Selasa, 31 Desember 2013

Menoleh Sejenak


Waktu berlalu begitu cepat. 365 hari, 8.760 jam, 525.600 menit, semua merangkak, berjalan, lalu berlari dan terbang dengan kilat. Masih teringat jelas, bagaimana aku mengawali tahun 2013 dengan tertatih. Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya di akhir tahun 2012.

Dan hari ini tahun 2013 berakhir. Aku mengakhirinya dengan senyum lebar sambil melihat ke sana. Ke masa bodoh-bodohnya aku menjalani hidup. Satu kata, “LUCUK!". Kadang, bagian hidup yang paling lucu itu, ya menertawakan diri sendiri.

2013 itu, masa di mana kapabilitasku sebagai perempuan dewasa benar-benar diuji. Dan lagu di atas menjadi themesong sepanjang tahun.

Wish the best for 2014. Happy new year.

Selasa, 24 Desember 2013

Review, 99 Cahaya di Langit Eropa


99 Cahaya di Langit Eropa. Dulu, pertama kali tahu judul ini langsung tertarik. Pokoknya harus nonton. Bukan karena jalan ceritanya. Tapi karena –kalau dilihat dari judulnya– pasti settingnya di Eropa. Entahlah, ada sesuatu yang membuat saya tertarik dengan benua yang satu itu. Apalagi jika penjelajahannya dilakukan oleh orang lokal.

Sejak kunjungan ke Girona, dan menemukan satu gereja yang pernah beralih fungsi sebagai masjid, saya merasa ada banyak tempat lain di Eropa yang menyimpan jejak-jejak peradaban islam.

Lalu, saya googling judul tersebut. Ternyata benar, film yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Mbak Hanum Rais –merupakan putri dari Bapak Amin Rais– dan Mas Rangga Alma –suaminya– ini menceritakan tentang perjalannya selama 3 tahun di Eropa. Dan menemukan tempat-tempat ziarah baru di sana.

Di tangan sutradara Guntur Soeharjanto buku ini divisualisasikan dalam sebuah film. Dua bintang utamanya, yaitu Acha Septriasa (Hanum) dan Abimana (Rangga), mereka berperan sebagai sepasang suami istri yang hidup di Vienna demi melanjutkan pendidikan. Rangga sibuk sebagai seorang mahasiswa, sedang Hanum, untuk mengisi kebosanan hari-harinya dia mengikuti les bahasa Jerman.

Saat les bahasa itulah, dia bertemu dengan Raline Shah (Fatma), seorang Turki yang menetap di Austria. Dari pertemuan ini, perjalanan dimulai. Dimulai dari Vienna, Austria. Lalu perjalanan dilanjutkan ke Paris, Ibukota Perancis yang sangat terkenal dengan menara eiffelnya itu.

Bukan karena mupeng ingin menjamah tempat-tempat wisatanya yang membuat saya menyeka air mata berkali-kali. Tapi, isi perjalannya. Sejarah islam, jejak-jejak peradabannya, bagaimana seharusnya seorang muslim berlaku?

Film ini membuat saya jatuh cinta kembali pada agama yang selama ini saya anut. Islam. Melalui seorang Fatma, kelembutan islam digambarkan. Betapa dia tetap baik kepada orang yang menjahatinya, seperti yang diajarkan Kanjeng Nabi. Sulitnya menjadi muslim di eropa tidak membuatnya goyah untuk tetap menjadi agen muslim di sana. Dia ingin menebus perbuatan moyangnya, Kara Mustofa Pasha yang gagal meluluhkan Eropa dengan perang dan kekerasan. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan senyum dan kelembutan.

Sebenarnya, dari segi konflik, film ini biasa saja –kalau di novel aslinya saya tidak tahu, belum pernah baca–. Tapi disampaikan dengan gambar yang enak dilihat. Jadi yang nonton pun merasa nyaman. serasa ikut jalan-jalan di eropa. Dialognya saya suka. Ringan banget, tapi tetap berisi. Gampang dicerna sama otak.

