Jumat, 24 Januari 2014

Selarik Cerita dari Pangandaran

Pangandaran, 13-14 Jan 2014

Terberkahilah kalian semua yang selalu punya banyak kesempatan untuk menikmati hidup dan melihat banyak tempat indah di negeri ini.


Setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam melewati lembah dan bukit, akhirnya kami sampai juga di Pantai pangandaran. Salah satu wilayah di Indonesia yang masuk dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi. *Mari coret tempat ini dari list*.

Begitu turun dari bus, kami disambut oleh sisa gerimis. Genangan air masih mengisi bebrapa ruas tanah yang cekung. Kagiatan pertama kami malam ini adalah makan malam. Setelah perut terkoyak di dalam bus, karena jalan yang kami lewati berkelok-kelok –kami mengambil rute Ungaran, Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Pangandaran– dan sebagian besar sudah berlubang, akhirnya tiba juga saatnya mengisi kembali perut yang kondisinya masih belum stabil.

Tidak ada yang istimewa di makan malam kali ini. Menunya hampir sama dengan menu harian di Ungaran. Ayam goreng dengan lalapan dan berbagai sayur mayur –yang begini di Ungaran juga banyak–. Dari tempat makan, kami diantar menuju hotel. Hotelnya, lumayanlah. Standar hotel pinggir pantai. Bergaya minimalis. Didominasi oleh warna coklat kayu. Tapi ya gitu, banyak mahkluk dari dunia lain yang berlalu lalang. Saat saya mengambil foto, ada beberapa titik putih yang tertangkap. Kalau di menurut nara sumber dari Indonesia Ghost Hunter, itu disebut partikel atau atom gitu. Saya lupa. Saya pernah mendengar penjelasan tersebut dari bintang tamu yang diwawancarai di salah satu acara talkshow di TV nasional.
Pose di depan kamar hotel. Dan ada yang lewat berupa bulatan putih.
Usai membersihkan badan, bongkar koper dan tas masing-masing, saya dan teman sekamar serta beberapa tetangga kamar, kami jalan-jalan mengelilingi area pantai. Sayang dong, kalau melewatkan suasana pantai di malam hari. Gak bisa tiap hari ini. Dengan menyewa odong-odong yang muat enam orang, kami gowes malam di bawah rinai hujan yang masih rintik. Lumayan buat olahraga malam. Untung saja jalanan rata, tidak naik turun seperti di Ungaran, jadi masih kuat lah mengayuh dua kilo bolak-balik.
Naik odong-odong XD
“Jadi begini pantai pangandaran di malam hari,” gumam saya.

Tidak begitu sepi. Sama seperti saya, banyak orang juga menyewa odong-odong dengan fasilitas full music dan AC alami untuk berkeliling pantai. Bedanya, saya dan lima orang lainnya yang satu odong-odong dengan saya, kami memarkirkan odong-odong dan mendekat barang sebentar ke tepian pantai. Melewati barisan warung souvenir yang masih buka. Bersama kami, ada segerombolan anak muda yang sedang berapi ungun sambil gitaran. Itu, seperti saya waktu remaja dulu. Nyanyi-nyanyi gaje sambil menatap bintang di langit. Sayang, malam ini bintang tak muncul. Di sebelah timur, ada dua pemuda yang sedang sibuk muter-muterin motor di atas pasir. Latihan motorcross ceritanya. Kalau di atas pasir, sekali pun jatuh, kan tidak begitu sakit.

Karena odong-odong ini hanya kami sewa selama sejam, maka setelah sejam, kami pun harus kembali ke hotel. Dan berhubung waktu sudah menunjukkan tengah malam, kami pun harus beristirahat agar besok bisa bangun lebih pagi untuk menikmati sunrise di tepi pantai.
Suasana pantai malam hari
***

Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Tapi suasana di pantai sudah begitu ramai. Sudah ada yang bermain-main ombak, padahal air masih lumayan tinggi. Beberapa orang berjalan-jalan saja tanpa alas kaki. Sekedar menyapukan kaki mereka di atas pasir dan sesekali membasahinya dengan air laut. Saya sendiri memilih tetap menjaga jarak dengan air laut. Niat saya ke sini hanya untuk menikmati sunrise. Tapi sial, posisi saya salah. Sunrise tidak terlihat dari sini. seharusnya saya berjalan agak jauh ke sebelah barat. Ya sudah, saya balik badan dengan perasaan kecewa. Untung masih ada salah satu teman yang bisa mengabadikan sunrise moment. Meski tidak seperti yang diharapkan, karena langit mendung, tapi jepretannya lumayan bagus kok. Dia tidak melihat sunrise muncul dari ujung laut, tapi sinarnya sudah begitu saja meninggi di balik awan.
Sunrise
Yuyun dan Ila dengan penampakan di belakang XD

Usai sarapan dan ramah tamah, kami langung check out untuk menuju obyek wisata selanjutnya. Green Canyon. Ini dia tempat yang saya mimpi-mimpikan sejak lama. Sejak saya masih berlangganan majalah remaja yang paling hits waktu itu. Saya membaca tentang tempat ini di sebuah artikel di majalah itu, dan saya langsung jatuh cinta.

Puji Tuhan, akhirnya saya sampai juga ke sini. Dengan menggunakan perahu motor bercadik, kami meyusur sepanjang sungai yang airnya sudah berwarna coklat mocca. Kata mas pemandu sih, gara-gara curah hujan yang tinggi, warna sungai ini jadi coklat. Bisa diterima, meski saya sendiri lebih suka beropini, kalau ini akibat dari ulah manusia. Bebatuan stalaktit menghias hampir di sepanjang tepian sungai. Dan WOW, saya dibuat takjub dengan pemandangan di ujung perjalanan. Bukan, ini bukan goa, apalagi surga. Di kanan dan kiri sungai penuh dengan bebatuan besar. Rintik air terjun jatuh kecil-kecil seperti air hujan. Batu besar seperti jembatan menggantung di atas kami. Ah, pokoknya tempanya indah banget. Warna coklat air tidak mengurangi keindahan di tempat ini. Coba kalau airnya bening? Pasti indahnya nambah berlipat-lipat. Saya jadi ingat Kautsar, nama salah satu telaga di surga. Mungkinkah seperti ini?
Fokus lihat yang di belakang saja ya..
Tuh, harusny renang menyusur tali itu.

Tempat ini di-claim sebagai Grand Canyonnya Indonesia, karena dikepung oleh tebing batu yang tinggi. Hampir sama dengan Grand Canyon yang di Amrik sana. Bedaya, kalau di sana batunya warna coklat seperti batu cadas, kalau di sini warna hitam khas batu kali dan ditumbuhi berbagai macam tumbuhan. Di sini saya dan tiga orang teman saya memberanikan diri untuk turun dari perahu. Sayang sekali kalau hanya duduk cantik di atas perahu, kurang greget. Seharusnya, kami melanjutkan perjalanan dengan berenang ke mata air suci. Tapi, karena waktu yang terbatas, kami terpaksa harus berpuas diri hanya foto-foto dengan bertumpu pada batu besar yang sudah pasti licin sekali.

Dari Green Canyon, kami berpindah ke Pantai Batu Hiu. Sebelum kami ke Green Canyon, sebenarnya kami sudah melewati tempat ini, karena memang sejalur. Tapi, kami memilih ke Green Canyon terlebih dulu karena pertimbangan teknis dan cuaca. Saat hujan deras, tidak mungkin bisa ke Green Canyon karena bisa dipastikan air sungai pasang.

Pemandang dari Batu Hiu ke Green Canyon atau sebaliknya benar-benar luar biasa. Bisa dibayangkan saat kamu mengendarai mobil di jalanan tepian pantai dengan nyiur melambai-lambai. Ditambah suara deru ombak. Birunya air laut yang seperti tanpa batas. Begitulah sepanjang perjalanan. Yand disayangkan cuma satu, jalan yang sempit dan berlubang.

