Senin, 10 Oktober 2016

Luna

Hujan turun seharian. Luna hanya menghabiskan seluruh waktunya di kamar. Memainkan ponsel. Atau sesekali mengelus Ploi—kucing kesayangannya. Kepalanya masih terasa pening, sisa menangis semalaman. Iya, semalam dia bertengkar dengan Barata—seseorang yang hampir dua tahun ini menjadi kekasihnya. Dan seperti biasa, setiap kali bertengkar Luna akan berurai air mata. Ada perasaan sakit yang teramat di hatinya.

Sembari memainkan game, berulang kali Luna membuka aplikasi whatsapp-nya. Berharap, sangat berharap ada pesan masuk dari Barata. Sebuah permintaan maaf atau sekedar menanyakan kabar. Tapi, nihil. Sepertinya kali ini Barata benar-benar marah. Muak mungkin. Sama seperti Luna semalam. Semalam Luna benar-benar emosi. Dia mengeluarkan semua yang dia pendam selama ini. Tentang sikap Barata yang lama-lama membuatnya tidak nyaman.

Sebenarnya bukan sekali ini saja Luna mengkomplain sikap Barata yang seringkali meyentuh rasa sakitnya. Sudah puluhan kali dia memberi warning kepada Barata atas ketidaknyamanannya. Tapi, Barata cuek. Tak mengacuhkannya. Dan kali ini Luna berada di puncak kejengkelan. Hanya karena Luna menghadiri acara ulalng tahun salah seorang sahabatnya, Barata marah. Bahkan sampai mendiamkannya. Padahal sebelumnya dia sudah meminta ijin, dan Barata mengijinkan.
“Kalo dengan menjadi monster bisa membuatmu merasa keren, up to you. Tapi, manusia lain tidak akan selamanya nyaman berada di dekat monster. Karena monster itu hanya ditakuti, bukan di-respect-i , apalagi dicintai.”
Begitu lah pesan terakhir Luna yang tak dibalas oleh Barata. Keterlaluan memang. Luna pun merasa kali ini dirinya sangat kasar. Tapi, di saat bersamaan, dia merasa bahwa Barata memang harus ditampar sekeras-kerasnya, supaya dia sadar kalau berkarakter seorang antagonis bukan lah yang patut dibanggakan. Kalau keegoisan dan kegengsiannya tidak akan membawa kebaikan apa-apa, kecuali kebencian dari orang lain. 

Barata sebenarnya kekasih yang baik dan sangat mencintai Luna. Saking cintanya, dia sampai tidak rela kalau Luna menghabiskan waktu bersama orang lain, selain dirinya. Tapi, rasa cintanya kebablasan. Barata bahkan tidak suka melihat Luna menghabiskan waktu dengan keluarga atau sahabat-sahabatnya. Dan di bagian ini Luna sama sekali tak nyaman. Bagaimana pun juga Luna punya keluarga dan sahabat yang sebelum ada Barata, mereka sudah ada lebih dulu. Luna sudah berangsur menarik diri dari beberapa temannya. Itu belum cukup bagi Barata. Ini lah yang membuat Luna benar-benar kesal.

Ploi mengeong. Membuat Luna tersadar dari lamunannya. Kembali dia mengecek ponsel. Masih berharap ada pesan masuk dari Barata. Dan lagi-lagi nihil. Berlahan air matanya turun lagi. deras. Sederas hujan yang menetes dari langit siang ini.

Kamis, 29 September 2016

Sweet Pang World


Ada yang tau game Sweet Pang World? Kalo ada yang tau, yuk mari salaman sama saya. Beberapa bulan terakhir saya keranjingan sekali dolanan permainan ini. Pagi, sore, siang, malam. Saya tidak pernah melewatkan hari tanpa permainan ini.

Sebenarnya ini bukan permainan yang mewah. Permainannya sangat sederhana. Hanya disuruh untuk mengumpulkan poin. Tentu dengan rintangan yang berbeda-beda di setiap level. Saya sempat frustrasi di level 132. Puluhan kali memainkan, selalu saja failed. Lalu sempat desperate lagi di level 162. Sampai geram. Ngambek. Ogah mainin lagi. Lha hingga mencapia angka 100 kali lebih memainkannya, gak juga lolos ke level selanjutnya. 

Sampai akhirnya di permainan ke 100 sekian kali, saya bisa naik level juga. Dan rasanya.... wahhh sekali. Seneng byangetttt. Udah kayak tetiba dapat voucher belanja ratusan ribu dari online shop langganan. Dan pada saat bersamaan dapat SMS dari patjar, mau diajak kentjan di tempat favorit. Kan.... bahagia sekali pasti.

