Selasa, 24 Desember 2013

Review, 99 Cahaya di Langit Eropa


99 Cahaya di Langit Eropa. Dulu, pertama kali tahu judul ini langsung tertarik. Pokoknya harus nonton. Bukan karena jalan ceritanya. Tapi karena –kalau dilihat dari judulnya– pasti settingnya di Eropa. Entahlah, ada sesuatu yang membuat saya tertarik dengan benua yang satu itu. Apalagi jika penjelajahannya dilakukan oleh orang lokal.

Sejak kunjungan ke Girona, dan menemukan satu gereja yang pernah beralih fungsi sebagai masjid, saya merasa ada banyak tempat lain di Eropa yang menyimpan jejak-jejak peradaban islam.

Lalu, saya googling judul tersebut. Ternyata benar, film yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Mbak Hanum Rais –merupakan putri dari Bapak Amin Rais– dan Mas Rangga Alma –suaminya– ini menceritakan tentang perjalannya selama 3 tahun di Eropa. Dan menemukan tempat-tempat ziarah baru di sana.

Di tangan sutradara Guntur Soeharjanto buku ini divisualisasikan dalam sebuah film. Dua bintang utamanya, yaitu Acha Septriasa (Hanum) dan Abimana (Rangga), mereka berperan sebagai sepasang suami istri yang hidup di Vienna demi melanjutkan pendidikan. Rangga sibuk sebagai seorang mahasiswa, sedang Hanum, untuk mengisi kebosanan hari-harinya dia mengikuti les bahasa Jerman.

Saat les bahasa itulah, dia bertemu dengan Raline Shah (Fatma), seorang Turki yang menetap di Austria. Dari pertemuan ini, perjalanan dimulai. Dimulai dari Vienna, Austria. Lalu perjalanan dilanjutkan ke Paris, Ibukota Perancis yang sangat terkenal dengan menara eiffelnya itu.

Bukan karena mupeng ingin menjamah tempat-tempat wisatanya yang membuat saya menyeka air mata berkali-kali. Tapi, isi perjalannya. Sejarah islam, jejak-jejak peradabannya, bagaimana seharusnya seorang muslim berlaku?

Film ini membuat saya jatuh cinta kembali pada agama yang selama ini saya anut. Islam. Melalui seorang Fatma, kelembutan islam digambarkan. Betapa dia tetap baik kepada orang yang menjahatinya, seperti yang diajarkan Kanjeng Nabi. Sulitnya menjadi muslim di eropa tidak membuatnya goyah untuk tetap menjadi agen muslim di sana. Dia ingin menebus perbuatan moyangnya, Kara Mustofa Pasha yang gagal meluluhkan Eropa dengan perang dan kekerasan. Kini ini ia mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan senyum dan kelembutan.

Sebenarnya, dari segi konflik, film ini biasa saja –kalau di novel aslinya saya tidak tahu, belum pernah baca–. Tapi disampaikan dengan gambar yang enak dilihat. Jadi yang nonton pun merasa nyaman. serasa ikut jalan-jalan di eropa. Dialognya saya suka. Ringan banget, tapi tetap berisi. Gampang dicerna sama otak.

Yang menjadi pertanyaan saya untuk film-film Indonesia yang berlatar di luar negeri adalah, kenapa orang turki itu pandai berbahasa Indonesia? dulu di Ayat-ayat Cinta juga kan? Aisyah yang dari Turki itu lancar berbahasa Indonesia. Sekarang Fatma dan anaknya juga. Iya, sih. Ini untuk memudahkan penyampaikan pesan saja. Tapi kalau bisa pakai bahasa aslinya kan lebih bagus. Bisa sekalian buat media belajar.

Yang saya tunggu selanjutnya adalah perjalanan ke Spanyol dan Turki. Sepertinya lebih seru. Dan untuk itu saya harus sabar menunggu sampai part selanjutnya ke luar. 
 
Well, goodjob for Mas Guntur Soeharjanto and team. Filmnya bagus dan pesannya ngena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar