Rabu, 16 Oktober 2013

Kenapa Harus Saya?

Dalam Angkot

Mentari terik. Panas sangat terasa di dalam angkutan ini. Angkutan izuzu trayek Salatiga – Ungaran ini penuh sesak dengan penumpang. Tak ada lagi bangku kosong di sana. Saya naik dari Karangjati menuju Ungaran. Duduk di samping seorang Ibu. Sudah tua. Usianya sekitar 60 tahunan sepertinya. Ibu itu menyambut saya dengan senyum ramah.

Untuk mengisi waktu, saya sengaja berbincang dengan Ibu tersebut. Kami berbincang selayaknya orang yang baru kenal dalam angkot. Angkot terus berjalan. Ungaran semakin dekat. Dan tiba-tiba ibu tersebut menggenggam tangan saya. Ibu itu bercerita panjang lebar tentang dompetnya yang hilang di dalam bus (baca: kecopetan). Bagaimana dia diturunkan oleh kernet bus karena tidak bisa membayar ongkos sampai ke Boyolali? Ibu tersebut sebenarnya mau ke Boyolali, menjenguk anak dan cucunya. Namun, diturunkan di Salatiga oleh kernet bus. Diturunkan di dekat pos polisi. Kemudian oleh polisi, dia disuruh pulang lagi ke Semarang. Namun, dititipkan kepada angkutan yang hanya sampai di ungaran. Dalam kebingungannya, Ibu itu menurut saja.

Selama Ibu itu bercerita saya hanya bisa menimpalinya dengan kata “oh.. iya.. terus?.. pripun?” dan sebangsanya. Ternyata, sepanjang jalan sambil bercerita, Ibu itu mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kalau sekarang dia tidak punya uang sepeserpun. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa sampai ke rumahnya yang berada di daerah Pasar Kambing, Semarang, jika dia tidak punya ongkos untuk pulang. Dan saya adalah satu-satunya orang yang berada di dekatnya. Yang dia harapkan bisa membantunya.

“Sebentar lagi Ibu ini turun. Kasian kalo gak punya ongkos. Nanti pulangnya gimana?” Pikiran saya terus berdiskusi. Masih antara ingin memberi atau tidak. Angel and demon are making a war in my mind.

Malaikat bilang, “Kasih, Yun! Kasihan. Coba kalo kamu yang ada di posisinya?”

Iya, ya benar juga. Coba kalau saya ada di posisi seperti ibu ini, pasti juga akan melakukan hal yang sama.

Iblis nyela, “Tunggu, Yun! Siapa tau dia itu cuma pura-pura aja. Masa iya jaman sekarang masih ada cerita kayak gini. Macam di sinetron aja.”

Iya juga ya. Kalau ibu itu bohong gimana?

Malaikat bilang lagi, “Yun, mau dia bohong atau enggak kan urusannya. Urusan kamu cuma menjalankan perintah Tuhan untuk saling membantu. Siapa tau lho, dia jelmaan malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengujimu?”

Setelah perdebatan sengit itu, akhirnya saya putuskan memberi uang secukupnya untuk ongkos pulang sampai ke rumahnya. Saya memberikannya beberapa menit sebelum ibu itu turun. Doa-doa meluncur begitu saja dari bibir ibu yang sudah beranjak renta itu. saya hanya bisa tersenyum seraya mengamini segala doanya.

Dalam perjalanan selanjutnya, setelah ibu itu turun, saya masih terus kepikiran. Bagaimana ibu itu nanti? Bisa sampai rumah atau tidak dengan ongkos yang pas-pasan tadi. Ah, kenapa saya tidak memberi uang lebih kepadanya tadi? Bahkan setelah saya sampai rumah pun, saya masih kepikiran.

Hari ini hidup mengajari saya satu pelajaran lagi. Kenapa di antara puluhan orang yang ada di angkot, ibu itu memilih saya untuk menolongnya? Karena saya berada di dekatnya. Mungkin. Tapi, tentu bukan itu jawaban yang saya harapkan. Saya berharap, jawabannya adalah, karena Tuhan yang menyuruh dia untuk memilih saya. Saya berharap dia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menguji saya. Dan saya berharap jika suatu saat, saya mengalami hal yang sama, Tuhan juga akan mengirimkan malaikatNya untuk menolong saya, meski dalam wujud yang lain.

