Rabu, 06 November 2013

Pesan Dari Alam

“Alam bukan untuk ditakhlukan, tapi diakrabi”
Ini kali ketiga saya menjejakkan kaki memasuki kawasan hutan Gunung Ungaran sejak saya lahir sampai segede ini. Terakhir kali ke sana, saat itu usia saya masih belasan tahun. Untuk merayakan kelulusan dari Sekolah Menengah Pertama a.k.a SMP, saya dan teman-teman se-genk, kami bertiga belas nekat mendaki Gunung Ungaran. Kami melakukan pendakian di malam hari. Yang tentunya tanpa persiapan standar pendakian. Kami hanya membawa pakaian lengkap dengan jaket harian. Tanpa senter atau makanan yang cukup. Yach, namanya juga anak-anak, nekat dan berani menembus batas itu hebat. Tapi itu dulu, saat saya dan teman-teman masih labil. Kalau pendakian yang sekarang mah, udah lebih ngerti tentang apa yang harus dibawa dan dilakukan?

Kali ini saya jalan-jalan ke Gunung Ungaran bersama empat teman saya –saya sebut jalan-jalan soalnya kami gak sampai ke puncaknya–. Tiga perempuan, dua laki-laki. Dan saya memberi pengharaan kepada mereka dengan sebutan Power Rangers [dadakan]. Saya, dengan persiapan yang cukup matang. Kostum yang setidaknya tepat. Makanan dan minuman yang cukup. Dua teman, dengan persiapan yang paling lengkap. Segala jas hujan dan kompas dibawa. Tapi sayang yang paling penting justru gak bawa. Obat-obatan. Dan dua teman saya lagi yang cuma bawa diri mereka sendiri.

Perjalanan dimulai jam 8 pagi dari pos pertama yang berlokasi di Mawar, Umbul Sidomukti. Bersyukur, cuaca pagi ini bersahabat. Meski matahari terasa begitu terik, tapi itu tetap lebih baik dari pada hujan. Saya berjalan paling depan, memimpin teman-teman yang lain. Diikuti Na, sepupu saya yang pendiam. Tomo, teman kuliah yang ngebet banget pengen jalan-jalan ke Singapura adan Thailand. Ariana, teman yang baru saya kenal dari Rofik –ehm, pacarnya mungkin–. Dan Rofik, entah ini teman darimana, saya sendiri kurang paham. Yang penting saya dan dia berteman dengan sangat baik. Bukan begitu, Kak?

Langkah-langkah masih terasa ringan, karena medan yang kami lalui juga belum terlalu berat. Entahlah, ini saya yang terlalu bersemangat atau bagaimana? Setelah perjalanan yang lumayan jauh, saya menoleh ke belakang, dan tiga rangers paling belakang sudah menghilang dari pandangan. Kemudian saya beristirahat dan menunggu mereka. Begitu berulang kali. Bahkan di tengah hutan pun saya sempat foto-foto sembari menunggu mereka. 

Pose di tengah hutan ^^

Lebih dari setengah perjalanan kami sampai di pos kedua. Kebon kopi. Pemandangan di sini lumayan bisa menjadi pengobat lelah. Wangi kembang kopi, warna hijau daun kopi, ditambah kolam renang di pegunungan adalah keajaiban alam yang ditawarkan di tempat ini. Kami beristirahat sejenak. Merendam kaki di kolam renang pegunungan. Nyesss! Rasa sejuk menyergap di kedua telapak kaki saya. Bahkan dinginnya menyebar ke seluruh tubuh saya. Air alami pegunungan nyes-nya memang beda dengan yang ada di bawah. 


