Kamis, 21 November 2013

Hati-hati Dengan Ekspektasi

Setiap manusia, apalagi yang sudah masuk ke dalam kasta dewasa, tentu pernah mengalami satu masa di mana kita merasa down se-down-down-nya. Melewati satu masa di mana kita merasa dipermainkan oleh takdir. Kalo kamu bilang belum pernah, berarti kamu orang yang kurang beruntung. Karena telat naik kelas. Telat mendapatkan pelajaran hidup yang seharusnya bisa membuatmu lebih bijaksana.

Atas permintaan seorang teman, kali ini saya ingin sedikit sok tahu tentang psikologis. Karena saya tidak ahli dalam bidang ini, jadi saya akan mencoba berbagi tentang pengalaman pribadi saja. Dari pada ngomongin orang lain. Ya, kan? Udah, iyain aja!

Panggil saja dia Dodi (nama samaran). Dia mantan teman dekat saya. Kami pacaran saat sama-sama masih duduk di bangku SMA. Ceritanya cinta monyet gitu. Itu sudah berselang bertahun-tahun yang lalu. Dan Alhamdulillah, sampai detik ini hubungan kami baik-baik saja. Bahkan saat saya menulis ini pun, saya sedang kakaoan sama dia. Saya kenal baik dengan keluarganya, begitu pun sebaliknya.

Saat berpacaran, saya tidak punya ekspektasi apapun tentangnya. Saya menikmati saat-saat bersamanya, ya sebagai remaja. Untuk having fun saja. Lucu-lucuan. Saat itu kalau saya disuruh milih, saya tidak akan memilih dia untuk menjadi pendamping hidup saya. Saya gak yakin sama dia, dia kan playboy. Tapi ganteng. Ya udah, lumayan kan untuk temen jalan-jalan. Kalo orang bilang “wangun dijak kondangan”. Dan dia secara fisik, dia lebih dari wangun. Ini dari sudut pandang anak SMA lho.

Waktu berlalu. Seiring dengan berakhirnya masa-masa SMA, berakhir pula hubungan kami. Awalnya sih sakit. Tapi itu cuma sebentar. It’s so easy to moving on.

Kesimpulannya, saat kita tidak punya ekspektasi apapun terhadap seseorang atau suatu hal, kita akan lebih siap dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Kita akan legowo, karena saat kita jatuh pun, itu bukan dari tempat yang begitu tinggi. Tapi hanya sedekar kesandung.

Jadi, jika kita merasakan sakit atau kecewa yang luar biasa saat kehilangan seseorang atau sesuatu, jangan langsung melimpahkan segala kesalahan padanya. Tengok diri sendiri dulu. Seberapa besar ekspektasi kita kepadanya? Jangan-jangan kita yang salah, karena terlalu berharap sama orang yang salah?

***

Alam bawah sadar kita itu sebenarnya selalu mengirimkan sinyal jika ada sesuatu yang tidak beres dengan diri kita atau lingkungan di sekitar kita –Teori darimana? Lupa–. Tapi, kitanya sering mengabaikan. Misal, saat kita menjalin hubungan dengan seseorang. Kita tahu ada yang salah dengan hubungan itu. Tapi karena satu, dua, tiga, empat (malah itung-itungan) hal, kita sering memaksakan hubungan itu untuk tetap berjalan. Kita lebih sering menuruti hati, dari pada nurani. Padahal kebenaran yang sebenar-benarnya kan nurani –Yun, bangun, Yun! Gak ngelantur–. Oke! Anggap saja saya lagi ngelantur. Tapi mari, kita menunduk sejenak. Bertanya pada nurani masing-masing. Dan temukan sendiri jawabannya di sana.

