Rabu, 31 Desember 2014

CAT [Catatan Akhir Tahun] 2014

31 Desember 2014

Coz you bring out the best in me like no one else can do, that’s why I’m by your side, that’s why I love you…

Apa yang telah kamu lakukan selama 365 hari yang terlewati di tahun 2014? Saat aku disodori pertanyaan ini, aku berpikir lumayan panjang untuk menjawabnya. Banyak sih yang telah aku lakukan di tahun ini, tapi aku tidak yakin semua baik dan bermanfaat. Kupikir, aku malah menghabiskan banyak waktu percuma di tahun ini. Sorry for my self. Hiks…

Satu-satunya hal yang kulakukan dengan sungguh-sungguh di tahun ini adalah berhasil menyelesaikan dua biji novel. Yeah, I do it with all of my heart. Tapi, yang tersisa hanya koreksi yang tersungkur lemah di pojok draft email. Nope, aku tidak bermaksud mengabaikannya. Dalam hati, aku sungguh ini memperbaikinya. Bahkan, aku sudah merencanakan perbaikan sejak empat bulan lalu. “Aku akan memperbaikinya di liburan akhir tahun,” demikian hatiku berjanji. Tapi, apa daya jika ternyata pekerjaan akhir tahun begitu melelahkan. Oke, anggap saja ini sebuah alibi. Tapi, jika sempat, coba saja kamu menjadi aku yang dengan satu tubuh, pun seramping ini, harus mengerjakan lebih banyak hal daripada tahun-tahun sebelumnya. Itu sangat melelahkan, teman. Apalagi jika diiringi dengan nyanyian sumbang dari mulut-mulut yang ada di sekitamu. Oops…

Dari soal kerjaan, mari beralih ke kehidupan pribadi. Kehidupan pribadi?! Ah, sebenarnya aku tidak terlalu suka bagian ini. Bagian di mana aku seolah menguliti diriku sendiri. Tapi, karena ini spesial di akhir tahun, aku akan bercerita sedikit. Hanya sedikit. Hanya sekedar mengingatkan, bahwa dalam seburuk-buruknya tahunmu, akan selalu ada hari terbaik, meski satu.

Satu hari di bulan November, untuk pertama kalinya aku memutuskan untuk berkencan lagi setelah sekian lama memilih menyandang status high quality single [Hallah]. Ehm, ganti ding, bukan berkencan, tapi menjalin hubungan dengan seseorang [Sama saja, Ye]. Mungkin antara berkencan dan menjalin sebuah hubungan intinya sama, tapi kesannya tetap beda. Menurutku sih. Well, Alhamdulillah sampai hari ini hubungan kami baik-baik saja dan masih dirahasiakan [Eh...]. Meski, aku sering sebel sama dia. Iya, dia nyebelin banget. Sebanget-bangetnya. Tapi, ya gitu… senyebelin apa pun dia, tetep saja ngangenin. Karena orang bijak pernah berpetuah, nyebelin itu datangnya sepaket dengan ngangenin [abaikan!].

Then, I found someone who brings out the best in me like no one else can do… [Ya!! kamu, gak usah ketawa-ketawa ke-GR-an pas baca part ini]. Tapi, aku tidak ingin menceritakan apa pun tentang dia di sini. Terlalu riskan. Bisa celaka kalau dia sampai pingsan karena tingkat GR-nya sudah dewa banget.

Dan yang paling seru di tahun 2014 adalah banyaknya kesempatan untuk jalan-jalan. Yach, meski pun harus dibayar dengan badan yang remuk redam. Kondisi tubuh yang on off. Dan kesehatan yang acak adut. Yang mengharuskan diri ini untuk sering mengundang dukun pijet, minum jamu ini itu, atau bangun pagi sekali untuk sekedar menggesekkan telapak kaki dengan aspal.

What I love about 2014 year is no hurt anymore that makes me feel like I’m an idiot [senyeom tjantiek]. Mungkin ini bukan tahun yang up and down banget, tapi aku suka. Tuhan, dengan baiknya mengulurkan banyak kenangan manis di tahun ini. Mengajarkan banyak kebaikan melalui kejadian-kejadian yang menggelikan. Dan membawa langkahku lebih jauh ke tempat-tempat baru yang aku sebut sebagai bagian dari ‘surga dunia’.

Terima kasih Tuhan untuk sepanjang tahun tahun yang mennyenangkan ini. Terima kasih untuk kehadiran kamu, kamu, kamu, dan kamu semua yang memilih untuk mampir sebentar, menginap beberapa malam, atau tinggal lebih lama lagi. Terima kasih sekali untuk kalian yang bersedia tinggal selamanya denganku yang egois, ribet, banyak maunya, susah diatur, sering begadang, suka drama korea, nangisan, maunya jalan-jalan melulu, enggak gila kerja, tapi punya cinta yang luar biasa ini [Hallah… keplak diri sendiri… kecupin dan pelukin kalian atu-atu].

Selamat tinggal tahun 2014, selamat datang tahun 2015. Semoga tahun depan lebih ramah. Dan semoga kalian yang kusayangi lebih banyak senyum, nyebelinnya berkurang. I love and awe you, Guys!




salam sayang dariku yang nyebelin dan ngangenin ^^

Me: Ye

Rabu, 19 November 2014

Funny Morning

Pagi yang lucu.

Beberapa jam lalu saya memposting argumen yang intinya menolak kenaikan harga BBM. Selang beberapa waktu, salah seorang teman saya memposting argumen sanggahan yang mendukung adanya kenaikan harga BBM. Entah lah, saya tersenyum saja karena kejadian ini.

Sebenarnya, saya pribadi tidak pernah keberatan dengan kenaikan harga BBM. Apalagi, konon katanya biaya subsidi BBM ini akan dialokasikan ke hal lain yang semoga saja bisa dirasakan manfaatnya langsung oleh rakyat. Amin.

Saya hanya membayangkan orang-orang di luar sana yang mungkin tidak seberuntung saya. Ketika mereka bangun tidur, tahu-tahu mereka harus memberi uang saku lebih untuk anak mereka yang bersekolah karena tiba-tiba saja ongkos angkutan umum naik. Hari pertama oke, mungkin mereka hanya harus mengeluarkan sedikit uang untuk tambah ongkos. Lalu, hari-hari berikutnya, saat mereka kebahisan beras atau bahan makanan pokok lainnya, mereka harus membeli dengan harga yang mungkin sedikit lebih mahal dari hari-hari sebelum kenaikan BBM. Sementara, gaji mereka masih sama.

