Kamis, 26 November 2015

Review, Bajrangi Bhaijaan



Beberapa minggu lalu, saya menonton lagi film india yang sedang hits. Bajrangi Bhaijaan. Eh, nontonnya beberapa minggu lalu, tapi baru bikin review-nya sekarang. Gak papa lah, orang pengennya baru sekarang. Hihihi…

BTW, menurut saya, film-bergenre-komedi-yang-dramanya-lumayan-juga-ini adalah film india paling mengesankan yang pernah saya tonton. Setelah sebelumnya ada My Name is Khan, 3 Idiots, dan PK yang penuh inspirasi. Bajrangi Bhaijaan yang diproduksi untuk menyambut hari raya idul fitri 2015 ini juga menyusul. Film ini mengajarkan kepada kita tentang pluralisme, perdamaian dan kemanusiaan.

Salman Khan memerankan seorang Pawan dengan sangat baik. Pemuja Dewa Hanoman yang sangat taat, sehingga disebut Bajrangi. Ini adalah film terbaik Salman Khan—menurut saya sih.

Sebagai pemeran pembantu, sekaligus lawan mainnya adalah Kareena Kapoor. Berperan sebagai Rasika, calon istri Pawan. Aktingnya juga bagus. Meski tidak semenonjol Salman Khan.

Dan bintang dari segala bintang di sini adalah Harshaali Malhotra. Bocah yang tingkat keimutannya sudah melampau batas normal manusia biasa ini begitu luar biasa berperan sebagai Shahida. Tanpa dialog, bocah ini mampu membuat emosi saya naik turun. Hanya dengan mimik mukanya yang innocent banget. Duh, pipinya yang gembul benar-benar uyel-able. Oh ya, Shahida ini diceritakan sebagai bocah usia enam tahun yang tidak bisa bicara.

Plot cerita film ini sebenarnya simpel. Seorang bocah bernama Shahida yang tersesat di India. Lalu, bertemu dengan Pawan yang baik hati. Kemudian, dengan segala upaya, Pawan berusaha mengembalikannya ke Pakistan. Tempat di mana Shahida berasal.

Yang membuat film ini menarik untuk ditonton adalah konflik-konflik yang ada di dalamnya. Bisa dibayangkan sendiri, kan? Bagaimana susahnya berkomunikasi dengan anak kecil yang tidak bisa bicara. Belum lagi ini melibatkan dua negara tetangga yang—tahu sendiri lah, bagaimana kurang harmonisnya hubungan India dan Pakistan. Belum lagi perbedaan keyakinan antara Pawan dan Shahida. Ditambah soal kerumitan hubungannya dengan keluarga Rasika yang menetang keras kepergiannya ke Pakistan untuk mengembalikan Shahida.

Belum cukup di situ. Sesampainya di Pakistan, Pawan harus berurusan dengan kepolisian di sana, karena dicurigai sebagai mata-mata. Dia dijebloskan ke dalam penjara. Setelah berhasil melarikan diri, dia menjadi buronan.

Bahkan, setelah misinya untuk mempertemukan Shahida dengan keluarganya berhasil, dia masih harus kembali berurusan dengan polisi. Kali ini tidak hanya sampai di tingkat polisi, tapi sudah masuk ke ranah elit politik. Hallah.

Tapi, yang lebih penting dari semua cerita di atas adalah pesan yang ingin disampaikan melalui Bajrangi Bhaijaan ini. Dari seorang Pawan, kita semua diajari untuk menempatkan rasa kemanusian di atas segalanya. Tanpa melihat asal muasal dan identitas keyakinan. Pawan yang begitu taat menyembah Dewa Hanoman, dia tidak berat hati menolong seorang anak kecil yang berbeda keyakinan dengannya. Bahkan, sampai rela mempertaruhkan nyawa. Satu sikap yang sudah banyak hilang dari kita-kita. Lha baru menulis hashtag #Prayfor aja udah pada ribut. Eh. *SPEAKNOEVIL*

Melalui beberapa adegan, film Bajrangi Bhaijaan juga ingin menyerukan perdamaian dan toleransi beragama kepada dunia. That’s why film ini layak menjadi tontonan keluarga. Gak usah khawatir dengan anak-anak, film ini sangat minim adegan vulgar kok. Jadi, aman.

Demikian laporan dari saya. Semoga bermanfaat. Dan terima kasih telah membaca. :)

Selasa, 24 November 2015

Perkara Lipstik


Sudah lama banget gak nulis-nulis. Mau mulai lagi, rasanya aneh. Nyusun kalimat per kalimat aja kayak mau mulai lagi ngobrol sama mantan yang sudah lama diem-dieman. Kaku banget. Tapi, sekarang mau coba nih. Pumpung lagi ada bahan.

Jadi, ceritanya kemarin habis beli lipsitk 3 biji. Satu buat saya, sisanya buat temen. Harga lipstiknya sih lumayan mahal—menurut ukuran dompet saya. Secara, lipstik-lipstik di rak make up gak ada yang harganya semahal ini. Sebenarnya, baru coba-coba juga sih beli lipstik yang agak mahalan dengan merk yang kekinian. Biar apa ya? Ya pengen beli aja sih. Sesekali punya barang mahal gak ada salahnya kan ya? Selama gak maksa.

Berhubung saya adalah salah satu penganut paham ono rego ono rupo. Ada harga ada rupa. Di mana penjabarannya adalah, semakin tinggi harga, maka semakin baik kualitas suatu produk . Jadi, saya sama sekali gak meragukan kualitas lipstik yang kebeli kemarin. Bahkan, saya yang merekomendasikan kepada kedua teman saya untuk membeli merk yang sama.

Tapi, sialnya malah di saya. Setelah dipakai, diolesiin ke bibir saya, lipstik itu sama sekali gak sip. Bukannya bibir makin kinclong, malah jadi kering gak keruan. Banyak gumpalan di sana sini. Gak kayak kalau pakai lipstik yang biasanya. Mungkin, bibir saya gak cocok dipakain produk mahal. Entah lah. Hanya Tuhan dan sepasang bibir ini yang tahu.

Beda banget sama temen saya. Pas itu lipstik diolesin ke bibirnya, aman. Keliatan bagus dan rata. Gak ada gumpalan. Sumpah, saya sebel perkara ini! Tapi, ya uwis lah. Udah kebeli juga. Mau ngeluh juga gak ada guna. Mau dibuang, masih sayang. Akhirnya jejerin aja sama lipstik lain yang udah ada di rak make up. Itung-itung nambah koleksi warna.

Satu pelajaran yang saya ambil dari kejadian ini; Apa yang cocok di diri orang lain, belum tentu cocok di kita. Ini contoh. Lipstiknya sama, bibirnya beda, ya hasilnya beda. Kalau memang cocoknya pakai lipstik murah, ya udah, syukurin aja. Berarti gak perlu mengeluarkan banyak biaya. 

Hidup juga gitu sih. Yang kelihatannya enak di orang lain, belum tentu pas kalau diterapin di diri kita. Lha wong dari sidik jari kita aja udah beda, jadi gak usah maksa buat nyama-nyamain di lain hal. IMHO.



Di depan Lepi kesayang, 24 November 2015