Jumat, 04 Oktober 2013

Resume - Tuhan pun Berpuasa [Puasa dan Kesenangan]


Coba kamu tatap dirimu di cermin. Sejenak saja. Tataplah wajah, badan, pakaian, dan seluruh penampilanmu. Setidaknya, kamu bisa menyadari satu hal saja: bahwa potongan rambutmu, jenis dan warna pakaianmu, juga seluruh benda yang menempel di badanmu –semuanya– adalah sesuatu yang kamu pilih sebagai kesenanganmu. Lalu, jika sempat, pandanganlah ke setiap sisi ruang di rumahmu. Perhatikan perabot-perabot, benda-benda, barang dan hiasan yang memperindah rumahmu. Ingatlah sebentar, di mana dan kapan kamu membeli atau memperolehnya? Lantas, kembalilah pada kesadaran yang tadi, bahwa semua benda yang kamu pilih itu berdasarkan kesenanganmu.

Jika sempat lagi, hitunglah berapa besar peran kesenangan dalam kehidupanmu. Berapa persentase ketidaksenangan? Kemudian, coba renungkan bagaimana sikap batin, pikiran dan jiwamu terhadap kesenangan dan ketidaksenangan itu?

Renungan tersebut bisa mengantarmu pada kenyataan tentang seberapa jauh kamu terikat pada kesenangan pribadimu serta seberapa jauh kamu cenderung menolak ketidaksenangan hatimu.

Kamu membeli pakaian dan perabotan tadi karena menyenanginya. Dan kamu tidak tidak memilih atau membeli ini itu karena kamu tidak menyenanginya. Apakah kamu menjadi guru, olahragawan, penulis, pengusaha karena kamu menyenanginya? Apakah kamu kuliah di fakultas kedokteran karena kamu menyenanginya? Apakah kamu melakukan shalat dan puasa karena kamu menyenanginya? Dan apakah kamu meninggalkan dunia ini karena kamu menyenanginya?

Apakah Kanjeng Nabi Muhammad SAW menjadi utusan Allah karena beliau menyenangi perannya? Apakah beliau berangkat ke medan perang karena menyukai perang? Apakah beliau berdakwah dan dilempari batu di Thaif karena beliau menyenangi dakwah dan suka dilempari batu? Apakah beliau menikahi janda yang tidak cantik jelita karena menyenanginya?

Aku hanya ingin menuturkan padamu sebuah hakikat nilai, yang kumohon kamu mencari dan kudoakan kamu bisa menemukannya dengan menjawab pertanyaan dasar ini: apakah kamu hidup dan melaksanakannya berdasarkan senang dan tidak senang, atau adakah nilai lain yang lebih mendasar?

Jika kamu menggerakkan tangan dan melangkahkan kaki hanya karena dorongan senang dan tidak senang, maka kamu adalah bayi.

Bayi itu menangis, tertawa, bermain, makan, semata karena didorong oleh kesenangannya. Dan untuk melakukan kesenangan, kamu tidak memerlukan kualitas dan mutu kepribadian apa pun. Kecuali, ketika kesenangan itu memerlukan teknologi, ilmu, dan bakat, maka kamu dipersyarati oleh 3 hal itu untuk menuruti kesenanganmu. Akan tetapi, dengan itu, mentalmu tak perlu bekerja. Cukup selera, pengetahuan, dan keterampilan. Namun, dengan itu, kamu tidak akan pernah siap untuk menjadi manusia pejuang. Sebab, perjuangan sering mengharuskanmu untuk melakukan hal yang tidak kamu senangi.

Apakah kamu menjadi buruh pabrik karena kamu senang? Pada dasarnya, tidak. Kamu terpaksa menjadi buruh pabrik karena kamu perlu memperjuangkan hidupmu. Apakah kamu menjadi sales, pegawai kecil, sopir, dan lain sebagainya karena memang kamu senang? Pada dasarnya, tidak. Kamu senangnya menjadi menteri, direktur, konglomerat, gubenur, atau minimal menjadi camat. Tapi tidak bisa, sehingga kamu memerlukan perjuangan untuk menjadi apa yang kini kamu menjadi.

***

Puasa adalah metode dan disiplin agar kamu melatih diri untuk melakukan apa yang pada dasarnya tidak kamu senangi serta tidak melakukan apa yang pada dasarnya kamu senangi. Cobalah ulangi, pandang dirimu di cermin dan tataplah segala sesuatu di rumahmu: betapa kebanyakan dari kenyataan hidupmu itu “bersifat hari raya”, yaitu memenuhi kesenangan.

Puasa itu melatihmu untuk bermental pejuang. Pada dasarnya kamu tidak senang lapar. Secara alamiah, sebenarnya kamu menyenangi kenyang, makan, dan minum. Tapi, kamu tidak diperkenankan menikmatinya dari subuh hingga magrib.

Karena apa? Pertama, karena dalam hidup ini ada yang lebih sejati sebagai nilai dibanding senang dan tidak senang. Yaitu, baik dan harus atau wajib. Kamu melakukan sesuatu tidak terutama karena kamu senang, tapi karena hal itu baik, sehingga wajib untuk dilakukan. Jadi, kedewasaaan dan kematangan kepribadian dalam Islam adalah kesanggupan untuk menjalani hidup tidak terutama berdasarkan senang atau tidak senang, tetapi berdasarkan baik atau tidak baik, wajib atau tidak wajib.

Kedua, karena kamu adalah khalifatullah, maka yang dibutuhkan darimu adalah daya juang untuk sesama manusia. Apakah kamu senang membagi-bagikan uang hasil kerjamu? Apakah kamu senang menolong orang lain yang menderita dan memerlukan pengorbananmu? Apakah kamu senang membela orang-orang yang tertindas?

Kalau kesiapanmu hanyalah menuruti kesenangan, maka kewajiban-kewajiban sosial semacam itu akan minim untuk bisa kamu lakukan, sehingga di mata Allah derajatmu tidak tinggi. Sebab, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Maka, itulah manfaat puasa. Melatihmu untuk menjadi manusia yang mampu menakhlukkan kesenangannya. Mampu minum jamu yang tidak enak. Mampu lapar dan haus. Mampu mengorbankan kesenangannya demi kewajiban dari Allah dan kebaikan bagi sesama. Syukur kalau mampu kamu memproses batinmu sedemikian rupa, sehingga kesenangan dan kewajiban atau kebaikan bisa menyatu.

Tulisan tersebut merupakan resume dari buku Tuhan pun Berpuasa Bab Puasa dan Kesenangan karya Emha Ainun Nadjib.

5 komentar:

  1. Tulisan cak nun yg di tuangkan ke buku utk membangunkan kesadaran manusia akan hakikat sebenarnya seorang manusia.

    BalasHapus
  2. Tulisan cak nun yg membangunkan kesadaran manusia akan hakikat sesungguhnya dari puasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Bukunya tebal. Agak pusing sih bacanya :V

      Hapus