Buat orang-orang seperti saya, kamu, mungkin kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh banyak. kita masih bisa menikmati es krim, makan ayam kremes, beli ini itu tanpa merasa keberatan. Tapi, para buruh pabrik yang setiap hari harus naik turun angkutan umum itu? Atau buruh bangunan yang setiap hari naik motor itu? Sementara anak-anak mereka masih sekolah. Bayi mereka masih harus minum susu.

Oke, mungkin saya sedikit drama. Tapi, itulah realita yang saya lihat setiap hari.

Saya percaya dengan pemimpin negeri ini. Apa pun yang Beliau putuskan, pasti sudah dipikirkan matang-matang baik buruknya. Tidak ada orang yang hidup di Indonesia [apalagi pemimpin] yang akan tega menjual bumi yang berlimpah kekayaan ini.

Dan kita? Hei, meski kita kadang berseberangan, kita tetap temanan kan? *ketjoep* :D

Selasa, 12 Agustus 2014

Pantai Klayar: Semacam Keindahan Tersembunyi

Minggu, 10 Agustus 2014

Sejujurnya, hari itu tubuh saya tidak begitu fit untuk melakukan perjalanan jauh. Flu yang sudah mendera beberapa hari belum juga mereda. Yang ini salahin air mineral merk baru saja. Sama seperti hati, tubuh saya pun butuh beradaptasi terhadap zat-zat baru yang masuk. *Hallah! Tolong abaikan!*

Kembali ke hari minggu. Alasan kuat saya tetap ngotot ikut ke Pacitan adalah karena saya tidak suka dikecewakan. Untuk itu, saya pun berusaha untuk tidak mengecewakan teman-teman baik yang sudah menyusun acara ini jauh-jauh hari. Berbekal boneka angrybird—yang bisa dipeluk atau dijadikan sandaran selama perjalanan—saya pun berangkat. Tepat jam enam pagi dari rumah.

Dengan kecepatan rata-rata 60 KM/jam—supir kami halus banget kalau nyetir, lima jam kemudian, kami baru memasuki wilayah Pacitan. Itu sudah termasuk sekali jajan di alfama*rt dan dua kali mampir pom bensin. Termasuk tersendat macet di Salatiga kota juga ding.

Sesuai daftar kunjung, tempat pertama yang kami kunjungi seharusnya adalah Goa Gong. Namun, karena jalur utama menuju Goa Gong macet luar biasa, akhirnya kami berbalik arah mencari jalan alternatif menuju Pantai Klayar. Pantai yang sudah membuat saya ngiler hanya dengan melihat gambar hasil googling.

***

Pantai Klayar. Rasanya tidak berlebihan menjuluki pantai ini sebagai salah satu pantai terindah di pulau Jawa. Pasir putih, tebing, karang-karang eksotis, gulungan ombak besar, seruling samudra, pemandangan semacam air terjun mini, pohon-pohon kelapa, perahu-perahu yang terparkir, begitulah kira-kira pemandangan yang akan kita temui di pantai yang terletak di Kecamatan Donorojo, Pacitan ini. Di mata saya, semua yang ada di pantai ini terlihat menakjubkan. Meski, terkadang agak ngeri juga sih kalau lihat ombak yang suka nakal melewati dinding batu karang yang lumayan tinggi. Karena bandel tidak mengacuhkan peringatan dari penjaga pantai, alhasil saya jadi salah satu korban guyuran ombak ini. Deres banget, kayak rinduku ke kamu. Iya, kamu. *Gaes, bagian ini tolong jangan acuhkan juga!*

Di pantai ini, ada salah satu spot unik yang tidak dimiliki kebanyakan pantai lainnya. Sepetak karang yang luas nan rata. Bisa buat main fulsal lah. Ketika saya berdiri di ujung tempat ini dengan melipat tangan, sekelebat pikiran nyeleneh muncul, “Asyik kali ya, kalau menyelenggarakan pesta pernikahan di sini. Di atas karang yang digenangi air, disapu-sapu angin laut, dan sesekali terkena percikan air yang keluar dari seruling samudra kalau ombak lagi gede. Pasti beda dan unforgettable banget.”

Oke, lupakan khayalan saya tadi ya, teman-teman. Dan nilai sendiri saja keindahan Pantai Klayar melalui gambar-gambar berikut. 


Dari kejauhan karang-karang itu mirip sphinx

Semburan dari lubang seruling samudra mirip geyser

Crashing ombak
Tembok karang
Berasa di Kuta
Pemandangan dari bukit

Masnya nekat banget demi selfie
Pokoknya, beach lover di mana pun berada, wajib mengunjungi pantai yang satu ini.

***

Puas berlarian dari ujung ke ujung di Pantai Klayar, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke Goa Gong melalui jalur yang sama. Tapi, anehnya, kami tidak menemukan ujung yang sama dari jalur tersebut. Tahu-tahu sampai aja di tempat parkir Goa Gong. Saya hanya bisa nyeletuk, “Mungkin ini keajaiban. Terima saja, ketimbang pusing-pusing mencari belokan jalur.”

Terhitung, ini kali kedua saya berkunjung ke Goa Gong. Tidak banyak yang berubah sejak kunjungan saya yang pertama empat tahun lalu. Kesannya masih mistis dan tetap panas, meski ada beberapa kipas angin besar terpasang di dalam goa. Dan tentunya, masih ada dengungan seperti bunyi gong saat staklaktit atau staklakmit dipukul.

Seperti saat berwisata alam di tempat lain, di Goa Gong ini pun, pengunjung harus menjaga sikap dan omongan. Kebetulan, di saat yang bersamaan saya dan teman-teman masuk ke dalam goa, ada seorang wanita dari rombongan lain yang pingsan. Menurut analisa medis, wanita tersebut phobia terhadap gelap. Pertanyaan saya adalah, “Kalau sudah tahu phobia gelap kenapa maksa masuk ke dalam goa? Lhah, goa di mana-mana kan gelap.” Lagian, dia pingsannya setelah lewat dari seperempat perjalanan. Bukan di dekat-dekat bibir goa.