#edisiyuyunlagiselo

Rabu, 13 November 2013

Pabozz, My Favorite Author

Btw, ini foto favorit saya lho. Lucuk!
Ah, Tuhan Sayang Padaku Kok
Sekitar 4 tahun yang lalu. Saat itu saya sedang berada di sebuah pameran buku di Kota Salatiga. Mondar-mandir mencari buku yang ringan untuk bacaan sehari-hari. Dan tentu saja yang harganya sesuai dengan budget bulanan saya waktu itu. Akhirnya pilihan saya tertuju pada buku bersampul putih dengan gambar hati bergelantungan berwarna merah dengan judul yang menggelitik. Ah, Tuhan Sayang Padaku Kok. Membaca judulnya saja, sudah membuat saya penasaran untuk tahu isinya. Bukan dari penerbit terkenal sih –I mean, yang sudah saya kenal bhehe–. Tapi tetap saja saya tergerak untuk memiliki buku itu.

Seperti sudah jodoh. Saya merasa klik dengan buku itu. Isinya ringan. Bertutur tentang kehidupan kita sehari-hari. Bahasanya juga asyik. Konyol. Gak berat-berat amat. Gak nyastra-nyastra amat juga. Tapi pesannya ngena banget. Rasanya seperti dijewer, ditampar, dibogem, digelitik, dikuliti setiap kali membaca bab-bab di buku itu.

Selesai membaca, ternyata ada informasi lengkap mengenai penulisnya. Dari situ, saya mulai kepo tentang penulisnya. Nama kecilnya Herman Hidayatullah. Lahir di Sumenep, 13 November 1977. Entah sejak kapan berganti nama menjadi Edi Mulyono. Dan kemudian beken dengan nama Edi Akhiles di berbagai jejaring sosial. Saya mulai search akun FBnya. Add friend. Dan alhamdulillah bisa diterima dengan baik oleh beliau.

Sejak saat itu, saya tidak pernah melewatkan notes beliau di facebook. Bahkan beberapa ada yang saya print. Dan kemudian dipinjam oleh beberapa kawan saya –Maap, ya, Pak. Ndak ijin dulu–. Buku yang saya beli pun sering berpindah tangan. Dari satu kawan ke kawan lainnya.

Dan pada bulan April tahun ini, Tuhan mengabulkan doa saya untuk bertemu beliau –FYI, saya berulang tahun di bulan April. Jadi anggap saja ini hadiah dari Tuhan–. Dengan ikutan nyusup ke Kampus Fiksi. Dan bonusnya saya mendapatkan banyak teman di sini. Pertama kali ketemu, speechless. Makanya gak banyak omong. Takut salah, takut apalah, karena di sana saya merasa kecil. Berada di antara para penulis, dan saya tidak bisa menulis, rasanya seperti pecundang. Lumayan minder.

Sebenarnya, saya kagum dengan beliau bukan hanya karena tulisannya. Tapi lebih karena perilaku beliau yang patut dijadikan contoh. Sedikit banyak, pengalaman hidup dan pemikiran-pemikiran beliau telah di-share ke banyak orang. Baik dalam bentuk buku, atau postingan di blog. Seorang yang nyata pernah saya kenal yang membuktikan bahwa kalimat “from zero to hero” itu gak pernah salah. Seorang CEO dari Diva Press Group yang peduli dengan seluruh karyawannya. Seorang penulis besar yang peduli dengan bakat-bakat penulis muda. Seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya. Seorang anak yang berbakti pada orang tua. Dan seorang manusia yang peduli pada sesama. Setidaknya seperti itulah beliau di mata saya. –Maaf lagi ya, Pak. Waktu itu pernah ngomongin sama supir yang menjemput dan mengantar saya. Tapi ngomonginnya yang baik-baik kok. Suerrr! *sungkem*–

Berkat Kampus Fiksi, yang artinya berkat beliau juga, sekarang saya jadi seneng nulis. Nulis apa aja yang ingin saya tulis. Meskipun saya gak punya ekspektasi apa-apa tentang apa yang saya tulis. Tapi tetep saya ingin menulis. Setidaknya untuk berbagi pengalaman dengan orang lain. Dan menuliskan sejarah untuk diri saya sendiri. Mungkin, nanti, 10 atau 20 tahun ke depan, tulisan-tulisan itu bisa jadi pengingat tentang masa-masa sekarang saya. Karena otak punya keterbatasan untuk mengingat, sedangkan tulisan itu abadi.

