Senin, 09 Juni 2014

Selo Time: Statusmu itu...

Saya pernah beberapa kali bertanya pada diri sendiri, kenapa saya membuat akun-akun sosial media? Dan jawabannya selalu berbeda di setiap masa.

Dulu, pertama kali bergabung dengan Facebook, niatan saya cuma satu, 'pingin tahu'. Begitu pun ketika menyusul banyak akun yang lain. Karena saya memang orang yang gak bisa diam. Selalu ingin mencoba hal baru.

Awal-awal di FB saya merasa sangat tertarik. Saya menuliskan apa pun yang saya rasakan dan lalui di sana. Dari hal gak penting sampai gak penting banget. Dari sekata sampai separagraf. Dari berita gembira sampai duka. Dari perasaan bahagia hingga galau tak terkira. Dari sekedar status candaan untuk seru-seruan hingga status seriusan. Dan anehnya, saya merasa bangga ketika itu di-like atau di komen banyak orang. Saya merasa diperhatikan.

Singkat kata, FB itu semacam buku harian pribadi saya yang di-shared ke khalayak. 

Tapi, semakin ke sini, saya semakin sadar, bahwa FB atau akun sosial media yang lain itu bukan sekedar buku harian pribadi. Itu adalah gambaran diri kita. Itu adalah salah satu media yang membentuk brand diri kita di mata user lain.

Apa yang kita tulis di kolom status adalah apa yang kebanyakan kita rasakan. Boleh lah kita membela diri dengan alibi, "Ah, itu kan sekedar bercanda. Gak usah terlalu dianggap serius." Dan bisa jadi itu memang beneran candaan atau lucu-lucuan. Tapi, usahakan, kalau sedang bercanda, bercandalah dengan status cerdas yang menunjukkan brand baik pada diri kita. Bukan sebaliknya, membuat kita terlihat 'enggak banget' di mata orang lain.

Saya sendiri, sekarang suka ketawa kalau menemukan status aneh-aneh. Entah tentang kegalauan yang berkelanjutan,  misuhin orang--bahkan pasangan, atau nulis status pakai tata tulis abnormal. Bukan ketawa senang, tapi ketawa miris. Kasihan. Sosial media yang manfaatnya luar biasanya ini, hanya diisi dengan hal-hal kurang bermanfaat, cenderung merugikan.

Boleh, kita semua menulis apa saja di kolom status kita. Ibaratnya itu rumah kita, mau diapakan ya suka-suka kita. Tapi, apa mau orang lain lihat rumah kita sampai ke isi kamarnya? Pilah-pilah mana yang layak dibagi ke orang lain--yang bahkan tidak dikenal, atau yang harus kita simpan sendiri. 

Untuk sebagian orang, bisa curhat masal di media mungkin melegakan. Tapi, pastilah resiko ke belakangnya lebih besar. Selain orang akan tahu masalah dan karakter kita, juga tidak banyak membantu. Saya berani taruhan, dari sekian ratus teman di FB, pasti hanya segelintir sahabat dan keluarga dekat yang peduli terhadap masalah kita. 

Itu lah kenapa, saya sering mendengar petuah, "Kalau lagi sedih, galau, marah, menjauhlah dari sosial media. Mendekatlah pada para sahabat dan keluarga."

Jadi, kawan, masih mau nyetatus sampah di sosial media? :))

Di samping Big Bear, 9 Juni 2014