Tapi, ya uwis lah, itu urusan dia dan dirinya. Yang pasti, jangan pernah bermain-main dengan alam. Kekuatannya terlalu mega untuk kita permainkan. 





Buat pengunjung, wajib nurut sama SOP
Mulut Goa Gong, tidak terlalu besar
My team

FYI, foto-foto #nofilter

Senin, 09 Juni 2014

Selo Time: Statusmu itu...

Saya pernah beberapa kali bertanya pada diri sendiri, kenapa saya membuat akun-akun sosial media? Dan jawabannya selalu berbeda di setiap masa.

Dulu, pertama kali bergabung dengan Facebook, niatan saya cuma satu, 'pingin tahu'. Begitu pun ketika menyusul banyak akun yang lain. Karena saya memang orang yang gak bisa diam. Selalu ingin mencoba hal baru.

Awal-awal di FB saya merasa sangat tertarik. Saya menuliskan apa pun yang saya rasakan dan lalui di sana. Dari hal gak penting sampai gak penting banget. Dari sekata sampai separagraf. Dari berita gembira sampai duka. Dari perasaan bahagia hingga galau tak terkira. Dari sekedar status candaan untuk seru-seruan hingga status seriusan. Dan anehnya, saya merasa bangga ketika itu di-like atau di komen banyak orang. Saya merasa diperhatikan.

Singkat kata, FB itu semacam buku harian pribadi saya yang di-shared ke khalayak. 

Tapi, semakin ke sini, saya semakin sadar, bahwa FB atau akun sosial media yang lain itu bukan sekedar buku harian pribadi. Itu adalah gambaran diri kita. Itu adalah salah satu media yang membentuk brand diri kita di mata user lain.

Apa yang kita tulis di kolom status adalah apa yang kebanyakan kita rasakan. Boleh lah kita membela diri dengan alibi, "Ah, itu kan sekedar bercanda. Gak usah terlalu dianggap serius." Dan bisa jadi itu memang beneran candaan atau lucu-lucuan. Tapi, usahakan, kalau sedang bercanda, bercandalah dengan status cerdas yang menunjukkan brand baik pada diri kita. Bukan sebaliknya, membuat kita terlihat 'enggak banget' di mata orang lain.

Saya sendiri, sekarang suka ketawa kalau menemukan status aneh-aneh. Entah tentang kegalauan yang berkelanjutan,  misuhin orang--bahkan pasangan, atau nulis status pakai tata tulis abnormal. Bukan ketawa senang, tapi ketawa miris. Kasihan. Sosial media yang manfaatnya luar biasanya ini, hanya diisi dengan hal-hal kurang bermanfaat, cenderung merugikan.

Boleh, kita semua menulis apa saja di kolom status kita. Ibaratnya itu rumah kita, mau diapakan ya suka-suka kita. Tapi, apa mau orang lain lihat rumah kita sampai ke isi kamarnya? Pilah-pilah mana yang layak dibagi ke orang lain--yang bahkan tidak dikenal, atau yang harus kita simpan sendiri. 

Untuk sebagian orang, bisa curhat masal di media mungkin melegakan. Tapi, pastilah resiko ke belakangnya lebih besar. Selain orang akan tahu masalah dan karakter kita, juga tidak banyak membantu. Saya berani taruhan, dari sekian ratus teman di FB, pasti hanya segelintir sahabat dan keluarga dekat yang peduli terhadap masalah kita. 

Itu lah kenapa, saya sering mendengar petuah, "Kalau lagi sedih, galau, marah, menjauhlah dari sosial media. Mendekatlah pada para sahabat dan keluarga."

Jadi, kawan, masih mau nyetatus sampah di sosial media? :))

Di samping Big Bear, 9 Juni 2014

Kamis, 17 April 2014

Racauan UN

 
Setelah pagi ini diisi oleh kekecewaan karena Barcelona gagal meraih trofi Copa del Rey, saya mau ngomongin soal UN aja lah. Mumpung momennya masih dapat nih.

UN? Apa sih UN itu? Ujian Nasional?

Yes, mungkin secara harfiah seperti itu. UN adalah Ujian Nasional yang diperuntukkan bagi peserta didik Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai syarat utama kelulusan. Catat ya, syarat utama kelulusan. Dengan demikian, selama sembilan tahun belajar—kalau tidak pernah tinggal kelas, hasilnya hanya ditentukan oleh empat hari dan empat mapel yang dianggap utama. Itu bagi Pendidikan Dasar.

Bagi Pendidikan Menengah, tiga tahun berkecimpung dengan berbagai macam ilmu, hasilnya hanya ditentukan selama tiga hari dengan tiga mapel yang dianggap utama.

Serius, saya masih gagal paham dengan pemikiran orang-orang pinter yang punya kekuasaan di ibukota sana. Apa yang sebenarnya mereka harapkan dari UN? Sebagai tolak ukur kualitas pendidikan kita? Menaikkan standar kemampuan belajar peserta didik? Shit!

Sekolah yang sejatinya menjadi tempat untuk ‘belajar’, ‘mengembangkan bakat’, dan ‘mendidik moral’ peserta didik, berlahan beralih fungsi menjadi tempat untuk membentuk robot-robot yang dipersiapkan hanya untuk mengikuti UN. Apalagi di tahun terakhir, semakin gencar pembentukan robot itu dilakukan.

Setiap hari mereka dicekoki dengan gimik-gimik menakutkan mengenai UN. Dan mereka dituntut dengan berbagai cara untuk memproduksi nilai yang baik di mapel-mapel UN. Saya bisa membayangkan betapa stressnya mereka.

Dalam hal ini, tidak hanya peserta didik yan stress, para pendidik pun tak kalah stress. Mereka dituntut untuk menghasilkan robot-robot yang baik dan penurut hingga menghasilkan nilai yang diharapkan. Jika itu tidak berhasil, maka cara curang pun dilakukan untuk mendongkrak nilai. Jadi, di mana letak pengukuran kualitas pendidikannya? Yang ada jeblok di sisi moral. 