Dan hari ini. Rabu. 13 November 2013. Beliau. Bapak Edi Mulyono a.k.a Edi Akhiles yang saya cintai dan kagumi berulang tahun yang ke 36. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Semoga sisa usia yang dimiliki semakin berkah dan bermanfaat. Semoga keluarganya semakin sakinah, mawadah, warahmah.

Terima kasih telah menjadi salah satu inspirasi dalam hidup saya. Terima kasih telah mencetak nama @yuyun_en di salah satu buku terbitan Diva Press. Meskipun hanya antologi, tapi saya tetap merasa senang. Itu persembahan terbaik untuk Ibu saya. Terima kasih untuk segala kebaikan Bapak.

Sekali lagi selamat ulang tahun..

*Tiup terompet*

*Tiup lilin dan potong kue*

*Sebarin potongan kertas*

*Nyanyi lagu selamat ulang tahun bareng-bareng*

Sabtu, 09 November 2013

Barcelona, Fourth Day

Masih terbangun dengan cantik di kamar nomor 208 Hotel Tryp Barcelona. Jam analog di HP saya masih menunjukkan pukul 4 pagi waktu Barcelona. Saya langsung meraih labtob dan membuka akun facebook. Berharap ada teman di tanah air yang bisa saya ajak ngobrol. Dengan selisih waktu 5 jam, tentunya teman-teman saya di Indonesia sudah pada beraktivitas. Sementara itu, Sarah, teman sekamar saya, masih terlelap. 

Matahari terbit. Langit di luar sudah terlihat terang. Saya beranjak dari ranjang. Seperti biasa, saya membuka tirai dan melongok ke luar sebentar. Matahari yang muncul dari balik bukit terlihat indah dari tembok kaca kamar di lantai 2 ini. Bias golden rise-nya sayang untuk dilewatkan. Beginilah ritual pagi saya, sebelum berpindah tempat ke kamar mandi.

Oh, ya. Sesuai dengan rencana, Sarah hari ini akan terbang ke Indonesia. Dia harus mengikuti ujian dari salah satu mata kuliah yang dia ambil di fakultas kedokteran Universitas Tri Sakti. Eh, Sarah ini calon dokter lho. Pekerjaan tetap keluarganya secara turun temurun. Mama Papanya dokter. Mungkin juga begitu dengan Opung-opungnya.

Berhubung Sarah sudah packing semalam, pagi ini dia tinggal pergi kebandara. Saya dan Sarah turun bersama untuk sarapan. Usai sarapan kami berpisah. Rasanya sedih juga. Meski baru 4 hari kenal dan langsung tidur sekamar, saya sudah menganggap dia seperti adik sendiri. Yach, namanya di negara asing, orang lain pun bisa jadi saudara. Jadi ingat mamanya Sarah yang baik itu.

Saya kembali bergabung dengan rombongan untuk melanjutkan perjalanan. Sementara Sarah harus berbelok ke Bandara. Sendirian. Salut buat Sarah.

Di hari keempat ini, kami di ajak jalan-jalan ke pantai. Dari hotel, kami langsung meluncur ke Sitges. Salah satu kawasan pantai terbaik yang dimiliki Barcelona. Sitges berjarak 35 km dari Barcelona. Kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam di dalam bus untuk sampai ke tempat ini. Untuk menyentuh bibir pantai, kami masih harus berjalan berkilo-kilo meter dari tempat parkir. Lumayan membakar kalori.