Usai menyelesaikan level 162, saya tidak langsung melanjutkan ke level 163. Saya berhenti dulu sejenak. Rebahan di kasur. Menikmati salah satu saat membahagiakan dalam hidup ini. Hallah... 

Well, mungkin ada benarnya yang bilang, bahagia itu sederhana. Sesederhana bisa melewati level 162 Sweet Pang World ini. Etapi, buat bisa main Sweet Pang World ini harus punya android dulu lho. Dan tau sendiri lah harga android sekarang ini. Pun harus punya kuota buat download. Kecuali, kalo situ pake layanan wifi di kantor, kayak saya ini. Eh... 

Gak jadi sederhana dong? Modalnya banyak gitu? Ah.. embuh lah.. yang penting saat itu saya bahagia.

Sembari rebahan, saya kepikiran; bisa melewati level sulit dalam sebuah permainan saja bisa sebahagia ini. Gimana kalo bisa melewati saat-saat tersulit dalam hidup? Pasti bahagianya berlipat ganda. 

BTW, sekarang saya sudah berada di level 176 Sweet Pang World. Dan menurut saya tingkat kesulitannya belum ada yang mengalahkan level 162. Mainnya pun jadi lebih santai. Bisa lebih menikmati.

Selasa, 19 Juli 2016

Hanya Perkara Dandan, Bukan Iklan

Sudah sejak beberapa bulan lalu sih, ada yang tanya, sekarang pake bedak apa? Eh, kemarin abis libur puanjang ada yang tanya lagi. Te, dirimu pake lipstik apa? Mbak, njenengan pake bedak apa? Beberapa orang bilang, make up saya setiap pagi keliatan bagus. Ada juga yang bilang lipstiknya keliatan nyenengin.

Nah, kali ini saya mau nulis-nulis rahasianya nih. Gak ada maksud promosi ato gimana. Biar yang penasaran pada tau aja sih. Kali mereka juga cocok pake merk yang saya pake. 

Saya berlangganan Wardah sejak beberapa tahun terakhir. Kalo gak salah sejak tahun 2013. Awalnya cuma pake krim pagi dan foundation-nya doang. Maklum, waktu itu saya masih buta soal make up. Taunya cuma itu doang. Hihi...

Makin ke sini, makin ngerti lah. Meski saya gak jago-jago banget dalam ber-make up. Lalu, enam bulan belakangan mulailah saya rutin pake krim malam. Mulai pake pelembab. Pake pelembab ini cuma habis sekemasan doang. Abisnya agak ribet sih. Udah pake krim pagi, pake pelembab, pake foundation, baru dipakein bedak. Kan... lama. Akhirnya pelembab saya tiadakan. Saya pindah ke BB cream aja untuk menghemat waktu dandan. Dan ternyata hasilnya lebih bagus dan natural. Pake BB cream, habis itu tinggal dipoles bedak padat dikit. Udah deh. 

Soal lipstik.... Ini hal paling entah lah. Entah kenapa dan entah sejak kapan saya seneng gonta ganti warna lipstik. Awalnya lipstik yang saya tahu cuma satu. Warna cokelat. Itu pun gegara teman saya pake, terus saya pengen. Akhirnya beli. Selama bertahun-tahun, cuma punya lipstik sewarna itu doang. Setiap hari pakenya cuma itu. Ke acara apa pun juga pakenya itu. Dan entah bagaimana ceritanya sekarang saya punya 8 warna lipstik di rak make up. Soal lipstik ini, saya pernah beli beberapa merk lain, tapi balik-baliknya ya ke wardah lagi yang paling cocok di bibir saya. 

BTW, ini cuma sharing-sharing ya... Sekali lagi yang cocok di saya, belum tentu cocok di anda-anda. Be wise, Dears :)

Diapit dua emak-emak yang abis dandan di salon.

Rabu, 20 April 2016

H B D

 
12 April 30 tahun lalu, seorang bocah perempuan terlahir. Di sebuah kamar kecil. Dia terlahir tanpa dibantu bidan, apalagi dokter. Hanya ada seorang dukun bayi yang datang terlambat. Begitu kira-kira cerita dari Ibu.

Lalu, oleh Bapak, anak itu diberi nama Yuyun Nasekha. Ya.. bocah perempuan itu adalah saya. FYI, gara-gara nama ini saya pernah dikira orang Ambon sama guru SMK lho. Beliau bilang nama belakang saya unik. Setuju deh… sama guru Bahasa Indonesia saya yang super killer ini. Beberapa teman di pabrik dulu juga, lebih suka memanggil saya dengan Nasekha ketimbang Yuyun.

Saya kecil yang tumbuh di kampung, pun dengan kondisi fisik yang bisa dibilang sering penyakitan ini pada suatu ketika pernah bercita-cita menjadi seorang psikolog. Cita-cita yang saat itu saya tahu betul berada di luar jangkauan. Kenapa? Karena saya berasal dari keluarga yang tidak cukup mampu untuk membiayai sekolah hingga jenjang kuliah. Bisa lulus SMK dengan mulus saja sudah merupakan prestasi bagi keluarga. Orang tua saya kedua-keduanya buruh dengan penghasilan yang tidak seberapa waktu itu. Dan harus menanggung biaya pendidikan tiga orang anak. Om saya, saya, dan adik yang masih SD. Dan waktu itu belum ada BOS kayak sekarang. Jadi, bersyukur lah anak-anak sekarang yang biaya sekolahnya ditanggung negara.

Waktu berlalu. Dan cita-cita itu hanya menjadi sebuah cita-cita hingga kini.

Setelah lulus dari SMK, saya memutuskan untuk langsung bekerja. Saya diterima sebagai karyawan produksi di sebuah pabrik garment yang tidak jauh dari rumah. Ehm.. kampung saya memang dekat dengan kawasan industri. Perempuan-perempuan di sini—saya jamin—tidak akan sulit untuk menemukan pekerjaan. Tapi, kesulitan bisa ditemukan setelah mendapat pekerjaan. Itu lah kenapa saya hanya mampu bertahan selama 1,5 tahun di pabrik tempat saya bekerja. Ternyata saya baru tahu, saya tipe orang yang tidak tahan terhadap tekanan. Dan pabrik garment adalah tempat dengan tekanan kerja yang luar biasa.

Lalu, untuk sementara waktu saya menjadi seorang pengangguran. Seorang pengangguran dengan beberapa ratus ribu rupiah yang harus ditanggung. Sempat stress? Iya! Dan untungya saat itu belum musih galau seperti sekarang, jadi stress saya tidak berkelanjutan.

Di masa-masa pengangguran itu lah saya berkontemplasi. Merenung sebanyak-banyaknya, karena memang tidak ada hal yang lain yang bisa saya lakukan selain merenung. Di ujung perenungan, saya mulai menyusun rencana hidup yang kira-kira seperti ini;

Bekerja di pabrik selambat-lambatnya 3 tahun terhitung mulai waktu dibuatnya rencana hidup itu—setidaknya hingga kredit motor saya lunas. Selanjutnya, mencari pekerjaan kantoran yang jam kerjanya tidak begitu menyita waktu—tentunya tidak terlalu banyak tekanan. Kebetulan waktu itu di dekat rumah saya sedang dibangun sebuah SMK, jadi lah saya memasukkan lamaran ke situ. “Bismillah, semoga diterima,” begitu doa saya ketika memasukkan lamaran. Alasan lain kenapa memilih kerja kantoran dengan jam kerja bisa diajak kompromi adalah karena suatu saat nanti saya akan berkeluarga. Saya ingin lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang di tempat kerja. Klise sih, tapi memang begitu adanya. Setelah urusan pekerjaan beres, saya ingin menikah. Dengan siapa? Belum tahu!

Setelah 1 bulan menganggur, akhirnya saya mendapat panggilan kerja di sebuah pabrik—masih dekat rumah. Lagi-lagi saya ditempatkan di bagian produksi. Karena sebaik-baiknya tempat untuk orang berijazah SMA sederajat memang bagian produksi. Tidak ada yang berubah dalam hidup saya. Rutinitas harian saya adalah masuk kerja jam 7 pagi, pulang jam 6 petang atau 11 malam. Jika sedang beruntung, saya bisa pulang jam 3 sore. Itu pun sangat jarang. Selama hampir 3 tahun, saya menjalani hari-hari seperti itu. Yang paling menyebalkan adalah ketika hari libur dan diwajibkan untuk lembur. Kan enak banyak uang? Enak sih, gajiannya besar, tapi menyedihkan. Saya sama sekali gak tahu ke mana larinya uang-uang itu. Selama bekerja di pabrik sekian tahun, saya sama sekali tidak bisa menyisakan uang untuk menabung.