Ini kolam renangnya. Airnya ijo, pantulan dari lumut di kolam

Ngeksis ^^
Bangunan kuning ijonya

Lanjut jalan lagi. Medan di kebon kopi ini lebih bersahabat daripada yang ada di hutan tadi. Jalannya lebih lebar, bisa dilewati kendaraan juga. Di sekitarnya ada beberapa rumah. Rumah pegawai atau penjaga kebon mungkin. Dan ada satu bangunan yang mencolok berwarna kuning hijau. Disamping bangunan ada mesin penggiling kopi. Mungkin, bangunan ini merupakan bangunan utama untuk para pekerja. Tapi ketika saya lewat semua tertutup. Di sepanjang jalan suasana juga sudah mulai ramai. Kami berpapasan dengan banyak orang dan rombongan yang turun gunung.

“Biasanya banyak turis lho, mbak!” Kata Tomo, yang memang sering melakukan perjalanan ke gunung Ungaran ini.

“Oh, ya?” Sahut saya singkat.

Selama perjalanan, kami, terutama saya dan Tomo sering bercerita. Ngobrol apa saja yang bisa diobrolin. Dari masalah skripsi dia yang tertunda-tunda atau sengaja ditunda, sampai ke ranah politik yang bahkan kami sendiri tidak mengerti. Ya beginilah, anak muda yang penuh impian dan kebimbangan. 

Selepas kebon kopi, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Sepanjang mata memandang yang ada hanya indah. Hijau dimana-mana. Yup! Kebon teh dengan latar puncak Gunung Ungaran. Segala lelah terbayarkan di sini. Beberapa tenda masih berdiri kokoh di tepian kobon teh. Pasukan rangers menyebar. Menikmati alam dengan caranya masing-masing. Saya berdiri diantara barisan pohon teh. Mengambil nafas dalam-dalam. 

Power Rangers
Ini pada minta difotoin
Kebon teh berlatar Gunung Ungaran

“Ini nih. Mumpung di sini, ambil nafas sebanyak-banyaknya. Mumpung udaranya bersih. Jarang-jarang lhoh, kita bisa ketemu sama udara sesejuk ini.” Seperti biasa, saya yang paling banyak berceloteh di antara mereka.

“Sekalian masukin kantong, bawa pulang buat oleh-oleh.” Dasar. Rofik ini memang suka ngasal kalau jawab. Tapi jawaban spontan itu berhasil membuat kami ngikik bersama.

Dari kebon teh, kami berjalan turun menuju Promasan. Sebuah kampung kecil yang terletak di dataran pegunungan. Tempat ini merupakan tempat latihan yoniv 400 / Raider. Biasa digunakan untuk uji metal bagi para pecinta alam atau pelantikan pramuka. Dulu, pas masih berseragam biru putih, saya juga dilantik sebagai dewan galang di tempat ini.

Promasan sudah jauh berbeda dari terakhir saya ke sini –ya, iyalah. Udah berapa tahun Ye?-. Rumahnya sudah lebih banyak. Candi Promasan juga sudah dibangun. Tata kampungnya sudah jauh lebih teratur. Lantai mushola sudah tidak kayu lagi. Sudah diganti sama keramik warna ijo. Toilet, tempat wudhu, semua lebih nyaman. Yang paling penting nih, jajanan di warung sudah lebih lengkap. Dan heiii, ada juga tukang jual cilot di sini. Heran sih, gimana itu Bapak Cilot bawa dagangannya di mari? Jalan bebatuan semua, tapi dia bisa bawa dagangannya pakai motor. 

 
Rumah di Promasan
Candi Promasan

Saya juga dibuat kaget dengan adanya mobil bagus yang terparkir di dekat mushola. Lha kok bisa mobil bagus gitu di tengah gunung gini? Meskipun jalanan di Promasan ini bisa dilewati kendaraan, tapi sama sekali gak recommend buat mobil halus. Jalannya sama sekali gak cocok. Jalannya hanya cocok untuk motor trail. Tapi ya gitu, ada beberapa motor matic yang maksa buat sampai ke tempat ini. Gak tau lewat jalan mana? Setahu saya sih, yang bisa dilewati kendaraan cuma dari jalur Boja.