Sitges menyambut kami dengan cuaca yang cerah. Khas cuaca pantai. Panas dan berangin. Suasana jalan di Sitges pagi ini masih terlihat sepi. Masih jam 9, aktivitas harian masyarakat belum dimulai. Seperti kota-kota lain di Barcelona, di Sitges pun tidak ada kendaraan besar yang lewat. Hanya terlihat beberapa skuter dengan ban bulat yang ukurannya lebih besar dari skuter yang biasa kita lihat di alun-alun kota. sepertinya, setiap kota di Barcelona memang dikonsep untuk tidak dilewati kendaraa-kendaraan besar seperti bus, tronton, truk, kecuali di jalan raya.

Inilah kenapa Barcelona sangat menyenangkan untuk berjalan-jalan. On foot, tentunya. Udaranya terjaga. Polusinya tidak gila-gilaan seperti di kota-kota besar di negeri saya tercinta. Jalanan teratur. Seandainya ada macet pun, macet cantik. Gak ada bunyi-bunyian klakson yang memekakan telinga. Suasana tetap adem.

Toko-toko yang berjajar di sepanjang jalan Sitges sedang bersiap untuk buka, saat kami lewat. Sttt, di Sitges ini kamu akan menemui banyak lelaki centil. Mukanya sih ganteng. cashing macho. Tapi ya gitu, tingkahnya gemesin.

Pantai sudah terlihat. Kami mempercepat langkah agar segera bisa menikmati keindahan ini. Dan untuk beristirahat tentunya. Kami berdiri depan sebuah gereja. Gereja Sant Bartomeu i Santa Tecla. Gereja ini dibangun pada abad 17. Bangunannya terlihat tua eksotis. Memiliki altar yang tinggi. Dari sini kamu bisa menikmati pemandangan Pantai Sitges dengan leluasa.

Karena beriklim mediterania yang memastikan matahari akan bersinar selama 300 hari, Sitges merupakan salah satu tujuan wisata favorit di eropa. Ditambah, kota ini terkenal dengan kehidupan malamnya. Bocoran nih, Kota Sitges ini surganya kaum maho. One of the most friendly places for homosexuals. Sebagian besar tempat hiburan malam di Sitges diperuntukkan bagi kaum gay atau lesbian.

Kembali ke pantai. Sitges memiliki 17 pantai pasir. Ombaknya tenang. Lingkungannya bersih dan rapi. Saya sarankan, jika ingin berjalan-jalan di pantai ini, kamu harus memakai sunblock. Matahari di sini menyengat. Jangan tertipu dengan hawa dingin yang kamu rasakan. Pulang-pulang, kulit kamu akan menghitam.

Oh, ya, harga barang-barang di sini juga mahal. Tidak disarankan untuk berburu oleh-oleh di sini. Selama berjalan-jalan di tepi pantai, saya dan rombongan hanya berburu foto saja. Dan sekali membeli es krim bersama-sama. Es krim cone di sini mencapai 4 euro. Kalau 1 euro = 12.000 rupiah. Silakan hitung sendiri harganya dalam rupiah.

Dari pantai menuju parkiran, kami harus berjalan jauh lagi. Miss Ana, guide kami dari Barcelona, mengajak kami mengambil jalur yang berbeda dengan saat berangkat tadi. Kali ini kami melewati rentetan restoran yang ada di pinggir jalan. Suasana sudah jauh lebih ramai. Pusat perbelanjaan di Sitges sudah lebih pasarawi –maksudnya, benar-benar terlihat seperti pasar ^^–.

Pemandangan dari altar gereja
Perahu pun berjajar rapi
Jalan di tepi pantai
Pasukan hotel, restoran, dan tempat hiburan
Doggi berlarian di tepi pantai
Yeee... Yuyun in action
Patung Leonardo da Vinci
Salah satu sudut Sitges
Bus Sagales lengkap dengan supirnya yang ganteng sudah menunggu di parkiran. Saya dan rombongan melanjutkan perjalanan. Agenda kami selanjutnya adalah makan siang. Bus membawa kami ke tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Ke sebuah restoran spanyol. Saat turun dari bus, saya tidak menyangka bahwa ini adalah restoran. Bangunan dengan eksterior putih ini dari luar lebih terlihat seperti hunian tempat tinggal atau rumah. Tumbuhan bunga dan pohon mengelilingi bangunan ini. Tapi begitu masuk, suasanya sudah lain. Beberapa set kursi dengan meja bundar, kotak, dan panjang tersedia di restoran ini. Tinggal pilih sesuai jumlah rombongan. Kami duduk di pojokan. Di meja paling panjang. Desain interior di restoran ini unik. didominasi oleh kayu dan mozaik.