Akhirnya saat yang saya tunggu-tunggu datang juga. Saya mendapat panggilan kerja di SMK—yang saat masih satu gedung dengan SMP. Ini dekat rumah banget. Hanya berjarak 200 meter dari tempat saya tinggal. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengundurkan diri dari pabrik. Persetan dengan sisa waktu kontrak. Yang penting saya bisa keluar.

Beberapa bulan kemudian, gedung SMK rampung dibuat. Saya ditawari oleh atasan, mau ikut ke SMK atau tetap di SMP? Kalau saya ya ambil enaknya saja. Saya pilih yang terdekat dengan rumah. Setidaknya bisa meniadakan biaya transportasi. Secara, gaji seorang honorer kan jauh dari kata tinggi. Alhamdulillah buat saya cukup-cukup saja. Termasuk bisa membantu biaya kuliah.

Begitu lah ceritanya, kenapa saya bisa sampai berada di sini sekarang. Bisa bekerja kantoran dengan jam kerja yang tidak terlalu banyak seperti sekarang. Bisa bekerja tanpa adanya tekanan. Bahkan bisa kuliah dan mendapat ijazah D3. Bonusnya adalah bisa sering jalan-jalan dan nambah pengalaman.

Dan saat saya menulis postigan ini, saya mulai berpikir, kenapa tidak memasukkan cita-cita saya dulu ke rencana hidup? Kenapa saya tanggung banget menyusun keinginan dalam hidup? Sementara Tuhan begitu Maha Kaya. Coba kalau saya memasukkan psikolog dalam rencana hidup waktu itu, bisa jadi Tuhan akan mewujudkan. Njuk jadi serakah gini haaa...

Happy birthday to me. Wish me better in every way.

Selasa, 12 April 2016

Kata untuk Cinta



Pernah aku bertanya, kenapa harus kita? 
Sementara ada milyaran manusia di luar sana
Kenapa kamu yang menemukanku? Dan kenapa aku bahagia ditemukan olehmu?
Padahal, kita tak saling kenal dulu
Hanya ada sekilas kenangan saat kita masih sama-sama cupu

Di keheningan malam,
Saat pualam-pualam mulai kedinginan oleh embun
Aku terjaga, bersila menghadap ke Yang Maha Segala
Lalu, kurapalkan doa-doa untuk kita

Di antara derai-derai air mata
Kusematkan namamu, kusandingkan dengan namaku
Tidak. Aku tidak meminta-Nya untuk menyatukan kita
Aku hanya memohon agar kita senantiasa bahagia
Saat kita bersama,
Pun kelak saat kita hanya mampu melepas rindu melalui alunan doa

Aku dan kamu,
Jika tidak dimaksudkan untuk bersatu
Semoga ditautkan untuk saling membantu
Saling mengisi ruang hati yang masih sepi
Saling memberi cahaya pada temaramnya jiwa

Terima kasih,
Masih berada di sini hingga detik ini
Masih rela menjaga jiwa yang terkadang manja, terkadang keras hati 

Masih mau mendengar tawa dan tangis penuh emosi

Terima kasih untuk cinta yang luar biasa




Di Keheningan, 12042016

Senin, 11 April 2016

Drama Korea, Kenapa?


Saya lupa pastinya sejak kapan mulai keranjingan nonton drama korea. Sejak enam atau tujuh tahun yang lalu mungkin. Dan selama itu, tentu sudah puluhan judul drama korea yang saya tonton. Mulai dari jaman Goong ( Princess Hour) hingga yang paling baru dan lagi hits-hitsnya, Descendants of The sun.

Kenapa saya suka drama korea? Banyak faktor sih. Dan.. hey, kamu yang suka bilang drama korea itu menye-menye dan bikin baper, coba deh sekali-kali nonton. Ntar kuajak ke Daegu kalo gak ketagihan. Tapi, kalo ketagihan, gantian traktir saya ke Daegu, ya... Uhuk!


