Kamis, 17 April 2014

Racauan UN

 
Setelah pagi ini diisi oleh kekecewaan karena Barcelona gagal meraih trofi Copa del Rey, saya mau ngomongin soal UN aja lah. Mumpung momennya masih dapat nih.

UN? Apa sih UN itu? Ujian Nasional?

Yes, mungkin secara harfiah seperti itu. UN adalah Ujian Nasional yang diperuntukkan bagi peserta didik Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai syarat utama kelulusan. Catat ya, syarat utama kelulusan. Dengan demikian, selama sembilan tahun belajar—kalau tidak pernah tinggal kelas, hasilnya hanya ditentukan oleh empat hari dan empat mapel yang dianggap utama. Itu bagi Pendidikan Dasar.

Bagi Pendidikan Menengah, tiga tahun berkecimpung dengan berbagai macam ilmu, hasilnya hanya ditentukan selama tiga hari dengan tiga mapel yang dianggap utama.

Serius, saya masih gagal paham dengan pemikiran orang-orang pinter yang punya kekuasaan di ibukota sana. Apa yang sebenarnya mereka harapkan dari UN? Sebagai tolak ukur kualitas pendidikan kita? Menaikkan standar kemampuan belajar peserta didik? Shit!

Sekolah yang sejatinya menjadi tempat untuk ‘belajar’, ‘mengembangkan bakat’, dan ‘mendidik moral’ peserta didik, berlahan beralih fungsi menjadi tempat untuk membentuk robot-robot yang dipersiapkan hanya untuk mengikuti UN. Apalagi di tahun terakhir, semakin gencar pembentukan robot itu dilakukan.

Setiap hari mereka dicekoki dengan gimik-gimik menakutkan mengenai UN. Dan mereka dituntut dengan berbagai cara untuk memproduksi nilai yang baik di mapel-mapel UN. Saya bisa membayangkan betapa stressnya mereka.

Dalam hal ini, tidak hanya peserta didik yan stress, para pendidik pun tak kalah stress. Mereka dituntut untuk menghasilkan robot-robot yang baik dan penurut hingga menghasilkan nilai yang diharapkan. Jika itu tidak berhasil, maka cara curang pun dilakukan untuk mendongkrak nilai. Jadi, di mana letak pengukuran kualitas pendidikannya? Yang ada jeblok di sisi moral. 

Mungkin orang-orang yang berkuasa di atas sana juga lupa, bahwa NKRI ini terdiri dari berbagai pulau yang tentu saja memiliki standar sarana dan prasarana pendidikan yang berbeda di tiap daerah. Tapi, kenapa UN-nya disamaratakan?

Saya tergelitik membaca twit guyonan dari Mas Prie GS, “4. Einstein tidak pintar semua mata pelajaran. Ia pasti jeblok di pelajaran Bahasa Indonesia. Dan itu tak apa-apa.”

Dan untuk menjadi orang hebat, kita tidak harus menguasai segala bidang. Cukup satu, tapi lakukan dengan sungguh-sungguh. Untuk menjadi pesebakbola hebat, tidak harus bisa menguasai IPA dengan hebat pula. Untuk menjadi pengarang lagu jempolan, tidak harus jago matematika. 

Sangat bertolak belakang dengan UN. Peserta didik dituntut memiliki nilai sempurna untuk empat/tiga mapel, dan tidak tahu tujuannya untuk apa? Seandainya ada satu nilai mapel di bawah standar yang telah ditetapkan, bisa dipastikan tidak akan lulus. Lalu tiga/dua nilai yang lain menjadi tak berarti, meski mendapat nilai sempurna.

What’s next, setelah keempat/ketiga nilai mereka sempurna? Dunia kerja tidak membutuhkan itu. Yang dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan bersosialisasi dan bekerja dengan rajin dan baik. Bahkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi pun masih ada tes uji kompetensi. Yang artinya nilai UN tidak berarti, kecuali sebagai ajang pamer prestasi bagi sekolah-sekolah penyelenggara UN.

Ah, jadi pusing juga memikirkan ini. Tapi, kalau gak dikeluarakan kok ya mbededeg.

Mbok yao, dikembalikan kayak dulu saja. Tujuannya diluruskan. UN itu bukan sebagai syarat kelulusan, tapi sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berapa pun nilainya, lepaskan. Biarkan alam yang menyeleksi. Nilai bagus akan mendapat sekolah bagus, dan sebaliknya. Menurut saya itu lebih jujur.

Ini pemikiran dari awam seperti saya lho. Kalau orang-orang pinter mungkin beda lagi.

Sabtu, 12 April 2014

Dear, Kamu: Sebulan Tanpamu


Dear, kamu…

Sebulan setelah kepergianmu, semua tetap sama. Tak ada yang berubah. Perasaanku masih di tempatnya. Tak bergeser sedikit pun. Aku tak pernah menyangka akan seberat ini menggerakan rasaku, meski hanya satu derajat.

Rasa rindu mulai menggunung di hatiku. Menyeretku kian jauh terjerambab dalam keterpurukan. Selama tiga puluh hari ini, tak ada hari yang kulalui tanpa air mata. Tidak. Sama sekali tak ada niat untuk menangisi kepergianmu. Air mata ini tumpah begitu saja saat aku teringat segala tentangmu.

Tentang senyumu. Tentang mimpi-mimpimu. Tentang lagu-lagu yang kita nyanyikan bersama. Tentang ucapan selamat pagi dan selamat malammu yang tak pernah singgah lagi di HPku. Tentang sapaan mesramu yang tak pernah lagi mampir di inbox-ku. Tentang nada dering khusus yang tak pernah terdengar lagi. Tentang janji-janji yang tak sempat kamu tepati.

Aku selalu mencoba untuk kuat. Mencoba untuk yakin, bahwa kamu bukan yang terbaik untukku. Pun sebaliknya. Tapi, aku bisa apa? Kalau ternyata pertahananku ini tak sekuat perasaanku ke kamu.

Iya, selama 720 jam ini, aku belum mampu menghapus jejakmu yang sudah begitu dalam menembus sisi hatiku. Tapi, aku tak mau menjadi pengemis di hadapanmu. Aku memilih menanggung semua sendiri, daripada menggadaikan harga diriku untuk memintamu kembali ke tempat yang tidak ingin kamu tinggali.

Boleh lah, sebulan ini aku menangisi kepergianmu. Tapi, aku yakin, setahun, dua tahun kemudian, aku akan mengucap syukur atas apa yang telah kulewati hari ini.

Dan kamu, selamat menikmati pencarian yang baru. Aku masih tetap di sini, karena tubuhku masih terlalu lemah untuk melangkah. Karena bagiku, memindahkan hati tak semudah memindahkan panci.