Yang menjadi pertanyaan saya untuk film-film Indonesia yang berlatar di luar negeri adalah, kenapa orang turki itu pandai berbahasa Indonesia? dulu di Ayat-ayat Cinta juga kan? Aisyah yang dari Turki itu lancar berbahasa Indonesia. Sekarang Fatma dan anaknya juga. Iya, sih. Ini untuk memudahkan penyampaikan pesan saja. Tapi kalau bisa pakai bahasa aslinya kan lebih bagus. Bisa sekalian buat media belajar.

Yang saya tunggu selanjutnya adalah perjalanan ke Spanyol dan Turki. Sepertinya lebih seru. Dan untuk itu saya harus sabar menunggu sampai part selanjutnya ke luar. 
 
Well, goodjob for Mas Guntur Soeharjanto and team. Filmnya bagus dan pesannya ngena.

Kamis, 05 Desember 2013

Barcelona, Fifth Day

Haiho.... Ketemu lagi yak!

Udah masuk hari kelima aja. Cepet banget yak kalo jalan-jalan di negeri orang. Btw, hari ini kami diajak shopping-shoping lagi nih. Saya dan rombongan diarak ke La Roca Village dan Maremagnum sama Om Mario, tour leader kami. Dua-duanya merupakan pusat perbelanjaan tekenal di Barcelona.

La Roca Village berada di sebelah utara Barcelona, arah menuju Itali. Perjalanan ke tempat ini tidak sampai satu jam. Dengan pemandangan yang aduhai di sepanjang jalan, rasanya sayang sekali kalau harus dilewatkan tanpa menikmatinya. Area persawahan membentang luas di sisi kanan dan kiri jalan. Dari kejauhan, saya bisa menangkap tanaman berupa sayur mayur dan bunga-bunga tertancap di sana. Apa pun itu, yang pasti bisa membuat mata saya melek, setelah tadi sempat terserang kantuk yang luar biasa.

Tempat perbelanjaan yang luar biasa.

Di sini tidak ada bangunan bertingkat ala mall atau warung-warung yang berdesakan seperti di pasar tradisional. Bangunannya seperti kompleks perumahan dengan dua lantai, terlihat rapi dan teratur. Sangat nyaman untuk sekedar jalan-jalan. Tempat ini seperti kampung berkumpulnya brand-brand dunia. Botiga, Billabong, Chamber, Channel, Celvin Klein, Furla, Gucci, Garments, Hackett London, Lacoste, Old Ridel, Puma , Vans dan masih banyak lagi brand yang namanya masih asing di mata saya. Masing-masing dari mereka punya satu rumah di sini yang berupa factory outlet.

Awalnya saya sendiri bingung, mau apa di tempat seperti ini? Uang di dompet saya tentu saja tidak cukup kalau diniatkan untuk shopping beneran. Well, saya yang jalan berdua dengan Sarah hanya seperti menjadi pengamat di tempat ini. Keluar masuk dari satu Outlet ke Outlet lain. Melihat produk dan ngecek harga.

Mahal.

Iya, tentu saja. Kalau menilik dari merk-merk di atas, sudah bisa dipastikan harganya kisaran berapa, kan? Tapi itu masih lebih murah jika dibandingkan dengan yang ada Indonesia. padahal, setahu saya yang pernah bekerja di pabrik garment, dan kebetulan pernah menangani beberapa merk tersebut di atas, barang-barang itu dibuat oleh tangan-tangan orang Indonesia lho. Lantas dikasih main label merk luar dan dijual dengan harga menggunung seperti itu. jadi, jangan terlalu bangga lah buat orang-orang yang suka membeli barang [yang katanya] merk impor. Itu hasil karya orang lokal kok. 

Terimakasih atas kunjungan anda
Taman depan La Roca Village
Jalan-jalan di La Roca Village
Bareng Sarah
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Maremagnum. Nama yang tidak asing, bukan? Saat menulis kata itu saya langsung teringat salah satu brand eskrim kesukaan saya hehe....

