tempat ini recommend deh.

Mbecak
Puas keliling BTC sampai kaki gempor, kami balik lagi ke hotel. Packing. Trus pulang deh. Satu yang terlewat, gak sempat naik bus werkudoro. Cuma lihat pas dia lewat aja. Kapan-kapan deh baik lagi ke Solo. Pergi ke Museum Sangiran. Ke Candi Sukuh dan Cetho. Ke Grojogan Sewu. Ke Makam pak Harto. Eh, ternyata banyak tempat di Solo yang belum dikunjungi. Kapan saudara-saudaraku kita ke sana lagi? Pasti jawabnya “ntar deh, kalo waktu dan duitnya pas.”

Pokoknya, terimakasih Solo. Untuk keramahannya semalam seharian.

Sabtu, 05 Oktober 2013

KPK: City Hunter Indonesia

2 tahun yang lalu saya terpana melihat Lee Yun Seong (lee Min Ho) di drama korea City Hunter. seorang pemuda hebat yang dengan gagah berani membongkar semua kasus korupsi yang di lakukan oleh para senator di negaranya. Bukan dengan campur tangan pemerintah, tapi dia berusaha dengan caranya sendiri. Meskipun motivasi awalnya misi balas dendam, tapi nurani manusia tidak pernah salah. Pada akhirnya dia melakukan itu semua untuk membantu masyarakat yang dirugikan oleh para koruptor itu. Yes, mungkin itu hanya cerita buatan manusia. Tapi saya tetap merasa kagum dengan sosok Lee Yun Seong tersebut. Sampai-sampai saya memutar drama korea tersebut berulang-ulang.

Lalu, apa hubungannya dengan KPK? Iya, saya mengibaratkan KPK itu City Hunter-nya Indonesia. Yang berlahan-lahan tapi pasti mengusik ketenangan para pelaku terkorup –kalau kata Mbah Sudjiwo Tedjo, terkorup itu berarti tidak sengaja korupsi. Sama seperti terjatuh, berarti tidak sengaja jatuh – yang masih bergentayangan di berbagai lembaga tinggi di negara ini. Diawali dengan penangkapan Nazarrudin, yang tentu saja sebagai manusia normal, dia tidak mau jatuh sendirian. Akhirnya dia mengicaukan nama teman-temannya sesama pejabat yang ikut terlibat dalam kasusnya.

Salah satu nama yang mebuat saya terkejut adalah Angelina Sondakh. Seorang Angelina Sondakh yang di mata saya adalah perempuan yang hebat. Seorang perempuan yang tidak hanya cantik secara fisik, tapi juga punya otak yang cerdas, pun [kelihatannya] berhati baik, kok ya bisa-bisanya nyelem dalam kasus korupsi. Apalagi kalau ingat iklannya beberapa tahun yang lalu, dengan lantangnya dia mengatakan “TIDAK PADA KORUPSI”. Duh, Gusti, rasanya hati ini remuk –yang ini terdrama–. Dan sejak itu, gak lagi-lagi deh percaya sama yang namanya muka [sok] baik, [sok] polos, dan [sok] alim yang ngaku-ngaku wakil rakyat itu.

Berlanjut dengan terungkapnya kasus korupsi “sapi”. Yang pelakunya adalah orang-orang yang paham betul tentang ilmu agama. Yang kemana-mana selalu pakai peci dan sarung. Dan ini membuat saya semakin muak dengan wajah-wajah itu. trus, wakil rakyat yang mana lagi yang bisa di percaya?

Polri, lembaga yang menaungi keamanan negara pun gak luput dari kasus suap menyuap dan korupsi. Masih ingat sama kasus Susno Duadji? Yang video youtube-nya bikin heboh itu? Yang entah sekarang dia ada di mana? Di penjara atau masih bebas berkeliaran di luar negeri juga gak ada yang tahu. Gak Cuma itu aja, ada nama Joko Susilo dengan kasus simulator SIM milyaran rupiah. Kalau sudah begini, sama siapa lagi kami harus mempercayakan keamanan negeri ini dari tangan-tangan jahiliah itu?

Lembaga perpajakan juga gak mau ketinggalan dalam kasus suap menyuap. Gayus Tambunan menjadi maskotnya. Ealah, rakyat kecil itu penghasilannya gak seberapa, disuruh bayar pajak, tau-tau di sana cuma dibuat keceh sama petingginya. Duh,Gusti...