Batu Hiu ini tempatnya seperti bukit. Melewati ratusan anak tangga yang lumayan bisa menurunkan kalori. Dan setelah sampai di puncak, subhanallah. Sepertinya seluruh laut di pantai selatan pangandaran terlihat dari sini. Udaranya cukup panas. Tapi sumpah, that’s nothing kalau dibanding dengan pemandangan yang bisa dilihat dari atas sini.
Batu Hiu
Patung Batu Hiu
Suka sama percikan ombaknya
Coba-coba buat siluet
Tragedi kecil terjadi di sini. untuk kedua kalinya dompet saya hilang. Jangan tanya, "Hilang di mana?" atau "Kok bisa?". Saya sudah bosan mendengar pertanyaan seperti itu. Sama bosannya dengan melontarkan jawaban yang sama. Saya baru sadar setelah berada di tempat selanjutnya. Itu pun saat kami sudah selesai dengan semua kegiatan dan bersiap untuk pulang. Tapi, lupakan. Saya juga sudah tidak ingin mengingatnya lagi.

Lanjut, ke perjalanan selanjutnya. Kali ini kami kembali lagi ke pantai pangandaran, lalu menyebrang ke pulai sebelah. bukan pulau sebalah sih sebenarnya, karena tempatnya masih gandeng dengan pulau jawa bagian pangandaran ini. Tapi untuk sampai ke sana, ke pantai dengan pasir putih itu, kami harus naik perahu motor bercadik lagi.

Harga sewa perahu motor itu –kalau tidak salah– 120.000 rupiah per perahu. Setiap perahu bisa mengangkut sepuluh orang. Dengan tambahan 15.000 rupiah per orang, kita bisa berlayar sampai ke tengah, tentu saja itu sebagai kompensasi untuk memanjakan mata kita. Dari atas perahu kita bisa menikmati pemandangan taman laut sekaligus bebatuan datar laut yang seperti biasa, selalu indah.
Boating ke Cagar Alam
Another boat

Di pantai pasir putih, selain bisa berenang, karena ombaknya yang relatif tenang, kita juga bisa diving. Dan yang lebih menarik adalah kita bisa jalan-jalan ke hutan cagar alam, yaitu hutan lindung yang masih sangat alami. Di sana ada populasi kera ekor panjang -saya lebih suka menyebutnya monyet-, lutung, kijang, Kalong, Burung Kangkareng, dan landak Jawa. Tapi, lagi-lagi sayang, yang menampakkan diri di sekitaran waktu itu pantai hanya monyet. Yang lain mungkin sedang bersemedi atau bertapa. Hewan-hewan itu dibiarkan berkeliaran begitu saja. Tak ada kerangkeng besi atau kayu yang membatasi ruang gerak mereka.

Satu pesan saya jika masuk ke cagar alam ini, jangan membawa makanan apa pun kalau tidak mau dikejar oleh kawanan monyet. Indera penciuam monyet sangat tajam. Belajar dari kejadian yang dialami teman saya. Dia tidak sengaja membawa sebiji jeruk di dalam tasnya, dan seketika itu juga langsung diserang oleh monyet. Sampai tubuhnya gemetaran dan menangis.

Terusss, jangan sampai mengganggu monyet. Apalagi monyet yang lagi PMS atau galau .Yang ini pengalaman saya sendiri. Saya hampir jadi korban kemarahan monyet. Gara-gara iseng fotoin monyet yang kayaknya sih lagi BT, eh malah saya dikejar-kejar. Alhasil saya jadi bahan ketawaan teman-teman. Awkward moment, tapi lucu juga kalau diingat.
Rame-rame di Cagar Alam
Kera ekor panjangnya lagi PMS
Lagi curhat-curhatan XD

Setelah menyelesaikan tugas menyusur hutan, kami kembali lagi ke Pantai Pangandaran dengan perahu yang sama. Dan melanjutkan bermain-main air di sana. Pasang badan untuk melawan ombak yang semakin sore semakin besar.
Pantai Pangandaran menjelang senja
Ehm… jujur ya, saya bakal berpikir dua kali untuk kembali ke panggandaran atau tidak? Bukan masalah tidak maunya. Tapi jauhnya itu lho. Di sana juga tidak ada angkutan umum. Susah untuk menjangkau tempat itu tanpa kendaraan sendiri. Dan lagi, di pantai pangandaran ini, hawa mistis masih sangat terasa. Saya dengar ada beberapa mitos ini itu. Bukannya tidak percaya, tapi saya memilih untuk tak memikirkannya.