Mungkin orang-orang yang berkuasa di atas sana juga lupa, bahwa NKRI ini terdiri dari berbagai pulau yang tentu saja memiliki standar sarana dan prasarana pendidikan yang berbeda di tiap daerah. Tapi, kenapa UN-nya disamaratakan?

Saya tergelitik membaca twit guyonan dari Mas Prie GS, “4. Einstein tidak pintar semua mata pelajaran. Ia pasti jeblok di pelajaran Bahasa Indonesia. Dan itu tak apa-apa.”

Dan untuk menjadi orang hebat, kita tidak harus menguasai segala bidang. Cukup satu, tapi lakukan dengan sungguh-sungguh. Untuk menjadi pesebakbola hebat, tidak harus bisa menguasai IPA dengan hebat pula. Untuk menjadi pengarang lagu jempolan, tidak harus jago matematika. 

Sangat bertolak belakang dengan UN. Peserta didik dituntut memiliki nilai sempurna untuk empat/tiga mapel, dan tidak tahu tujuannya untuk apa? Seandainya ada satu nilai mapel di bawah standar yang telah ditetapkan, bisa dipastikan tidak akan lulus. Lalu tiga/dua nilai yang lain menjadi tak berarti, meski mendapat nilai sempurna.

What’s next, setelah keempat/ketiga nilai mereka sempurna? Dunia kerja tidak membutuhkan itu. Yang dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan bersosialisasi dan bekerja dengan rajin dan baik. Bahkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi pun masih ada tes uji kompetensi. Yang artinya nilai UN tidak berarti, kecuali sebagai ajang pamer prestasi bagi sekolah-sekolah penyelenggara UN.

Ah, jadi pusing juga memikirkan ini. Tapi, kalau gak dikeluarakan kok ya mbededeg.

Mbok yao, dikembalikan kayak dulu saja. Tujuannya diluruskan. UN itu bukan sebagai syarat kelulusan, tapi sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berapa pun nilainya, lepaskan. Biarkan alam yang menyeleksi. Nilai bagus akan mendapat sekolah bagus, dan sebaliknya. Menurut saya itu lebih jujur.

Ini pemikiran dari awam seperti saya lho. Kalau orang-orang pinter mungkin beda lagi.

Sabtu, 12 April 2014

Dear, Kamu: Sebulan Tanpamu


Dear, kamu…

Sebulan setelah kepergianmu, semua tetap sama. Tak ada yang berubah. Perasaanku masih di tempatnya. Tak bergeser sedikit pun. Aku tak pernah menyangka akan seberat ini menggerakan rasaku, meski hanya satu derajat.

Rasa rindu mulai menggunung di hatiku. Menyeretku kian jauh terjerambab dalam keterpurukan. Selama tiga puluh hari ini, tak ada hari yang kulalui tanpa air mata. Tidak. Sama sekali tak ada niat untuk menangisi kepergianmu. Air mata ini tumpah begitu saja saat aku teringat segala tentangmu.

Tentang senyumu. Tentang mimpi-mimpimu. Tentang lagu-lagu yang kita nyanyikan bersama. Tentang ucapan selamat pagi dan selamat malammu yang tak pernah singgah lagi di HPku. Tentang sapaan mesramu yang tak pernah lagi mampir di inbox-ku. Tentang nada dering khusus yang tak pernah terdengar lagi. Tentang janji-janji yang tak sempat kamu tepati.

Aku selalu mencoba untuk kuat. Mencoba untuk yakin, bahwa kamu bukan yang terbaik untukku. Pun sebaliknya. Tapi, aku bisa apa? Kalau ternyata pertahananku ini tak sekuat perasaanku ke kamu.

Iya, selama 720 jam ini, aku belum mampu menghapus jejakmu yang sudah begitu dalam menembus sisi hatiku. Tapi, aku tak mau menjadi pengemis di hadapanmu. Aku memilih menanggung semua sendiri, daripada menggadaikan harga diriku untuk memintamu kembali ke tempat yang tidak ingin kamu tinggali.

Boleh lah, sebulan ini aku menangisi kepergianmu. Tapi, aku yakin, setahun, dua tahun kemudian, aku akan mengucap syukur atas apa yang telah kulewati hari ini.

Dan kamu, selamat menikmati pencarian yang baru. Aku masih tetap di sini, karena tubuhku masih terlalu lemah untuk melangkah. Karena bagiku, memindahkan hati tak semudah memindahkan panci.

Kamis, 27 Februari 2014

Be Nice Fans...

Senang ya, kalau klub sepakbola kesayangan menang? Itu seperti sebuah moodboster untuk para penggemar. Pun dengan saya. Saya juga senang kalau Barcelona memenangkan pertandingan. Apalagi jika bisa menampilkan permainan yang ganteng. Mungkin sama seperti dengan penggemar-penggemar klub sepakbola lain seperti; Kopites, Machunian, Citizens, Madritista, The Blues, Milanisti, Juventini, dan lain-lain. Kita semua pasti bahagia dan ikut bangga kalau klub sepakbola kesukaan kita menang.

Dan kalau kalah, kecewa. Itu wajar. Kalau kita sudah memproklamirkan diri menjadi penggemar klub A, B, atau C, pasti lah kita punya rasa cinta dan memiliki terhadap klub tersebut.

Yang menjadi perhatian saya akhir-akhir ini adalah, tentang adanya saling bully antar penggemar klub sepakbola yang berbeda. It looks like so childish. Kita ini sama-sama orang Indonesia lho, tapi malah saling lempar racauan gak penting. Ibaratnya, kita saling hina dengan saudara sendiri demi orang lain yang bahkan tidak kenal dengan kita.

Saya lebih suka saling sapa dengan senyum ketika bertemu dengan penggemar klub sepakbola lain. “Holla, Madridtista”, “Hallo, kopites”, “Ciao, Milanisti”, sambil jabat tangan persahabatan. Bukankah adanya klub-klub sepakbola itu saling melengkapi? Bayangkan saja jika tidak ada lawan sekuat Barca untuk Real Madrid. Atau tidak ada klub seperti Chelsea di EPL. Atau di Bundesliga hanya ada Bayern Munchen, tanpa Borussia Dortmund. Di Seri A tidak ada Juventus. Pasti tidak akan begitu menarik untuk ditonton. Kurang kompetitif.