Maremagnum ini sebuah pusat perbelanjaan dan hiburan di pusat kota. Merupakan satu-satunya mall di Barcelona yang masih buka di hari minggu. Terletak di pinggir dermaga dengan pemandangan air yang sekali lagi, luar biasa. Saya selalu kagum dengan kebersihan tempat di Barcelona.

Di Maremagnum kamu bisa berbelanja sepuasnya. Soal harga, tentu saja jauh lebih murah daripada di La Roca. Ini kalau di Indonesia seperti BTC Solo lah. Sedikit lebih elegan di sini sih. Outlet baju, sepatu, make up, market, restoran, bioskop, semua ada dalam satu area Maremagnum.

Saat menjelang malam, banyak orang yang hanya sekedar duduk-duduk di dekat dermaga atau di seberang Bioskop yang lantainya terbuat dari kayu yang tertata rapi.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan hari ini. Karena seharian hanya belanja. Sama saja dengan kegiatan belanja yang lain di negeri sendiri. Bedanya, di sini tidak ada tawar menawar. Dan saat saya membayar ke kasir harus pakai bahasa asing. Melihat ke arah monitor jumlah pembayaran, kasih uang, dan bilang “Gracias”. 
 
Dermaga di samping Maremagnum
Maremagnum Cinema
Air dermaganya bening banget
Mungkin nanti akan lebih menarik cerita di hari terakhir. Jalan-jalan ke mana? Masih rahasia. Yang melewatkan hari ke satu, dua, tiga, empat, bisa blogwalking ke sini ^^. 

>> To be continue

Minggu, 01 Desember 2013

Life... (1)


SMS dari Silla

“Aku putus sama Andre! Gara-gara dia belum bisa move on dari mantannya!”

What?! Masih nggak paham sama jalan pikiran sahabatku yang satu ini. Pacaran udah dua tahun dan putus gara-gara gagal move on. Terus selama dua tahun ini mereka ngapain aja? Cuma ciuman dan gandengan tangan? Naif sekali.

***

Shilla datang padaku dengan mata berbinar. Lagi-lagi dia membawa segepok cerita tentang Andre. Lelaki yang baru dua bulan ini dikenalnya lewat sosial media. Baru dua bulan, tapi lelaki itu sudah berhasil meracuni otak Silla dengan pesonanya. Merampok hati Silla dengan perhatiannya.

“Nar, Andre tuh baik banget lho. Pinter, alim, ganteng, perhatian pula.”

“Oh, ya? Kamu kan baru kenal sama dia?”

“Iya sih. Tapi Beneran dia baik banget. kemarin aja aku dibawain coklat sama bunga.”

Cuma disogok sama coklat dan bunga dan langsung menjudge bahwa pribadi seseorang itu baik. Begitulah jatuh cinta. Sejuta rasanya. Dunia milik berdua, yang lain pada ngontrak semua. Kayak Silla ini, yang khayalannya sudah melanglang buana ke mana-mana.

“Dia juga udah cerita banyak tentang kehidupan pribadinya sama aku. Kasian deh, Nar. Dia dihianati sama mantannya. Ceritanya sama kayak aku, kan?”

Oh, jadi masalahnya perasaan senasib. Sama-sama merasa dikhianati. Disakiti. Ditinggal pergi. Dan sama-sama butuh tempat untuk bersandar, berbagi sisa-sisa luka. Baiklah, aku mulai paham.

“Kemarin dia nembak aku. Dan aku tak kuasa menolak. Kami jadian, Nar. November tahun ini benar-benar berkah. Tuhan megirimkan pengeranku. Dia bilang, dia serius sama aku. Dia udah capek pacaran mulu.”

Secepat itukah? Mataku hampir saja melompat. Untung ada kontak lens yang menghalanginya. Seingatku, dulu dengan mantan sebelumnya, Silla juga bilang kayak gitu, dia serius. Tapi, apa mau dikata, takdir berucap lain. Silla putus setelah tiga tahun pacaran, gara-gara mantannya kegap lagi jalan sama cewek lain.

Semoga saja pilihan Silla kali tepat.

***

Dua tahun berlalu, di bulan yang sama, kini Silla datang padaku dengan matanya yang sembab. Sisa-sisa tangisannya masih terlihat jelas di wajahnya yang sayu. Dalam semalam, matanya berubah menjadi mata panda. Kantung matanya membesar dan sedikit menghitam.

“Nar, selama ini aku dibohongi. Ternyata Andre belum bisa move on dari mantannya hikshiks….” Lagi, tangis Silla pecah. Sekotak tissue yang baru saja kubeli dari mini market sebelah ludes dalam sekejap. Air mata dan ingusnya deras mengalir. Bak sungai ciliwung di musim hujan. Banjir.

“Sabar ya, Sil….” Aku tidak tahu kata ampuh apalagi yang bisa kukatakan selain sabar.

“Dua tahun, Nar. Dua tahun hikshiks….”

Kuelus punggung Silla selembut mungkin.

“Kemarin, nggak sengaja aku nemu diarinya. Aku penasaran, lalu kubuka. Dan isinya menyakitkan, Nar. Selama ini kupikir dia benar-benar mencintaiku, ternyata… hikshiks….”

Kurangkul Silla. Kubiarkan dia bersandar di bahuku. Mengeluarkan segala gemuruh hatinya yang sedang terkoyak karena cinta. Karena sosok bernama Andre. Lelaki yang dua tahun lalu pernah dia bangakan dan yakini kesungguhannya. Yang meskipun waktu itu sudah kuingatkan untuk berhati-hati, tapi tak pernah digubris olehnya. Semua kata-kataku mental. Tak bisa menembus akal sehatnya.

“Ternyata, selama ini dia belum bisa melupakan mantannya. Di buku itu dia nulis, meskipun ada aku di sampingnya, tapi mantannya adalah yang terbaik. Yang tidak pernah akan dia lupakan seumur hidup. Aku sakit, Nar. Hikshiks….”

Ya, sebagai sesama perempuan, aku mengerti perasaan Silla. Perempuan normal mana sih, yang mau diduakan secara perasaan? Di mana-mana, perempuan itu ingin dijadikan sebagai satu-satunya penghuni hati. The one and only

“Aku bisa menerima kalo dia punya masa lalu. Tapi, tolong jangan bawa masa lalunya di masa depanku.” Silla sedikit lebih tenang. Dia berusaha mengatur napasnya yang masih sesenggukan.

“Sabar ya, Sil. Hidup itu memang kadang-kadang keras dan tak terduga. Tidak semua hal harus berjalan seperti yang kita mau. Kamu dulu pernah mengalami masa-masa seperti ini, kan? Dan kamu bisa melewati. Sekarang juga kamu harus bisa.”

“Iya, Nar. Tapi sakit…..”

“Gini, deh. Kalo Tuhan lagi-lagi memberi ujian yang sama pada kita, itu artinya kita belum lulus di ujian sebelumnya. Dan kalo kali ini kamu belum lulus juga, bisa jadi nanti kamu akan mengalami hal yang sama lagi.”

“Nggak, ah. Aku udah kapok. Besok lebih hati-hati lagi aku, Nar.”

Kupeluk sahabatku ini dengan erat. Semoga pelukan ini bisa sedikit saja melegakan hatinya. Semoga November kelabu ini bisa dilaluinya dengan baik. Dua November yang dilalui Silla dengan rasa yang berbeda.

***

Dan empat bulan kemudian, kulihat Silla sudah jalan lagi dengan seorang laki-laki yang kukenal dia adalah seorang playboy. Duhhh, Silla. Aku cuma bisa tepok jidat sendiri. Hanya bisa berharap kalau Silla akan bisa menjaga dan membawa diri dengan sebaik-baiknya. Dan tak mengulangi kebodohannya untuk ke sekian kali.