Oleh-oleh yang saya bawa pulang yang paling terasa ya itu, rasa haru saat teman-teman menawarkan bantuan ketika saya kehilangan dompet. Yang artinya saya juga kehilangan seluruh uang saku yang ada di dalam dompet. Bersyukur sekali selalu dikelilingi oleh orang-orang yang baik.

*Lain kali hati-hati ya yun?! Jangan teledor lagi!* *Toyor diri sendiri*

Senin, 20 Januari 2014

Review: Belajar Menulis dari Penjaja Cerita Cinta



Judul : Penjaja Cerita Cinta
Penulis : @edi_akhiles
Penerbit : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan 1 : Desember 2013
Tebal : 192 halaman


Penjaja Cerita Cinta. Ini bukan novel! Ini kumcer!

Fisrt of all, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Edi Mulyono a.k.a Bapak @edi_akhiles tercinta yang sudah memberi banyak kesempatan pada saya untuk belajar menulis. Mengenalkan pada saya tentang dunia literasi dan tetek bengeknya. Memberikan dorongan pada saya untuk keep writing. Dan tentunya sedikit banyak telah menjadi inspirasi dalam hidup saya. Ah, kalimat terakhir ini, saya mengetiknya dengan tangan sedikit bergetar.

Next, saya ingin sedikit mengulas tentang semua cerita di dalam buku ini. Beberapa cerita di buku ini pernah saya baca sebelumnya. Kebetulan, saya adalah penggemar berat penulis yang satu ini, jadi saya selalu up date tentang tulisan apa pun yang di post di blog atau note FB beliau.

Seperti yang tertulis pada pengantarnya, kumcer ini sengaja disusun sebagai media belajar menulis fiksi bagi para pegiat literasi, terutama newbie. Pada setiap bab di buku ini, pembaca akan disuguhi teknik bercerita yang berbeda-beda. Bagaimana itu suspensi? Apa itu snapshot? Seperti apa kalimat pembuka yang menarik? Bagaimana dialog yang luwes? Seperti apa narasi yang enak dibaca? Bagaimana membentuk mindset? Koleksi diksi? Semua ada di buku ini. So, let’s grab it. 
  • Penjaja Cerita Cinta
Ini mungkin cerpen terpanjang yang pernah saya baca. 38 halaman. Di sini, penulis mengajak pembaca untuk belajar teknik menulis setting yang luar biasa detail. Alur maju mundur yang mengalir enak. Paragraf pembuka yang nampol. Kumpulan diksi yang banyak. Snapshot yang juga bikin ngiler –I mean, saya juga pengen bisa kayak gitu–.

Adegan “ehem” yang ada di tengah cerita, itu cerdas. Semacam suspensi agar cerita tidak membosankan. Pemilihan nama Senja juga cerdas. Sedikit membinggungkan memang. Tapi saya suka. Di sini, penulis mengajak pembaca untuk melumat cerita sebelum ditelan. Penulis mengajak pembaca untuk mengasah otak. Berpikir dulu sebelum menyimpulkan.
 
Well, saya simpulkan ini cerpen terbaik di buku ini.
  • Love is Ketek, Cinta yang Tak berkata-kata, Dijual Murah Surga Seisinya
Sengaja tiga judul saya jadikan satu. Tiga-tiganya tulisan yang ringan untuk dibaca, tapi tetap kreatif. Saya suka gaya tulisan begini. Menghibur. Pesannya langsung ngena. Cocok dibaca saat butuh otak lagi ruwet, karena nggak perlu mikir panjang.

Love is ketek yang disampaikan dengan begitu sederhana, membuat saya bertanya, “apakah saya perempuan seperti itu atau tidak?”.