Menjadi penggemar klub A, tidak otomatis kita harus menjadi hater untuk klub B. Sama seperti ketika saya menyatakan bahwa saya adalah seorang BarAngel, bersamaan dengan itu saya tidak menyatakan bahwa saya apatis terhadap Real Madrid. Saya tetap menyukai permainan Real Madrid karena di sana ada CR7 yang pernah membuat saya jatuh cinta sama MU. Saya pun menyukai MU, karena di sana ada RvP yang pernah membuat saya sangat menyukai permainan Arsenal. Saya juga menyukai Arsenal karena ada Ozil yang berasal dari Real Madrid.

Jujur, saya suka miris sendiri kalau ada fans yang saling bully di media sosial. Apa ada gunanya? Kalau ada yang jawab kepuasan batin. Senangnya seperti apa sih, kalau udah misuhin orang lain di dunia maya? Sejauh yang saya lihat, selama ini tidak ada akun offisial pemain atau fans club yang resmi melontarkan nada bully-an atau hinaan ke lawan. Lhah, kita yang bukan siapa-siapa, hanya penggemar yang menyukai permainan mereka, malah suka buang-buang tenaga dan pikiran untuk bully-bully-an.

Saya pernah meng-unfollow akun seorang musisi yang gila berat sama AC Milan, gara-gara itu, postingannya nyebahi banget. Mungkin bisa jadi baginya hanya sebuah lelucon. Tapi selera humor setiap orang itu berbeda. Musisi nasional sekelas dia seharusnya bisa menempatkan diri, tidak asal jeplak saja kalau berkiacau di twitter.

Kalau mau ngomongin kepuasan batin, larilah ke hal yang positif. Misalnya, kayak info yang saya dapat ini, The Gunners nabung bareng-bareng, terus dikelola sama Fans club-nya. Nanti kalau sudah mencukupi buat terbang berjamaah ke Emirates. Atau seperti para Kopites yang mengadakan gebrakan bersama untuk mendatangkan klub favoritnya, Liverpool.

Ayolah, kita ini sama-sama hidup di bumi Indonesia, saling bersaudara. Jadilah supporter atau fans yang dewasa dan bijaksana. Kalau klub kesayangan menang ya silakan dirayakan dengan bersahaja. Ucakan respect sama klub yang kalah. Kalau klub kesayangan kalah, ya woles aja. Namanya permainan. Menang atau kalah itu biasa. Tidak perlu misuh-misuh nyalahin wasit lah, ini lah, itu lah. Gak ada gunanya juga.

Be nice fans, guys…

Senin, 24 Februari 2014

Barcelona, Last day...

Hari ini saya memenuhi hutang untuk menyelesaikan kisah enam hari selama di Barcelona. Yup, ini hari terakhir. Dan inilah tempat yang saya tunggu-tunggu untuk dikunjungi selama enam hari di Barcelona. Camp Nou. Yuhuuu, hari ini kita akan jalan-jalan ke Camp Nou.

Nama Camp Nou diambil dari Bahasa Catalan yang artinya lapangan baru. Beralamatkan di Carrer d'Aristides Maillol, 12, 08028 Barcelona, Spanyol, lapangan kandang klub sepak bola Barcelona, satu lokasi dengan museum Barcelona, kantor, dan juga Botiga. Mengenai Botiga itu apa? Sudah saya bahas di sini. kali ini saya hanya ingin pure membahas soal Museum Barcelona dan Camp Nou, tempat yang bisa membuat saya nangis bombai.

Pagi itu, dari hotel tempat kami menginap, setelah perkara check out selesai, kami langsung tancap gas menuju Camp Nou. Niat awalnya hanya untuk menghabiskan waktu sampai saatnya penerbangan yang akan membawa kami ke tanah air tiba.
Sesampainya di Camp Nou, tentu saya dan rekan-rekan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Jam Sembilan pagi, kami ikut mengantre di loket pembelian tiket. Barisan lumayan panjang. Sepagi ini tempat ini sudah penuh. Maklum, weekend. Dengan membayar sebesar 22 euro, kami bisa memasuki area museum dan lapangan. 

Tiket udah di tangan
Kantornya
Setelah mendapat cap tanda pengunjung legal, kami menaiki eksalator dan menyeberangi sebuah koridor yang lumayan panjang. Kami disambut dengan cahaya remang dari museum. Di sini, segala tentang Barcelona bisa ditemui. Dari jaman klub ini berdiri sampai sekarang. Dari tim sepakbola, basket, kriket mereka juga ada. Kostum per tahun. Miniatur pemain. Miniatur lapangan. Replika Piala-piala kejuaraan –saya yakin, semua yang ditaruh di sini adalah replika. Yang asli tidak mungkin di taruh disini–. Segala informasi tentang Barcelona yang dikomputerisasi juga ada. Ada monitor LED yang digelar di atas meja besar. Jika ingin mencari tahu tentang informasi yang kita inginkan, tinggal sentuh saja. Awesome

Sudut-sudut museum
Piala-piala kejuaraan
Dari sini, oleh pemandu, kami digiring menuju ruang ganti pemain. Kekaguman saya makin menjadi-jadi. Ruang ganti pemain yang luasnya, entahlah, luas sekali ini. Di sana, ada berderet-deret loker yang sudah dilabeli nama masing-masing pemain. Ada bangku-bangku panjang sebagai tempat duduk saat breafing. Ada LED-LED yang terpasang memanjang di atas loker. Lalu, ke sebelah lagi, ada barisan keran air dan shower. Di tegah-tengah ada cekungan lumayan besar yang difungsikan sebagai bathup bersama.

Menuju ruang ganti
Ruang ganti pemain
Serius, saya jadi membayangkan para pemain mandi dan saling bercengkarama di situ, usai pertandingan. Oke, let’s say I’m crazy.
 
Dari ruangan ini, kami terus berjalan menjelajahi ruangan demi ruangan lain. Dan yang paling menarik adalah ruang konpers. Ruang konpers di sini, juga indah, bersih, rapi, dan wangi. Tidak! Di sini sedang tidak ada konpers. Di meja depan, yang biasa digunakan oleh para pemain, pelatih, staf, untuk melakukan konpers, sekarang ada replika Piala Liga Champion. Mata saya langsung tertuju padanya. Sangat bernafsu ingin berfoto dengannya. Saat saya berniat mengeluarkan kamera, seorang petugas berteriak memberi peringatan kalau di sini dilarang keras menggunakan kamera. Kalau melanggar, hukumannya adalah denda. Jadi, urung lah niat tersebut.