Dan sekarang yang lagi in. Tertangkapanya Akil Mochtar. Ini, mau diadepin kemana lagi wajah hukum di Indonesia kalau rajanya saja bisa tersangkut kasus korupsi gini? Bapak Akil Mochtar yang terhormat ini ya, yang dulu koar-koar untuk melawan korupsi. Yang ngasih ide, untuk memotong jari-jari para koruptor sebagai hukuman. Lah, sekarang malah kesandung. Trus, gimana pak? Mau jarinya dipotong?

Itu hanya sebagian kecil kasus yang mencuat ke permukaan. Karena kebetulan pelakunya orang-orang besar yang memangku jabatan berpengaruh di negeri ini. Yang di bawah-bawah juga masih banyak. Gak usah jauh-jauh. Mantan lurah di desa saya saja pernah jadi tersangka. Dan sekarang malah masuk DPO.

Sebenarnya, kalau mau menilik lebih jauh lagi. Kita sendiri juga salah. Secara gak sadar kita seringkali menjadi pelaku suap-menyuap. Misal, kalau kita mau buat KTP atau KK. Kebanyakan dari kita –termasuk juga saya– pasti males repot. Ya udah, salah satu jalannya ya pasrahin aja semua ke Pak RT. Nah, dari situ biasanya kita kasih biaya keringet. Itu.

Contoh lain yang lebih ekstrim. Saat anak kita –eh, kamu aja dink. Aku kan belum punya anak– masuk sekolah. biasanya orang tua yang gak sadar sama kemampuan otak anaknya, maksa anaknya untuk masuk ke sekolah favorit. Berhubung nilai gak mencukupi, ya dicukupi pakai duit. Dududu...

Apapun lah, semoga negeri saya tercinta ini menjadi negeri yang bebas dari tangan-tangan jahil. Semoga KPK bisa menjadi City Hunter yang terus memburu para pelaku “terkorup” di Indonesia. Dan bisa membuat yang siapun jera untuk melakukan tindakan korupsi. We lay on you, KPK!

Jumat, 04 Oktober 2013

Resume - Tuhan pun Berpuasa [Puasa dan Kesenangan]


Coba kamu tatap dirimu di cermin. Sejenak saja. Tataplah wajah, badan, pakaian, dan seluruh penampilanmu. Setidaknya, kamu bisa menyadari satu hal saja: bahwa potongan rambutmu, jenis dan warna pakaianmu, juga seluruh benda yang menempel di badanmu –semuanya– adalah sesuatu yang kamu pilih sebagai kesenanganmu. Lalu, jika sempat, pandanganlah ke setiap sisi ruang di rumahmu. Perhatikan perabot-perabot, benda-benda, barang dan hiasan yang memperindah rumahmu. Ingatlah sebentar, di mana dan kapan kamu membeli atau memperolehnya? Lantas, kembalilah pada kesadaran yang tadi, bahwa semua benda yang kamu pilih itu berdasarkan kesenanganmu.

Jika sempat lagi, hitunglah berapa besar peran kesenangan dalam kehidupanmu. Berapa persentase ketidaksenangan? Kemudian, coba renungkan bagaimana sikap batin, pikiran dan jiwamu terhadap kesenangan dan ketidaksenangan itu?

Renungan tersebut bisa mengantarmu pada kenyataan tentang seberapa jauh kamu terikat pada kesenangan pribadimu serta seberapa jauh kamu cenderung menolak ketidaksenangan hatimu.

Kamu membeli pakaian dan perabotan tadi karena menyenanginya. Dan kamu tidak tidak memilih atau membeli ini itu karena kamu tidak menyenanginya. Apakah kamu menjadi guru, olahragawan, penulis, pengusaha karena kamu menyenanginya? Apakah kamu kuliah di fakultas kedokteran karena kamu menyenanginya? Apakah kamu melakukan shalat dan puasa karena kamu menyenanginya? Dan apakah kamu meninggalkan dunia ini karena kamu menyenanginya?

Apakah Kanjeng Nabi Muhammad SAW menjadi utusan Allah karena beliau menyenangi perannya? Apakah beliau berangkat ke medan perang karena menyukai perang? Apakah beliau berdakwah dan dilempari batu di Thaif karena beliau menyenangi dakwah dan suka dilempari batu? Apakah beliau menikahi janda yang tidak cantik jelita karena menyenanginya?