Seorang bertubuh gembul, berpakaian putih ala koki keluar dengan membawa daftar menu. Om Mario, Tour Leader kami, memilihkan menu makanan.

Tidak butuh waktu lama untuk menyediakan pesanan kami. Tidak sampai seperempat jam, beberapa orang berpakain putih ala koki yang lainnya menghampiri meja kami dengan meletakkan piring, mangkuk, gelas, garpu, pisau, dan disusul menu yang akan diisikan ke piring-piring tersebut. Sup makaroni sudah lebih dulu dihidangkan sebagai makanan pembuka. Rasanya hambar. Untung masih ada mayones dan beberapa potong roti gandum yang bisa kami santap dan memberikan rasa asin pedas di lidah kami. 

Sup makaroni
Hidangan pokok selanjutnya adalah stik iga kambing. “lumayan ada rasanya”. Saya suka geli sendiri kalau ingat makanan-makanan yang pernah saya makan di Barcelona. Tapi ini adalah steak paling enak yang pernah saya makan di sini.

Selanjutnya, kami disuguhi roti karamel. Manis sekali. Setiap kali makan selalu seperti ini. Membuat saya berpikir dan menyimpulkan “Inilah kenapa orang eropa gembul-gembul. Lha kalo makan saja kayak gini. Hidangan pembuka, pokok, dan penutup. Tiga kali sehari. Pantaslah kalo gizi mereka sangat tercukupi”.

Dari restoran yang unik ini, kami kembali ke Placa Catalunya. Hanya sedekar untuk menghabiskan waktu sampai tiba saatnya makan malam. Berhubung Sarah sudah tidak ada, saya mencari partner lain untuk jalan-jalan. Kali ini bersama Dek Indah dan ayahnya. Kami bertiga berjalan sampai ke pasar tradisionalnya Catalunya. First time. Dan tetap kagum. Pasarnya teratur. Dan yang paling penting, bersih. Dari pasar, saya mendapatkan 2 potong besar coklat hitam dan putih. 

Macam-macam coklat di pasar
Jajanan kita juga ada di sini lho
Kami berburu oleh-oleh yang lain. Sebuah toko dengan pengunjung paling banyak yang kami pilih.

“Selamat siang.” Sapa pemilik toko.

“Siang.” Kami menjawab dengan nada keheranan. Bahasa Indonesianya lancar.

Alih-alih sibuk memilih barang yang akan kami beli, kami malah asyik ngobrol dengan pemilik toko. Seorang pria berpasport pakistan. Saya lupa namanya. Dia bercerita, pernah tinggal di Bali selama 6 bulan. Dan kagum dengan keindahan Pulau Bali.

Kami berjalan menjauh dari area pertokoan Catalunya dengan membawa tentengan berisi cindera mata. Mulai dari gantungan kunci, baju, payung, tas, yang semuanya berlabel Barcelona. Berakhir dengan duduk cantik di bangku taman. Dan... itu kan Sarah. Yeyeye lalala Sarah kembali lagi.

Ceritanya, Sarah tidak jadi terbang ke kampung halaman hari ini. Pihak bandara tidak bisa mengijikan Sarah ke luar Barcelona hari ini. Dan saya senang sekali. Malam ini tidak jadi tidur sendiri.

Menjelang malam, kami menuju Restoran Cina langganan untuk santap makan malam. Yuhuuu, ketemu nasi lagi. Minum teh cina lagi. Makan ayam goreng dan sayuran lagi. Dan hari ini berakhir di kasur empuk Hotel Tryp lagi.