Piala liga champion
Piala Liga Champion yang saya yakin juga adalah replika itu memang sengaja diletakkan di sana, sebagai obyek foto bagi bara pengunjung. Tapi. Ada tapinya. Harus bayar 15 euro dulu untuk sekali take. Mahal memang. Tapi begitulah salah satu cara mereka meraup uang untuk menggaji para pemain yang mahal luar biasa itu.

Karena untuk foto sendiri sedemikian mahal, akhirnya kami foto bersama. Dan puji syukur, kali ini biaya foto ditanggung sama Mbak Tria, salah satu editor senior di majalah Femina. Dengan syarat, foto ini tidak boleh diperjualbelikan ke media lain. Foto ini adalah dokumen pribadi dan resmi majalah tempat Mbak Tria bekerja.

Penjelajahan berlanjut ke stadion utama. Luar biasa. Itu kata yang mencuat dari bibir saya saat melihat hamparan lapangan hijau. Rumput tebal dan terawat menjadi pusat perhatian para pengunjung. Dengan kursi warna-warni yang mengelilingnya, lapangan berkapasitas 98.772 orang ini terlihat begitu megah. Berdasarkan informasi dari teman saya, ini adalah lapangan terbagus kedua setelah Old Trafford.


Bangku pemain cadangan
Lapangan Camp Nou
Berkali-kali saya berdecak kagum sekaligus tak percaya. Sungguh! Detak jantung saya sampai tak beraturan. Kursi-kursi pemain yang biasanya hanya saya lihat dari layar kaca, kini saya bisa menyentuhnya. Lagi-lagi, saya membayangkan Messi dan kawan-kawan sedang duduk bersedekap memenuhi kursi-kursi itu. Membayangkan Pep Guardiola sedang berdiri mondar-mandir di pinggir lapangan. Saya benar-benar merasa seperti bermimpi. Di tepi-tepi lapangan ada semacam selokan –tapi bukan selokan– yang dilapisi kayu. Nah, tempat ini biasa digunakan oleh para kameramen untuk mengambil gambar saat pertandingan. Jarak antara lapangan dan kursi penonton, nyaris tidak berjarak. Tidak pula dikepung oleh pelindung dari besi.

Pelan-pelan saya menaiki undakan menuju kursi penonton, sambil sesekali menoleh ke belakang. Saya dan teman-teman duduk di kursi-kursi yang akan terlipat otomatis jika tidak diduduki itu, masih dengan rasa tak percaya. Menatap kagum rumput dan barisan kursi lain yang ada di seberang. Luar biasa dan luar biasa. 


Kursi penonton
Saya juga memasuki ruang wartawan. Sebuah ruangan yang dibatasi oleh dinding kaca, sebagai tempat bagi para jurnalis VIP untuk meliput. Ada juga ruang siaran. Dari tempat inilah, para komentator pertandingan berteriak-teriak, berceloteh meramaikan pertandingan. Bocoran nih, katanya jurnalis yang meliput itu juga kelas-kelasan. Kalau yang dari eropa, apalagi majalah terkenal, pasti mereka dapat urutan nomor satu sampai sepuluh. Dan ditempatkan di VIP. Sisanya ditempatkan di bawah saja.

Ruang wartawan dan siaran
Suara-suara riuh penoton saat pertandingan terdengar jelas dari pengeras suara yang terpasang di beberapa tempat. Atmosfir di tempat ini benar-benar dibuat seolah menonton pertandingan, meski pertandingan sedang tidak berlangsung.

Dari ruang terbuka ini, saya melangkah masuk lagi. kembali ke ruangan dengan pencayaan minim. Remang cahaya hanya dihasilkan oleh layar-layar lebar yang sedang menampilkan selebrasi kemenangan para pemain. Lengkap dengan suara riuhnya. Di tengah ruangan yang mirip gedung bioskop, tapi tanpa kursi ini, saya mematung lama. Berdiri dengan pandangan berpendar ke seluruh ruangan. Tiba-tiba saja, air mata saya tumpah, saking senangnya. Saking tidak percayanya kalau ini adalah kenyataan. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah berani saya impikan, dan Tuhan memberikannya. Begitu baiknya Tuhan, bahkan pada makhluknya yang seringkali bandel.

Ruang audio
Saya melanjutkan langkah menyusuri lorong-lorong yang mengantar saya keluar. Sebelum sampai di luar stadion, saya dikejutkan lagi oleh fasilitas foto bareng pemain. Dengan membayar sekitar 10 euro, kita bisa foto dengan background logo Barcelona atau lapangan, terserah. Dan tentu saja dengan pemain pilihan kita. Kita sih fotonya sendiri, nanti foto akan diedit oleh petugas. Sebenarnya dilakukan di rumah pun bisa, tapi mungkin, jika fotonya di sini lebih menang PD.

Kaki saya sedikit pegal saat saya sampai di luar gedung. Kalau dihitung jaraknya, mungkin saya sudah berjalan sejauh 5 km lebih. Naik turun tangga, karena lift dinon-aktifkan. Dua teman lelaki saya sampai mengeluh kelelahan.

Well, selelah apapun, ini adalah episode paling bersejarah dalam hidup saya. Bisa menginjakkan kaki di tanah Catalan. Bermimpi saja saya tidak berani, tapi keajaiban Tuhan memang tidak pernah terjangkau oleh nalar kita.
 

Sampai jumpa pada pembahasan detail lainnya. Kamu bisa lihat di sini pengalaman-pengalaman sebelumnya :)

Jumat, 24 Januari 2014

Selarik Cerita dari Pangandaran

Pangandaran, 13-14 Jan 2014

Terberkahilah kalian semua yang selalu punya banyak kesempatan untuk menikmati hidup dan melihat banyak tempat indah di negeri ini.


Setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam melewati lembah dan bukit, akhirnya kami sampai juga di Pantai pangandaran. Salah satu wilayah di Indonesia yang masuk dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi. *Mari coret tempat ini dari list*.