Cinta yang Tak Berkata-kata membuat saya mengerti bahwa cinta itu tak hanya cinta. Ia butuh lainnya untuk tetap disebut sebagai cinta.Di sini saya menemukan beberapa typo. Ex: "Ksajikan", kata ganti "kamu" yang seharusnya "aku".


Dijual Murah Surga Seisinya juga bacaan yang ringan. Surga itu tidak mahal, nyaris gratis malah. Tapi justru paling sering kita lupakan.
  • Menggambar Tubuh Mama
Ini bab yang membuat saya merinding sedap. Saya berkali-kali mengambil tissue untuk menyeka air mata. Tapi, saya sedikit bingung dengan logika cerita di sini. Pas pertama kali baca sih terkesan enak dan masif. Lalu, saya baca lagi, dan menemukan sedikit kejanggalan di sana.

Pada part pertama, penulis bertindak sebagai pencerita. Pada part selanjutnya, penulis bertindak sebagai pelaku. So? Ini bercerita tentang seorang anak kecil yang merindukan kehadiran Mama kan ya? meski pun kalimatnya bagus dan penyampaiannya touchy banget –two thums for that–, tapi kurang terasa anak-anaknya.

  • Secangkir Kopi Untuk Tuhan
This is my favorite story. Saya yakin seyakin-yakinnya, cerita ini based on real story. Ditulis saat Kakak Marco Simoncelli, sang rider Bengal nan menawan itu meninggal dunia di Sirkuit Sepang tahun 2011 lalu.

Satu kalimat dari judul ini yang nempel bener di kepala saya adalah, “Semua orang akan mati di antara yang dicintainya”. Seriously, ini nampol banget.

Pesan lain yang saya tangkap dari cerita ini adalah, siapa pun kamu, apa pun agamamu, di mana pun kamu berada, boleh kok mengirim doa untuk siapa saja. Tuhan itu satu.

Melalui cerpen ini, kita diajari untuk bisa mengemas tulisan based on story secara enak dan renyah.

  • Cinta Cantik
Yuk, mari belajar psikologis di sini. Cerpen ini mengupas sedikit tentang cara kerja alam bawah sadar manusia.
  • Tak Tunggu Balimu
Ini cerita gila. Satu pembuktian bahwa mindset sangat berpengaruh pada hasil sebuah tulisan. melalui cerita ini kita belajar mengkorelasikan dua hal yang bertolak belakang. Dangdut koplo dan filsafat Paul Ricoeur, dicari benang merahnya. Dan hasilnya adalah cerita kriuk macam ini.
  • Tamparan Tuhan
Love this one too. “Memanfaatkan posisimu yang terdzalimi untuk memanfaatkan cinta Tuhan agar mereka pun terdzalimi”. Kalimat ini membuat saya menunduk dengan hati yang bergetar karena malu.
  • Abah, I Love You, Munyuk, Lengkingan hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya
Ini juga tiga judul yang saya jadikan satu, karena genre ceritanya nyaris sama. Sama-sama bikin mbrebes mili.

Abah, I Love You. Buat anak yang suka membangkang sama orang tua, terutama Bapak, nih baca! Suatu saat kamu akan berterima kasih untuk segala perlakuan keras Bapakmu.

Munyuk. Ini cerita tentang kesabaran seorang istri dalam menghadapi kemarahan suaminya.

Lengkingan hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya –judulnya panjang banget ya?–. Apa yang sudah saya lakukan untuk membalas kasih sayang ibu yang besarnya tak terkira itu? Dan saya selalu lemah jika menghadapi apa pun yang berhubungan dengan Ibu.

  • Cerita Sebuah Kemaluan
Kamu punya kemaluan? Pasti, kita semua punya kemaluan. Dan mari belajar dari kemaluan masing-masing melalui cerita yang satu ini. Baca dulu sampai habis, agar kesimpulanmu tidak sepenggal, demikian note penulis di akhir cerpen ini. Dan saya setuju. Baca dulu sampai selesai baru menyimpulkan dan berkomentar.
  • Aku Bukan Batu
Nah, untuk menetralisir kembali pikiran saru setelah membaca Cerita Sebuah Kemaluan, penulis menyuguhkan cerita ini. Agak berat memang jika berurusan dengan kemahakekalan Tuhan. Tapi, bacalah dulu, lalu renungkan.
  • Si X, Si X, and God
Buku ini ditutup dengan cerpen yang hanya berisi dialog, tanpa narasi sedikitpun. Di sini sepertinya penulis lebih menekankan pada penguasaan penggunaan tanda baca. Sehingga, walau pun tanpa narasi, pembaca tetap bisa merasakan suasana dan emosi melalui penekanan kata dan tanda baca pada dialog.

Dan untuk para newbie di dunia literasi, bersuka citalah, kalian dapat bonus tips menulis yang baik dan benar melalui tulisan Hindari “Dosa-dosa Preett” Ini dalam Menulis.

Demikian sedikit review dari saya. Semoga bermanfaat. Pokoknya buat kamu yang ingin belajar teknik menulis, buku ini recommended buat jadi bahan bacaan.

Sabtu, 11 Januari 2014

Hanya Isyarat: Little Present

Kepada Kata untuk Yunda

Apa yang terbayang saat kita hanya sepasang harapan di pungguk sayap malaikat semalam meniupkan angin berbisik di telingamu: “Seseorang sedang memujamu di tengah ladang salju, di sebuah savana yang kusut oleh bekas pertarungan. Ia sedang bertarung juga sendiri, di sana. Memerangi rindu dan luka-luka yang mengobangnya. Adakah engkau menjemputnya dengan tanganmu yang basah oleh doa?”

Di sini aku hanya mendengar lenguh kecil, seperti doa menunggu setiap mereka datang untuk menjemputmu pergi. Ke sebuah dunia yang dihantarkan mimpi-mimpi adakah itu engkau, wahai yang jauh? Engkau yang letih kepada waktu, kepada dunia yang mendekapmu bisu.

Aku semakin tenggelam kepada kata-kata, untukmu ingin segera merangkulmu ke tengah belantara yang kubangun dengan kesyahduan kesunyian kita lalu aku menemukanmu pada pucuk bunga edelwis saat musim semi tiba, saat bibirmu tumbuh menjadi fajar yang selalu mendekapku sepanjang waktu.

Kepada kata, kepada engkau yang diremas keheningan aku ingin bertandang segera. Membangun kastil dari pecahan salju yang mengubur rindu. Kupasang sebuah jendela untuk kita menyeberang ke sebuah dunia yang segera kita bangun menjadi istana.

Konya, 30 Des 2013

Kamis, 09 Januari 2014

You, Keep Smile


Lagi pada heboh sama tayangan di TV nasional ya? Lagu lama. Ingat tayangan Empat Mata? Dulu, acara talk show yang satu itu juga gak kalah heboh sama YKS –ups, nyeplos–. Terus dapat somasi dari KPI, tentunya atas desakan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.

Sekarang giliran YKS. Selain mendapat peringatan dari KPI, tayangan dengan model sketsa tersebut juga mendapat kritik pedas dari sebagian kalangan masyarakat. Petisi untuk menghentikan tayangan tersebut digemborkan di mana-mana. Kalau saya sendiri sih, merasa lucu saja dengan fenomena semacam ini. Bagaimana tidak? Separah itukah YKS mempengaruhi kehidupan senusantara?

Kalau mau ngomongin acara yang [katanya] tidak mendidik dan berkompenten merusak moral bangsa, tentunya banyak sekali. Acara komedi serupa YKS juga berseliweran di berbagai stasiun TV lain, bahkan jauh sebelum fenomena ini terjadi. Tapi kenapa setelah YKS heboh, baru masyarakat ngeh tentang itu? Lalu muncul petisi penghentian acara segala? Bukankah dengan begitu, masyarakat mengakui bahwa YKS itu "ikon" dan benar-benar booming?

Ya, kalau kamu memang penonton yang cerdas, pilihlah tayangan yang cerdas. Banyak pilihan kok. Tidak perlu repot mengurusi produk orang yang tidak berkualitas.

Keep Smile, guys! Hihihi....