Yang belum baca cerita di hari pertama, kedua, dan ketiga, bisa ngeklik di sini. Next, lanjut lagi ya. Malam ini, mata sudah tidak bisa diajak kompromi. See ya!

>> To be continue

Rabu, 06 November 2013

Pesan Dari Alam

“Alam bukan untuk ditakhlukan, tapi diakrabi”
Ini kali ketiga saya menjejakkan kaki memasuki kawasan hutan Gunung Ungaran sejak saya lahir sampai segede ini. Terakhir kali ke sana, saat itu usia saya masih belasan tahun. Untuk merayakan kelulusan dari Sekolah Menengah Pertama a.k.a SMP, saya dan teman-teman se-genk, kami bertiga belas nekat mendaki Gunung Ungaran. Kami melakukan pendakian di malam hari. Yang tentunya tanpa persiapan standar pendakian. Kami hanya membawa pakaian lengkap dengan jaket harian. Tanpa senter atau makanan yang cukup. Yach, namanya juga anak-anak, nekat dan berani menembus batas itu hebat. Tapi itu dulu, saat saya dan teman-teman masih labil. Kalau pendakian yang sekarang mah, udah lebih ngerti tentang apa yang harus dibawa dan dilakukan?

Kali ini saya jalan-jalan ke Gunung Ungaran bersama empat teman saya –saya sebut jalan-jalan soalnya kami gak sampai ke puncaknya–. Tiga perempuan, dua laki-laki. Dan saya memberi pengharaan kepada mereka dengan sebutan Power Rangers [dadakan]. Saya, dengan persiapan yang cukup matang. Kostum yang setidaknya tepat. Makanan dan minuman yang cukup. Dua teman, dengan persiapan yang paling lengkap. Segala jas hujan dan kompas dibawa. Tapi sayang yang paling penting justru gak bawa. Obat-obatan. Dan dua teman saya lagi yang cuma bawa diri mereka sendiri.

Perjalanan dimulai jam 8 pagi dari pos pertama yang berlokasi di Mawar, Umbul Sidomukti. Bersyukur, cuaca pagi ini bersahabat. Meski matahari terasa begitu terik, tapi itu tetap lebih baik dari pada hujan. Saya berjalan paling depan, memimpin teman-teman yang lain. Diikuti Na, sepupu saya yang pendiam. Tomo, teman kuliah yang ngebet banget pengen jalan-jalan ke Singapura adan Thailand. Ariana, teman yang baru saya kenal dari Rofik –ehm, pacarnya mungkin–. Dan Rofik, entah ini teman darimana, saya sendiri kurang paham. Yang penting saya dan dia berteman dengan sangat baik. Bukan begitu, Kak?

Langkah-langkah masih terasa ringan, karena medan yang kami lalui juga belum terlalu berat. Entahlah, ini saya yang terlalu bersemangat atau bagaimana? Setelah perjalanan yang lumayan jauh, saya menoleh ke belakang, dan tiga rangers paling belakang sudah menghilang dari pandangan. Kemudian saya beristirahat dan menunggu mereka. Begitu berulang kali. Bahkan di tengah hutan pun saya sempat foto-foto sembari menunggu mereka. 

Pose di tengah hutan ^^

Lebih dari setengah perjalanan kami sampai di pos kedua. Kebon kopi. Pemandangan di sini lumayan bisa menjadi pengobat lelah. Wangi kembang kopi, warna hijau daun kopi, ditambah kolam renang di pegunungan adalah keajaiban alam yang ditawarkan di tempat ini. Kami beristirahat sejenak. Merendam kaki di kolam renang pegunungan. Nyesss! Rasa sejuk menyergap di kedua telapak kaki saya. Bahkan dinginnya menyebar ke seluruh tubuh saya. Air alami pegunungan nyes-nya memang beda dengan yang ada di bawah. 