***

Jalan Malioboro

Siang itu, saya berjalan sendirian di sepanjang trotoar jalan Mataram menuju Malioboro. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak menyapa. Wajahnya terlihat sangat lelah. Dia menenteng sebuah tas yang terlihat usang. Dari penampilannya, bisa ditebak kalau bapak ini sudah cukup lama berada di bawah terik matahari. Kulitnya hitam mengkilap. Pakainnya lusuh.

Awalnya dia tanya jalan. Tapi kemudian curhat. Kasusnya sama dengan yang di atas. Bapak itu kecopetan dalam perjalanan pulang menuju kampung halamannya di Wonogiri. Sementara itu, dia terpisah dengan teman-temannya. No handphone, no gadget. Lagian kalau pun ada  bapak itu tidak akan bisa memanfaatkannya.

Dari seisi curhatannya, saya bisa menarik kesimpulan bahwa bapak itu butuh uang untuk bisa sampai ke rumahnya. Kembali pikiran saya berdiskusi. Malaikat dan iblis mulai mendebatkan argumennya masing-masing. Kasih enggak? Kasih enggak? Kasih enggak?

Setelah sekian menit, akhirnya malaikat menang lagi. Saya mengeluarkan dompet, dan mengulurkan selembar uang untuk bapak itu.

“niki pak, mung sekedik. Mugi-mugi panjenengan kerso nampi.” Saya berbasa-basi dengan bahasa jawa yang belepotan.

Bapak itu tersenyum. Terlihat senang. Tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih dan doa. Saya mengantarnya sampai ke celter. Memastikan bapak itu tidak akan kesasar. Saya menyeberang ke malioboro, dan Bapak itu melambaikan tangan dari celter. Saya tersenyum. Merasa lega.

Di sini, saya kembali bertanya. Kenapa harus saya? Dari puluhan orang yang lewat, kenapa bapak itu memilih saya? Dan jawaban yang saya harapkan juga sama dengan yang tadi. Bahwa Tuhan sedang mengirimkan malaikatNya untuk menguji saya. Malaikat Tuhan sedang menjelma dalam wujud yang lain.

***

SPBU Surakarta

Dompet saya tertinggal di mushola salah satu SPBU di Surakarta. Saya menyadarinya setelah berada di Boyolali. Panik. Semua barang berharga ada di dompet itu. Saat itu yang saya harapkan cuma satu. Ada orang baik yang menemukannya dan kemudian mengembalikan dompet itu ke alamat yang tertera di KTP. Uangnya mau diambil silakan, tapi minimal dompet, KTP, ATM, dan buku tabungan saya kembali.

Dan keajaiban pun terjadi. Tuhan benar-benar mengirimkan malaikatNya. Dompet itu ditemukan oleh orang baik. Dan kembali pada saya dalam keadaan utuh. Uangnya tak berkurang sepeserpun.

Kejadian ini, mengingatkan saya dengan peristiwa-peristiwa di atas. Malaikat-malaikat Tuhan selalu menjelma dalam berbagai wujud. Kadang dikirmkan untuk menguji kita. Kadang untuk menguatkan. Kadang sebagai penolong.

Saya selalu percaya apa yang kita tanam, akan kita petik. Kalau menanam apel ya pasti berbuah apel. Tidak ada ceritanya kan, pohon apel berbuah mengkudu? Kalau menanam padi ya akan tumbuh padi. Meskipun ada ilalang di sekitarnya. Tapi jangan berharap kalau kamu menanam ilalang akan tumbuh padi.

Saat kita menolong orang lain, pada dasarnya kita sedang menolong diri sendiri. Pun saat kita menyakiti orang lain, tanpa sadar kita sedang bersiap untuk menyakiti diri sendiri. Dan Tuhan tidak pernah menutup mata untuk melihat itu semua.

Saat saya selesai menulis ini, saya menatap langit sejenak. Tersenyum kepadanya. BerharapTuhan juga tersenyum kepada saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar