Senin, 15 Februari 2016

Cokelatnya 14 Februari

It’s not about valentine’s day. It’s all about how to show your feeling.

14 Februari tahun lalu, tiba-tiba seseorang berada di depan gerbang kantor saya. Dia menelepon, lalu meminta saya keluar sebentar saja. Menuruti permintaannya, dengan masih bersandal jepit saya berlari kecil menujunya. Begitu bertemu, dia mengulurkan senyumnya yang dimanis-maniskan. Setelahnya, dia mengulurkan sebuah bingkisan kecil.

Seraya mengocok bingkisan, saya bertanya, “Apa ini?”

Dia menjawab dengan sedikit gugup, “Bukan apa-apa. Cepat sana masuk lagi,” Begitu bingkisan itu berada di tangan saya, dia menyuruh saya masuk. Dia menstater motornya, kemudian berlalu pergi.

Begitu berada di meja kerja, saya membuka bingkisan itu. Saya terkejut begitu menemukan sekotak cokelat dalam bingkisan. What? Ini apa? Ketika saya menulis tanggal di agenda surat masuk, saya baru sadar kalau hari itu adalah tanggal 14 Februari. Tanggal yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang oleh sebagian kalangan.

***

Yap. Buat sebagian orang, tanggal 14 Februari memang hari yang spesial. Terutama untuk para anak manusia yang sedang dilanda asmara. Buat sebagian orang lagi, ya, hari yang biasa saja. Gak ada bedanya dengan tanggal 14 di bulan-bulan lain. Saya termasuk yang biasa saja. Secara, dari jaman lahir hingga segede ini, sama sekali tidak pernah merayakan hari kasih sayang.

Pun saat itu, saya tidak beranggapan itu sebagai perayaan hari kasih sayang. Dalam pandangan saya, sekotak cokelat itu adalah caranya untuk menunjukkan perasaan. Kebetulan saja ngasihnya tepat di tanggal 14 Februari. Padahal, kalau dia mau ngasih di tanggal-tanggal lain, saya juga gak nolak kok. Cokelat kan enak hehe… 
 
Dan ini, kemarin dikasih sama mbak kasir pas belanja baju.
Jadi, harusnya yang kemarin ngarep dapat cokelat, tapi nggak dapat, belanja lah di toko itu. pasti dikasih sama mbak kasirnya. Alamat tokonya inbox ya :V

Rabu, 10 Februari 2016

Cerita Senja


Senja itu, saya dalam perjalanan pulang dari kondangan. Bersama seorang teman, sepanjang perjalanan, kami mengobrol tentang hal penting nggak penting. Maklum, kami sudah lumayan lama tidak bertatap muka. Di tengah obrolan gaje kami, teman saya itu bertanya, “Menurut kamu, orang yang menikah dengan kita itu beneran jodoh kita apa nggak?”

Saya melongo, hanya sepersekian detik. Lalu dengan tegas menjawab, “enggak!”

Kemudian dia bertanya lagi, “Terus jodoh kita siapa dong, kalau bukan pasangan kita?”

Saya mengangkat bahu, tanda tidak tahu. “Entah lah,” hanya itu yang mampu saya katakan detik itu.

Dia kelihatan mengangguk, berusaha memahami pendapat saya yang masih berantakan. Ya, dia memang salah satu orang yang paham akan ke-gaje-an saya. Beberapa menit kami saling terdiam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing sepertinya.

“Beruntung lah mereka yang menikah karena keingingan, bukan keharusan,” Di antara angin senja, tetiba saja keluar kalimat itu dari mulut saya. Saya menghela napas panjang, mendadak merasa puitis sendiri.

Teman saya sedikit kaget agaknya. Dia menoleh sebentar. “Maksudnya?” lalu kembali fokus melihat jalan yang masih becek sisa hujan.

“Ya, yuno lah. Di dunia ini ada banyak pernikahan yang terjadi karena sebuah keharusan. Bukan keinginan,” Saya menjentikkan jari tengah dan telunjuk bersamaan, tidak peduli kalau pun tidak ada yang melihat. Contoh, sepasang muda mudi berpacaran. Mereka tidur bareng, lalu hamil. Mau nggak mau, mereka harus menikah, kan? Menurutku, itu namanya keharusan,” Saya mengambil napas. “Kalau karena keinginan, ya... kayak... saya ingin bersamanya, cause I wanna be with him, no matter what,” lanjut saya.

“Owh..,” teman saya itu mengangguk lagi. Kali ini benar-benar memahami maksud saya.

“Kalau saya. Ketika nanti saya menikah, saya pengen menikah dengan seseorang karena kami saling menginginkan. Karena kami sama-sama ingin bersama. Karena kami ingin berbagi suka duka kehidupan bersama. Karena kami ingin membangun keluarga bersama. Karena kami ingin saling menjaga hingga usia senja,” Di balik kaca helm, mata saya mengerling ke arah langit. Berharap ada banyak malaikat yang mengamini kata-kata saya barusan.

“Tapi di dunia ini kan tidak ada yang sempurna,” Teman saya berseloroh. Kedua matanya masih fokus melihat jalan. Kali ini kami melewati jalan berkelok yang lumayan tinggi.

Di belakang punggungnya, saya mengulas seutas senyum. “Saya sadar, saya bukan makhluk sempurna. Jadi, saya pun tidak berani mengharapkan seseorang yang sempurna. Pasti akan sangat berat jika orang yang tidak sempurna seperti saya bersanding dengan orang yang sempurna.” 

Langit kian gelap. Obrolan kami berlanjut ke sana ke mari. Dia mulai menceritakan tentang beberapa hal pribadinya. Tentang segelintir nama orang yang pernah dekat dengannya. Tentang rencana pernikahannya. Tentang orang tuanya. Tentang pekerjaannya. Dan masih banyak lagi. 

Saya, saya selalu senang ketika ada orang yang masih mau berbagi hal pribadinya pada saya. Itu berarti, mereka masih menganggap saya adalah orang yang bisa dipercaya. Dan semoga akan selalu ada teman seperti dia di dekat saya.