IMHO, Drama korea itu:
  1. Ceritanya gak ngebosenin. Gak gitu-gitu aja. Meski lokasi shooting-nya ya di situ-situ saja. Cerita di drama korea itu variatif. Gak melulu soal perebutan warisan atau dialog dalam hati hingga bola matanya mau loncat.
  2. Pemainnya sawang-able. Banget. Gak bisa dipungkiri kalo artis-artis di Korea sono memang cantik-cantik dan ganteng-ganteng—terlepas dari mereka oplas ato gak lho ya.. Toh modal utama mereka untuk jadi artis gak cuma fisik yang oke dan wajah yang moncer. Lebih dari itu, mereka harus wajib kudu punya skill yang kualitasnya di atas rata-rata. 
  3. Bisa jadi media belajar. Saya tahu banyak tentang gambaran berbagai profesi ya dari hasil nonton drama korea. Secara, mereka kalo memproduksi sebuah drama kan harus total banget. Jadi kalo menceritakan tentang profesi tertentu, ya pasti total. Diperhatikan hingga ke detail-detailnya. Saya tahu gambaran tentang seorang agen rahasia, ya hasil nonton Irish. Tahu gambaran tentang dokter, ya hasil nonton Good Doctor. Tahu gambaran tentang produksi sebuah acara, ya hasil nonton The Producers. Dan masih banyak profesi lainnya. Yang paling unik sih si penangkap hantu di Master Sun.
  4. Episodenya gak aji mumpung. Jumlah episode drama korea itu dikit-dikit. Gak sampai ratusan. Rata-rata hanya berkisar antara 16 hingga 20 episode. Iya sih, ada yang sampai 60 episode, tapi itu bukan karena aji mumpung rating bagus. Tapi, memang karena ceritanya harus sepanjang itu. Seandainya ada cerita yang dipotong, pasti akan menimbulkan story missing.
  5. Total. Entah pemain atau krunya, mereka semua bekerja dengan total. Para pemain di drama korea gak takut jelek. Lihat aja, kebanyakan artis korea gak takut untuk mengubah penampilan. Disesuaikan dengan karakter yang mereka lakoni di drama. Pun dengan para krunya, mereka bekerja keras menciptakan cerita dan setting yang mampu memanjakan mata para penonton seperti saya ini. Pun bisa membawa imajinasi saya untuk ikut mengalir di drama yang saya tonton.
  6. Gak siang shooting, malam tayang. Ini lah kenapa drama di sana gambarnya bagus-bagus, sudah sekelas film. Selain peralatan yang memadai, mereka juga punya jeda untuk melakukan proses editing. Gak asal. Lha kalo sinetron striping di sini, siang pengambilan gambar, eh, malamnya udah tayang aja. BTW, kapan editnya?
  7. Gak hanya menjual cerita roman picisan. Mereka juga menjual budaya. Di Korea sana, adat dan budaya mereka masih dijunjung tinggi, dan itu dikasih liat ke dunia salah satunya melalui drama.
  8. OST-nya bagus-bagus. Enak di telinga. Beberapa lagu korea di playlist saya adalah OST drama-drama. 
  9. Menyusul ya.. sementara itu dulu. Udah capek nulisnya. Udah gak ada yang mau ditulis juga. Haaaa.....

Senin, 15 Februari 2016

Cokelatnya 14 Februari

It’s not about valentine’s day. It’s all about how to show your feeling.

14 Februari tahun lalu, tiba-tiba seseorang berada di depan gerbang kantor saya. Dia menelepon, lalu meminta saya keluar sebentar saja. Menuruti permintaannya, dengan masih bersandal jepit saya berlari kecil menujunya. Begitu bertemu, dia mengulurkan senyumnya yang dimanis-maniskan. Setelahnya, dia mengulurkan sebuah bingkisan kecil.

Seraya mengocok bingkisan, saya bertanya, “Apa ini?”

Dia menjawab dengan sedikit gugup, “Bukan apa-apa. Cepat sana masuk lagi,” Begitu bingkisan itu berada di tangan saya, dia menyuruh saya masuk. Dia menstater motornya, kemudian berlalu pergi.

Begitu berada di meja kerja, saya membuka bingkisan itu. Saya terkejut begitu menemukan sekotak cokelat dalam bingkisan. What? Ini apa? Ketika saya menulis tanggal di agenda surat masuk, saya baru sadar kalau hari itu adalah tanggal 14 Februari. Tanggal yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang oleh sebagian kalangan.

***

Yap. Buat sebagian orang, tanggal 14 Februari memang hari yang spesial. Terutama untuk para anak manusia yang sedang dilanda asmara. Buat sebagian orang lagi, ya, hari yang biasa saja. Gak ada bedanya dengan tanggal 14 di bulan-bulan lain. Saya termasuk yang biasa saja. Secara, dari jaman lahir hingga segede ini, sama sekali tidak pernah merayakan hari kasih sayang.