Begitu turun dari bus, kami disambut oleh sisa gerimis. Genangan air masih mengisi bebrapa ruas tanah yang cekung. Kagiatan pertama kami malam ini adalah makan malam. Setelah perut terkoyak di dalam bus, karena jalan yang kami lewati berkelok-kelok –kami mengambil rute Ungaran, Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Pangandaran– dan sebagian besar sudah berlubang, akhirnya tiba juga saatnya mengisi kembali perut yang kondisinya masih belum stabil.

Tidak ada yang istimewa di makan malam kali ini. Menunya hampir sama dengan menu harian di Ungaran. Ayam goreng dengan lalapan dan berbagai sayur mayur –yang begini di Ungaran juga banyak–. Dari tempat makan, kami diantar menuju hotel. Hotelnya, lumayanlah. Standar hotel pinggir pantai. Bergaya minimalis. Didominasi oleh warna coklat kayu. Tapi ya gitu, banyak mahkluk dari dunia lain yang berlalu lalang. Saat saya mengambil foto, ada beberapa titik putih yang tertangkap. Kalau di menurut nara sumber dari Indonesia Ghost Hunter, itu disebut partikel atau atom gitu. Saya lupa. Saya pernah mendengar penjelasan tersebut dari bintang tamu yang diwawancarai di salah satu acara talkshow di TV nasional.
Pose di depan kamar hotel. Dan ada yang lewat berupa bulatan putih.
Usai membersihkan badan, bongkar koper dan tas masing-masing, saya dan teman sekamar serta beberapa tetangga kamar, kami jalan-jalan mengelilingi area pantai. Sayang dong, kalau melewatkan suasana pantai di malam hari. Gak bisa tiap hari ini. Dengan menyewa odong-odong yang muat enam orang, kami gowes malam di bawah rinai hujan yang masih rintik. Lumayan buat olahraga malam. Untung saja jalanan rata, tidak naik turun seperti di Ungaran, jadi masih kuat lah mengayuh dua kilo bolak-balik.
Naik odong-odong XD
“Jadi begini pantai pangandaran di malam hari,” gumam saya.

Tidak begitu sepi. Sama seperti saya, banyak orang juga menyewa odong-odong dengan fasilitas full music dan AC alami untuk berkeliling pantai. Bedanya, saya dan lima orang lainnya yang satu odong-odong dengan saya, kami memarkirkan odong-odong dan mendekat barang sebentar ke tepian pantai. Melewati barisan warung souvenir yang masih buka. Bersama kami, ada segerombolan anak muda yang sedang berapi ungun sambil gitaran. Itu, seperti saya waktu remaja dulu. Nyanyi-nyanyi gaje sambil menatap bintang di langit. Sayang, malam ini bintang tak muncul. Di sebelah timur, ada dua pemuda yang sedang sibuk muter-muterin motor di atas pasir. Latihan motorcross ceritanya. Kalau di atas pasir, sekali pun jatuh, kan tidak begitu sakit.

Karena odong-odong ini hanya kami sewa selama sejam, maka setelah sejam, kami pun harus kembali ke hotel. Dan berhubung waktu sudah menunjukkan tengah malam, kami pun harus beristirahat agar besok bisa bangun lebih pagi untuk menikmati sunrise di tepi pantai.
Suasana pantai malam hari
***

Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Tapi suasana di pantai sudah begitu ramai. Sudah ada yang bermain-main ombak, padahal air masih lumayan tinggi. Beberapa orang berjalan-jalan saja tanpa alas kaki. Sekedar menyapukan kaki mereka di atas pasir dan sesekali membasahinya dengan air laut. Saya sendiri memilih tetap menjaga jarak dengan air laut. Niat saya ke sini hanya untuk menikmati sunrise. Tapi sial, posisi saya salah. Sunrise tidak terlihat dari sini. seharusnya saya berjalan agak jauh ke sebelah barat. Ya sudah, saya balik badan dengan perasaan kecewa. Untung masih ada salah satu teman yang bisa mengabadikan sunrise moment. Meski tidak seperti yang diharapkan, karena langit mendung, tapi jepretannya lumayan bagus kok. Dia tidak melihat sunrise muncul dari ujung laut, tapi sinarnya sudah begitu saja meninggi di balik awan.
Sunrise
Yuyun dan Ila dengan penampakan di belakang XD

Usai sarapan dan ramah tamah, kami langung check out untuk menuju obyek wisata selanjutnya. Green Canyon. Ini dia tempat yang saya mimpi-mimpikan sejak lama. Sejak saya masih berlangganan majalah remaja yang paling hits waktu itu. Saya membaca tentang tempat ini di sebuah artikel di majalah itu, dan saya langsung jatuh cinta.

Puji Tuhan, akhirnya saya sampai juga ke sini. Dengan menggunakan perahu motor bercadik, kami meyusur sepanjang sungai yang airnya sudah berwarna coklat mocca. Kata mas pemandu sih, gara-gara curah hujan yang tinggi, warna sungai ini jadi coklat. Bisa diterima, meski saya sendiri lebih suka beropini, kalau ini akibat dari ulah manusia. Bebatuan stalaktit menghias hampir di sepanjang tepian sungai. Dan WOW, saya dibuat takjub dengan pemandangan di ujung perjalanan. Bukan, ini bukan goa, apalagi surga. Di kanan dan kiri sungai penuh dengan bebatuan besar. Rintik air terjun jatuh kecil-kecil seperti air hujan. Batu besar seperti jembatan menggantung di atas kami. Ah, pokoknya tempanya indah banget. Warna coklat air tidak mengurangi keindahan di tempat ini. Coba kalau airnya bening? Pasti indahnya nambah berlipat-lipat. Saya jadi ingat Kautsar, nama salah satu telaga di surga. Mungkinkah seperti ini?
Fokus lihat yang di belakang saja ya..
Tuh, harusny renang menyusur tali itu.