Aku hanya ingin menuturkan padamu sebuah hakikat nilai, yang kumohon kamu mencari dan kudoakan kamu bisa menemukannya dengan menjawab pertanyaan dasar ini: apakah kamu hidup dan melaksanakannya berdasarkan senang dan tidak senang, atau adakah nilai lain yang lebih mendasar?

Jika kamu menggerakkan tangan dan melangkahkan kaki hanya karena dorongan senang dan tidak senang, maka kamu adalah bayi.

Bayi itu menangis, tertawa, bermain, makan, semata karena didorong oleh kesenangannya. Dan untuk melakukan kesenangan, kamu tidak memerlukan kualitas dan mutu kepribadian apa pun. Kecuali, ketika kesenangan itu memerlukan teknologi, ilmu, dan bakat, maka kamu dipersyarati oleh 3 hal itu untuk menuruti kesenanganmu. Akan tetapi, dengan itu, mentalmu tak perlu bekerja. Cukup selera, pengetahuan, dan keterampilan. Namun, dengan itu, kamu tidak akan pernah siap untuk menjadi manusia pejuang. Sebab, perjuangan sering mengharuskanmu untuk melakukan hal yang tidak kamu senangi.

Apakah kamu menjadi buruh pabrik karena kamu senang? Pada dasarnya, tidak. Kamu terpaksa menjadi buruh pabrik karena kamu perlu memperjuangkan hidupmu. Apakah kamu menjadi sales, pegawai kecil, sopir, dan lain sebagainya karena memang kamu senang? Pada dasarnya, tidak. Kamu senangnya menjadi menteri, direktur, konglomerat, gubenur, atau minimal menjadi camat. Tapi tidak bisa, sehingga kamu memerlukan perjuangan untuk menjadi apa yang kini kamu menjadi.

***

Puasa adalah metode dan disiplin agar kamu melatih diri untuk melakukan apa yang pada dasarnya tidak kamu senangi serta tidak melakukan apa yang pada dasarnya kamu senangi. Cobalah ulangi, pandang dirimu di cermin dan tataplah segala sesuatu di rumahmu: betapa kebanyakan dari kenyataan hidupmu itu “bersifat hari raya”, yaitu memenuhi kesenangan.

Puasa itu melatihmu untuk bermental pejuang. Pada dasarnya kamu tidak senang lapar. Secara alamiah, sebenarnya kamu menyenangi kenyang, makan, dan minum. Tapi, kamu tidak diperkenankan menikmatinya dari subuh hingga magrib.

Karena apa? Pertama, karena dalam hidup ini ada yang lebih sejati sebagai nilai dibanding senang dan tidak senang. Yaitu, baik dan harus atau wajib. Kamu melakukan sesuatu tidak terutama karena kamu senang, tapi karena hal itu baik, sehingga wajib untuk dilakukan. Jadi, kedewasaaan dan kematangan kepribadian dalam Islam adalah kesanggupan untuk menjalani hidup tidak terutama berdasarkan senang atau tidak senang, tetapi berdasarkan baik atau tidak baik, wajib atau tidak wajib.

Kedua, karena kamu adalah khalifatullah, maka yang dibutuhkan darimu adalah daya juang untuk sesama manusia. Apakah kamu senang membagi-bagikan uang hasil kerjamu? Apakah kamu senang menolong orang lain yang menderita dan memerlukan pengorbananmu? Apakah kamu senang membela orang-orang yang tertindas?

Kalau kesiapanmu hanyalah menuruti kesenangan, maka kewajiban-kewajiban sosial semacam itu akan minim untuk bisa kamu lakukan, sehingga di mata Allah derajatmu tidak tinggi. Sebab, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Maka, itulah manfaat puasa. Melatihmu untuk menjadi manusia yang mampu menakhlukkan kesenangannya. Mampu minum jamu yang tidak enak. Mampu lapar dan haus. Mampu mengorbankan kesenangannya demi kewajiban dari Allah dan kebaikan bagi sesama. Syukur kalau mampu kamu memproses batinmu sedemikian rupa, sehingga kesenangan dan kewajiban atau kebaikan bisa menyatu.

Tulisan tersebut merupakan resume dari buku Tuhan pun Berpuasa Bab Puasa dan Kesenangan karya Emha Ainun Nadjib.