Pun saat itu, saya tidak beranggapan itu sebagai perayaan hari kasih sayang. Dalam pandangan saya, sekotak cokelat itu adalah caranya untuk menunjukkan perasaan. Kebetulan saja ngasihnya tepat di tanggal 14 Februari. Padahal, kalau dia mau ngasih di tanggal-tanggal lain, saya juga gak nolak kok. Cokelat kan enak hehe… 
 
Dan ini, kemarin dikasih sama mbak kasir pas belanja baju.
Jadi, harusnya yang kemarin ngarep dapat cokelat, tapi nggak dapat, belanja lah di toko itu. pasti dikasih sama mbak kasirnya. Alamat tokonya inbox ya :V

Rabu, 10 Februari 2016

Cerita Senja


Senja itu, saya dalam perjalanan pulang dari kondangan. Bersama seorang teman, sepanjang perjalanan, kami mengobrol tentang hal penting nggak penting. Maklum, kami sudah lumayan lama tidak bertatap muka. Di tengah obrolan gaje kami, teman saya itu bertanya, “Menurut kamu, orang yang menikah dengan kita itu beneran jodoh kita apa nggak?”

Saya melongo, hanya sepersekian detik. Lalu dengan tegas menjawab, “enggak!”

Kemudian dia bertanya lagi, “Terus jodoh kita siapa dong, kalau bukan pasangan kita?”

Saya mengangkat bahu, tanda tidak tahu. “Entah lah,” hanya itu yang mampu saya katakan detik itu.

Dia kelihatan mengangguk, berusaha memahami pendapat saya yang masih berantakan. Ya, dia memang salah satu orang yang paham akan ke-gaje-an saya. Beberapa menit kami saling terdiam. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing sepertinya.

“Beruntung lah mereka yang menikah karena keingingan, bukan keharusan,” Di antara angin senja, tetiba saja keluar kalimat itu dari mulut saya. Saya menghela napas panjang, mendadak merasa puitis sendiri.

Teman saya sedikit kaget agaknya. Dia menoleh sebentar. “Maksudnya?” lalu kembali fokus melihat jalan yang masih becek sisa hujan.

“Ya, yuno lah. Di dunia ini ada banyak pernikahan yang terjadi karena sebuah keharusan. Bukan keinginan,” Saya menjentikkan jari tengah dan telunjuk bersamaan, tidak peduli kalau pun tidak ada yang melihat. Contoh, sepasang muda mudi berpacaran. Mereka tidur bareng, lalu hamil. Mau nggak mau, mereka harus menikah, kan? Menurutku, itu namanya keharusan,” Saya mengambil napas. “Kalau karena keinginan, ya... kayak... saya ingin bersamanya, cause I wanna be with him, no matter what,” lanjut saya.

“Owh..,” teman saya itu mengangguk lagi. Kali ini benar-benar memahami maksud saya.

“Kalau saya. Ketika nanti saya menikah, saya pengen menikah dengan seseorang karena kami saling menginginkan. Karena kami sama-sama ingin bersama. Karena kami ingin berbagi suka duka kehidupan bersama. Karena kami ingin membangun keluarga bersama. Karena kami ingin saling menjaga hingga usia senja,” Di balik kaca helm, mata saya mengerling ke arah langit. Berharap ada banyak malaikat yang mengamini kata-kata saya barusan.

“Tapi di dunia ini kan tidak ada yang sempurna,” Teman saya berseloroh. Kedua matanya masih fokus melihat jalan. Kali ini kami melewati jalan berkelok yang lumayan tinggi.

Di belakang punggungnya, saya mengulas seutas senyum. “Saya sadar, saya bukan makhluk sempurna. Jadi, saya pun tidak berani mengharapkan seseorang yang sempurna. Pasti akan sangat berat jika orang yang tidak sempurna seperti saya bersanding dengan orang yang sempurna.” 

Langit kian gelap. Obrolan kami berlanjut ke sana ke mari. Dia mulai menceritakan tentang beberapa hal pribadinya. Tentang segelintir nama orang yang pernah dekat dengannya. Tentang rencana pernikahannya. Tentang orang tuanya. Tentang pekerjaannya. Dan masih banyak lagi. 

Saya, saya selalu senang ketika ada orang yang masih mau berbagi hal pribadinya pada saya. Itu berarti, mereka masih menganggap saya adalah orang yang bisa dipercaya. Dan semoga akan selalu ada teman seperti dia di dekat saya.

Senin, 25 Januari 2016

Dear, My Future husband

Dear, my future husband...


Semoga kelak, kamu menjadi satu-satunya orang yang mampu melihatku dengan sempurna di saat yang lain tidak. Pun sebaliknya.


Sincerely, 
Your future wife