Tempat ini di-claim sebagai Grand Canyonnya Indonesia, karena dikepung oleh tebing batu yang tinggi. Hampir sama dengan Grand Canyon yang di Amrik sana. Bedaya, kalau di sana batunya warna coklat seperti batu cadas, kalau di sini warna hitam khas batu kali dan ditumbuhi berbagai macam tumbuhan. Di sini saya dan tiga orang teman saya memberanikan diri untuk turun dari perahu. Sayang sekali kalau hanya duduk cantik di atas perahu, kurang greget. Seharusnya, kami melanjutkan perjalanan dengan berenang ke mata air suci. Tapi, karena waktu yang terbatas, kami terpaksa harus berpuas diri hanya foto-foto dengan bertumpu pada batu besar yang sudah pasti licin sekali.

Dari Green Canyon, kami berpindah ke Pantai Batu Hiu. Sebelum kami ke Green Canyon, sebenarnya kami sudah melewati tempat ini, karena memang sejalur. Tapi, kami memilih ke Green Canyon terlebih dulu karena pertimbangan teknis dan cuaca. Saat hujan deras, tidak mungkin bisa ke Green Canyon karena bisa dipastikan air sungai pasang.

Pemandang dari Batu Hiu ke Green Canyon atau sebaliknya benar-benar luar biasa. Bisa dibayangkan saat kamu mengendarai mobil di jalanan tepian pantai dengan nyiur melambai-lambai. Ditambah suara deru ombak. Birunya air laut yang seperti tanpa batas. Begitulah sepanjang perjalanan. Yand disayangkan cuma satu, jalan yang sempit dan berlubang.

Batu Hiu ini tempatnya seperti bukit. Melewati ratusan anak tangga yang lumayan bisa menurunkan kalori. Dan setelah sampai di puncak, subhanallah. Sepertinya seluruh laut di pantai selatan pangandaran terlihat dari sini. Udaranya cukup panas. Tapi sumpah, that’s nothing kalau dibanding dengan pemandangan yang bisa dilihat dari atas sini.
Batu Hiu
Patung Batu Hiu
Suka sama percikan ombaknya
Coba-coba buat siluet
Tragedi kecil terjadi di sini. untuk kedua kalinya dompet saya hilang. Jangan tanya, "Hilang di mana?" atau "Kok bisa?". Saya sudah bosan mendengar pertanyaan seperti itu. Sama bosannya dengan melontarkan jawaban yang sama. Saya baru sadar setelah berada di tempat selanjutnya. Itu pun saat kami sudah selesai dengan semua kegiatan dan bersiap untuk pulang. Tapi, lupakan. Saya juga sudah tidak ingin mengingatnya lagi.

Lanjut, ke perjalanan selanjutnya. Kali ini kami kembali lagi ke pantai pangandaran, lalu menyebrang ke pulai sebelah. bukan pulau sebalah sih sebenarnya, karena tempatnya masih gandeng dengan pulau jawa bagian pangandaran ini. Tapi untuk sampai ke sana, ke pantai dengan pasir putih itu, kami harus naik perahu motor bercadik lagi.

Harga sewa perahu motor itu –kalau tidak salah– 120.000 rupiah per perahu. Setiap perahu bisa mengangkut sepuluh orang. Dengan tambahan 15.000 rupiah per orang, kita bisa berlayar sampai ke tengah, tentu saja itu sebagai kompensasi untuk memanjakan mata kita. Dari atas perahu kita bisa menikmati pemandangan taman laut sekaligus bebatuan datar laut yang seperti biasa, selalu indah.
Boating ke Cagar Alam
Another boat

Di pantai pasir putih, selain bisa berenang, karena ombaknya yang relatif tenang, kita juga bisa diving. Dan yang lebih menarik adalah kita bisa jalan-jalan ke hutan cagar alam, yaitu hutan lindung yang masih sangat alami. Di sana ada populasi kera ekor panjang -saya lebih suka menyebutnya monyet-, lutung, kijang, Kalong, Burung Kangkareng, dan landak Jawa. Tapi, lagi-lagi sayang, yang menampakkan diri di sekitaran waktu itu pantai hanya monyet. Yang lain mungkin sedang bersemedi atau bertapa. Hewan-hewan itu dibiarkan berkeliaran begitu saja. Tak ada kerangkeng besi atau kayu yang membatasi ruang gerak mereka.

Satu pesan saya jika masuk ke cagar alam ini, jangan membawa makanan apa pun kalau tidak mau dikejar oleh kawanan monyet. Indera penciuam monyet sangat tajam. Belajar dari kejadian yang dialami teman saya. Dia tidak sengaja membawa sebiji jeruk di dalam tasnya, dan seketika itu juga langsung diserang oleh monyet. Sampai tubuhnya gemetaran dan menangis.

Terusss, jangan sampai mengganggu monyet. Apalagi monyet yang lagi PMS atau galau .Yang ini pengalaman saya sendiri. Saya hampir jadi korban kemarahan monyet. Gara-gara iseng fotoin monyet yang kayaknya sih lagi BT, eh malah saya dikejar-kejar. Alhasil saya jadi bahan ketawaan teman-teman. Awkward moment, tapi lucu juga kalau diingat.
Rame-rame di Cagar Alam
Kera ekor panjangnya lagi PMS
Lagi curhat-curhatan XD

Setelah menyelesaikan tugas menyusur hutan, kami kembali lagi ke Pantai Pangandaran dengan perahu yang sama. Dan melanjutkan bermain-main air di sana. Pasang badan untuk melawan ombak yang semakin sore semakin besar.
Pantai Pangandaran menjelang senja
Ehm… jujur ya, saya bakal berpikir dua kali untuk kembali ke panggandaran atau tidak? Bukan masalah tidak maunya. Tapi jauhnya itu lho. Di sana juga tidak ada angkutan umum. Susah untuk menjangkau tempat itu tanpa kendaraan sendiri. Dan lagi, di pantai pangandaran ini, hawa mistis masih sangat terasa. Saya dengar ada beberapa mitos ini itu. Bukannya tidak percaya, tapi saya memilih untuk tak memikirkannya.

Oleh-oleh yang saya bawa pulang yang paling terasa ya itu, rasa haru saat teman-teman menawarkan bantuan ketika saya kehilangan dompet. Yang artinya saya juga kehilangan seluruh uang saku yang ada di dalam dompet. Bersyukur sekali selalu dikelilingi oleh orang-orang yang baik.

*Lain kali hati-hati ya yun?! Jangan teledor lagi!* *Toyor diri sendiri*