Ini kolam renangnya. Airnya ijo, pantulan dari lumut di kolam

Ngeksis ^^
Bangunan kuning ijonya

Lanjut jalan lagi. Medan di kebon kopi ini lebih bersahabat daripada yang ada di hutan tadi. Jalannya lebih lebar, bisa dilewati kendaraan juga. Di sekitarnya ada beberapa rumah. Rumah pegawai atau penjaga kebon mungkin. Dan ada satu bangunan yang mencolok berwarna kuning hijau. Disamping bangunan ada mesin penggiling kopi. Mungkin, bangunan ini merupakan bangunan utama untuk para pekerja. Tapi ketika saya lewat semua tertutup. Di sepanjang jalan suasana juga sudah mulai ramai. Kami berpapasan dengan banyak orang dan rombongan yang turun gunung.

“Biasanya banyak turis lho, mbak!” Kata Tomo, yang memang sering melakukan perjalanan ke gunung Ungaran ini.

“Oh, ya?” Sahut saya singkat.

Selama perjalanan, kami, terutama saya dan Tomo sering bercerita. Ngobrol apa saja yang bisa diobrolin. Dari masalah skripsi dia yang tertunda-tunda atau sengaja ditunda, sampai ke ranah politik yang bahkan kami sendiri tidak mengerti. Ya beginilah, anak muda yang penuh impian dan kebimbangan. 

Selepas kebon kopi, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Sepanjang mata memandang yang ada hanya indah. Hijau dimana-mana. Yup! Kebon teh dengan latar puncak Gunung Ungaran. Segala lelah terbayarkan di sini. Beberapa tenda masih berdiri kokoh di tepian kobon teh. Pasukan rangers menyebar. Menikmati alam dengan caranya masing-masing. Saya berdiri diantara barisan pohon teh. Mengambil nafas dalam-dalam. 

Power Rangers
Ini pada minta difotoin
Kebon teh berlatar Gunung Ungaran

“Ini nih. Mumpung di sini, ambil nafas sebanyak-banyaknya. Mumpung udaranya bersih. Jarang-jarang lhoh, kita bisa ketemu sama udara sesejuk ini.” Seperti biasa, saya yang paling banyak berceloteh di antara mereka.

“Sekalian masukin kantong, bawa pulang buat oleh-oleh.” Dasar. Rofik ini memang suka ngasal kalau jawab. Tapi jawaban spontan itu berhasil membuat kami ngikik bersama.

Dari kebon teh, kami berjalan turun menuju Promasan. Sebuah kampung kecil yang terletak di dataran pegunungan. Tempat ini merupakan tempat latihan yoniv 400 / Raider. Biasa digunakan untuk uji metal bagi para pecinta alam atau pelantikan pramuka. Dulu, pas masih berseragam biru putih, saya juga dilantik sebagai dewan galang di tempat ini.

Promasan sudah jauh berbeda dari terakhir saya ke sini –ya, iyalah. Udah berapa tahun Ye?-. Rumahnya sudah lebih banyak. Candi Promasan juga sudah dibangun. Tata kampungnya sudah jauh lebih teratur. Lantai mushola sudah tidak kayu lagi. Sudah diganti sama keramik warna ijo. Toilet, tempat wudhu, semua lebih nyaman. Yang paling penting nih, jajanan di warung sudah lebih lengkap. Dan heiii, ada juga tukang jual cilot di sini. Heran sih, gimana itu Bapak Cilot bawa dagangannya di mari? Jalan bebatuan semua, tapi dia bisa bawa dagangannya pakai motor. 

 
Rumah di Promasan
Candi Promasan

Saya juga dibuat kaget dengan adanya mobil bagus yang terparkir di dekat mushola. Lha kok bisa mobil bagus gitu di tengah gunung gini? Meskipun jalanan di Promasan ini bisa dilewati kendaraan, tapi sama sekali gak recommend buat mobil halus. Jalannya sama sekali gak cocok. Jalannya hanya cocok untuk motor trail. Tapi ya gitu, ada beberapa motor matic yang maksa buat sampai ke tempat ini. Gak tau lewat jalan mana? Setahu saya sih, yang bisa dilewati kendaraan cuma dari jalur Boja.

Power rangers menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam di tempat ini. Menikmati saat-saat bercengkrama dengan alam. Membiarkan angin gunung membelai wajah kami masing-masing.

“Tom, saya juga mau kalo disuruh hidup di sini selama seminggu. Asyik kali ya? Lepas dari segala hiruk pikuk yang ada di bawah sana.” Kalimat itu terlontar dari bibir saya saat kami duduk-duduk di beranda mushola. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa saya merasa bosan dengan segala aktivitas yang ada di bawah sana. Bahwa saya rindu dengan alam yang setenang ini. Sesejuk ini. Sedamai ini.

Kejutan lagi. Ada anak kecil usia 6 tahunan habis turun dari puncak. Kok, saya jadi mikir ya. Besok kalau saya punya anak, pengen juga ngajak dia main ke alam gini. Supaya dia bisa belajar langsung dari alam. Gak cuma kenal mall, gadget dan kendaraan di kota saja.

Kami pulang melewati jalur sama dengan berangkat tadi. Melewati kebon teh, kebon kopi, dan memasuki hutan. Member ranger, Tomo, kali ini agak kreatif. Dia mengajak kami, sedikti belok ke air terjun mini di tengah hutan. Keren. Airnya kayak air es. Dingin. 

Ini pemandangan di air terjun mini

Dan saat kami sibuk berkecipuk dengan air, tiba-tiba langit menangis. Rintik hujan mulai turun. Makin lama makin deras. Kami mempercepat langkah. Saya masih berjalan di depan. Kemudian berhenti di bawah pohon rimbun untuk berteduh. Sambil menunggu dua rangers yang masih di belakang. Satu ranger kakinya terluka karena salah pake alas kaki. Pelajaran nih, kalau niat naik gunung atau perjalanan jauh, pakailah alas kaki yang nyaman senyaman-nyamannya. Pakai baju yang nyaman juga. Hindari pakai celana jeans ketat. Kasihan otot kakinya, susah nafas. Jangan pakai highheel juga. Kecuali kalau kamu memang suka tantangan.

Tak lama kemudian hujan mulai reda. Rombongan lain yang tadi turun beriringan dengan kami sudah tak terlihat. Sepertinya mereka menerabas hujan. Di perjalanan selanjutnya, kami berpapasan dengan banyak turis asia. Saya geli sekaligus kagum melihat mereka. Dengan usia yang tidak bisa lagi dibilang muda, mereka masih saja bersemangat naik gunung. Bahkan dalam cuaca seperti ini. Dan dua jempol buat mereka. Meskipun mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi, mereka tetap mengenakan pakaian mendaki lengkap dengan tongkat di kedua tangan mereka. Ini contoh orang-orang yang sama sekali tidak menyepelekan alam.

“Tom, itu yang kamu cari udah datang. Para turis.” Saya melambai ke Tomo yang ada di urutan keempat belakang saya.

Tomo tersenyum.

Kami juga ketemu dengan sekelompok ibu-ibu yang mencari kayu bakar di tengah hutan. Satu kata buat mereka “HEBAT”.

Power rangers akhirnya sampai di pos pertama juga. Tempat kami memarkirkan motor. Perjalanan sederhana yang menyenangkan dan syarat dengan pesan dari alam. Dari kacamata hilang. Kaki Ariana yang lecet-lecet karena gak pernah jalan jauh. Kehujanan di tengah hujan. 
 
Dan pesan singkat yang bisa saya sampaikan dari alam adalah:
"Gak usah mikir jauhnya kayak apa? Jalan aja terus, ntar juga sampe. Kalo capek, ya istirahat. Tapi jangan sampe lupa tujuan. Kadang ada angin kenceng, ujan, ato awan gelap. Kadang cuaca juga cerah ceria. Tapi percayalah, selalu ada keindahan di depan sana"