Sabtu, 29 Juni 2013

Ini Sepenuhnya Untukku


#Jlebbb.. Twit salah satu temanku itu seketika menohok jantungku. Meskipun ini bukan kali pertama aku mendengar atau membaca kalimat semacam itu, tapi tetap saja hatiku terasa ngilu. Aku seperti diingatkan kembali, bahwa sejatinya ibadah dan kebaikan apapun yang kita lakukan adalah untuk dikembalikan kepada diri kita masing-masing. Begitupun keburukan.

Seringkali kita beranggapan bahwa sholat dan ibadah lainnya yang diperintahkan kepada kita adalah sebuah kewajiban. Kalimat di atas dengan gamblang ingin mengatakan bahwa itu bukan lagi kewajiban, tapi kebutuhan. Sama seperti halnya makan, minum, kentut, beol, menghirup dan menghembuskan udara, semua itu kebutuhan. Kebutuhan, yang jika kita tidak memenuhinya akan ada sesuatu yang kurang.

Sayangnya, banyak dari kita yang menempatkan ibadah-ibadah itu pada kebutuhan skunder yang “kalau sempat dilaksanakan, kalau gak ya gak”. Padahal, seharusnya itu kita tempatkan pada urutan pertama pada kebutuhan primer kita. Berapa banyak dari kita yang sering berkata “males” saat diingatkan untuk sholat oleh orang tua atau orang-orang terdekat kita?

Bab sholat ini memang susah-susah gampang. Karena ini berkaitan langsung dengan Tuhan yang kita sembah. Dan itu yang tahu hanya diri kita sendiri. Yang merasa butuh ya diri kita sendiri. Tapi yang pasti, kita sholat atau enggak, kita beribadah atau enggak, Tuhan tetaplah Tuhan. Yang tidak akan berkurang sedikitpun kualitas Ketuhannya. Dengan kata lain, Tanpa kita Tuhan akan tetap menjadi Tuhan dengan segala Ketuhannya. Tapi kita? Apa kita bisa tanpa Tuhan? Sedangkan apapun yang kita miliki, yang kita lihat, yang kita pegang adalah milikNya. Tubuh kita ini pun milikNya. Lalu, pantaskah kita menyombongkan diri dengan merasa tidak membutuhkanNya?

Ah, sudahlah.. Aku sendiri malah merasa malu. Aku belum bisa menempatkan ibadah di baris pertama kebutuhan primerku dengan baik. aku masih sering meninggalkan sholat karena alasan ini itu yang selalu kuciptakan sendiri. Masih saja rajin melakukan perbuatan-perbuatan maksiat yang secara teori aku paham betul bahwa itu terlarang. Ya Tuhan, hamba macam apa aku ini? Yang bisa kulakukan hanya mohon ampun padaMu setiap hari dalam doa. Dan kembali lagi perbuatan-perbuatan maksiat itu kulakukan. Selalu saja begitu. Dan Engkau tak pernah sekalipun meninggalkanku dan mencabut semua kenikmatan yang Kau berikan. Ya Allah, sekali lagi ampuni aku yang masih nakal dan belum bisa menjadi hamba yang dewasa ini.