Power rangers menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam di tempat ini. Menikmati saat-saat bercengkrama dengan alam. Membiarkan angin gunung membelai wajah kami masing-masing.

“Tom, saya juga mau kalo disuruh hidup di sini selama seminggu. Asyik kali ya? Lepas dari segala hiruk pikuk yang ada di bawah sana.” Kalimat itu terlontar dari bibir saya saat kami duduk-duduk di beranda mushola. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa saya merasa bosan dengan segala aktivitas yang ada di bawah sana. Bahwa saya rindu dengan alam yang setenang ini. Sesejuk ini. Sedamai ini.

Kejutan lagi. Ada anak kecil usia 6 tahunan habis turun dari puncak. Kok, saya jadi mikir ya. Besok kalau saya punya anak, pengen juga ngajak dia main ke alam gini. Supaya dia bisa belajar langsung dari alam. Gak cuma kenal mall, gadget dan kendaraan di kota saja.

Kami pulang melewati jalur sama dengan berangkat tadi. Melewati kebon teh, kebon kopi, dan memasuki hutan. Member ranger, Tomo, kali ini agak kreatif. Dia mengajak kami, sedikti belok ke air terjun mini di tengah hutan. Keren. Airnya kayak air es. Dingin. 

Ini pemandangan di air terjun mini

Dan saat kami sibuk berkecipuk dengan air, tiba-tiba langit menangis. Rintik hujan mulai turun. Makin lama makin deras. Kami mempercepat langkah. Saya masih berjalan di depan. Kemudian berhenti di bawah pohon rimbun untuk berteduh. Sambil menunggu dua rangers yang masih di belakang. Satu ranger kakinya terluka karena salah pake alas kaki. Pelajaran nih, kalau niat naik gunung atau perjalanan jauh, pakailah alas kaki yang nyaman senyaman-nyamannya. Pakai baju yang nyaman juga. Hindari pakai celana jeans ketat. Kasihan otot kakinya, susah nafas. Jangan pakai highheel juga. Kecuali kalau kamu memang suka tantangan.

Tak lama kemudian hujan mulai reda. Rombongan lain yang tadi turun beriringan dengan kami sudah tak terlihat. Sepertinya mereka menerabas hujan. Di perjalanan selanjutnya, kami berpapasan dengan banyak turis asia. Saya geli sekaligus kagum melihat mereka. Dengan usia yang tidak bisa lagi dibilang muda, mereka masih saja bersemangat naik gunung. Bahkan dalam cuaca seperti ini. Dan dua jempol buat mereka. Meskipun mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi, mereka tetap mengenakan pakaian mendaki lengkap dengan tongkat di kedua tangan mereka. Ini contoh orang-orang yang sama sekali tidak menyepelekan alam.

“Tom, itu yang kamu cari udah datang. Para turis.” Saya melambai ke Tomo yang ada di urutan keempat belakang saya.

Tomo tersenyum.

Kami juga ketemu dengan sekelompok ibu-ibu yang mencari kayu bakar di tengah hutan. Satu kata buat mereka “HEBAT”.

Power rangers akhirnya sampai di pos pertama juga. Tempat kami memarkirkan motor. Perjalanan sederhana yang menyenangkan dan syarat dengan pesan dari alam. Dari kacamata hilang. Kaki Ariana yang lecet-lecet karena gak pernah jalan jauh. Kehujanan di tengah hujan. 
 
Dan pesan singkat yang bisa saya sampaikan dari alam adalah:
"Gak usah mikir jauhnya kayak apa? Jalan aja terus, ntar juga sampe. Kalo capek, ya istirahat. Tapi jangan sampe lupa tujuan. Kadang ada angin kenceng, ujan, ato awan gelap. Kadang cuaca juga cerah ceria. Tapi percayalah, selalu ada keindahan di depan sana"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar