Kamis, 29 Agustus 2013

Sahabat


 
“Bi, lu benci banget ya sama dia?”, tanya Audy suatu malam. Iya, malam itu. Minggu kedua bulan September, Ribi menginap di rumah Audy. Audy ulang tahun. Dia meminta Ribi untuk menjadi coordinator pesta perayaan ulang tahunnya. Sebagai sahabat dekat, tentu saja Ribi tidak bisa menolak. Ribi tinggal di rumah Audy sampai larut. Dan akhirnya menginap di rumahnya.

Hening sejenak. Di kamar berukuran 4 x 4 m itu, hanya ada mereka berdua. Ribi menundukkan wajah. Matanya memanas. Jari-jarinya sibuk memainkan HP touchscreen-nya. Seolah meraba jawaban yang tepat untuk pertanyaan Audy. Sementara itu, Audy masih asyik di depan cermin, membersihkan sisa-sisa make up-nya.

“Ribi…” Audy menoleh. Memastikan bahwa Ribi mendengar pertanyaannya.

“Ya gak lah. Lu kenal gue kan?” Jawaban datar dari seorang Ribi. Jari-jarinya masih sibuk ber-touchscreen.

“Tapi biii, sikap lu…”

“Kenapa dengan sikap gue? Ada yang salah?”, sela Ribi sebelum Audy menyelesaikan kalimatnya.

“Lu itu sekarang seperti antipati sama dia. Semua hal yang berhubungan dengan dia, lu hindari. Apapun tentang dia, lu close. Mau sampai kapan kayak gini terus? Gue kenal lu. Lu tu gak ada pantes-pantesnya benci sama orang”, cerocos Audy yang bagi Ribi seperti penghakiman.

“kalo lu jadi gue, lu bakal ngapain? Pura-pura gak ngerasain apa-apa, gitu?”, jawab Ribi dengan nada suara yang masih datar. Kali ini dia menghentikan aktivitas jari-jarinya dan menoleh pada Audy.

“Ya, kalo gue jadi lu. Gue bakal maki-maki dia lah. Keluarin semua uneg-uneg yang ada di hati. Abis itu, udah, slesai. End. Gak ada beban lagi kan?”. Ahhh, Audy ini seperti sedang berorasi saja. Berapi-api.

Ribi tersenyum. Hanya senyum kecil. Dia meletakkan HP-nya. Menatap Audy sebentar. Kemudian berbicara, mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. “Dy, itulah bedanya gue sama lu. Lu kan tahu itu dari dulu? Kalo gue maki-maki dia, apa bedanya gue sama dia? Dia nyakitin hati gue. Dan gue ganti nyakitin hatinya dengan makian? No dy. Lu tahu gue gak bisa kan maki-maki orang? Apalagi orang yang pernah ngasih kebahagiaan buat gue. Lagian, apa untungnya sih kalo gue ngeluarin semua uneg-uneg ke dia? Gak ada efeknya juga kan? Dia juga gak akan mengubah keputusannya.”

“tapi, tapi, tapi, seenggaknya perasaan lu itu plong. Gak galau-galauan lagi. Dan yang pasti lu akan bisa tersenyum dan tertawa lepas lagi.” Audy masih saja kekeuh dengan pendapatnya.

“Apa yang mau dan perlu gue omongin ke dia, sudah gue omongin. Dan buat gue itu cukup. Seenggaknya gue gak akan pernah menyesal. Gue sudah melakukan yang terbaik. Gue sudah mengatakan apa yang harus gue katakan”, sahut Ribi.

I know you lah, Bi…”. Akhirnya Audy menyerah. Dia tahu, dia tidak akan pernah menang berdebat dengan Ribi.

“Dy, lu tahu, apa do’a gue setiap hari?”, tanya Ribi setelah sekian detik keduanya larut dalam kesibukan pikiran masing-masing.

“Ya gak lah. Emang gue malaikat pencatat do’a lu apa? Emang apaan? Berdo’a supaya dia balik lagi sama lu?” Jawab Audi sekenanya, yang dapat bonus polesan dari Ribi.

“Aduh.. touchy banget sih lu”, protes Audy.

“Abisnya, lu gitu sih!”, jawab Ribi dengan ekspresi kesal.

“Iye, iye… Gue minta maaf. Jadi beneran do’a lu itu tadi?” Audy semakin menjadi-jadi menggoda Ribi. 

“Serius nih Dy”. Ribi menghela nafas panjang. Audy sudah pasang telinga, bersiap untuk mendengarkan cerita Ribi.

“Setiap hari, gue itu berdo’a supaya gue dijauhkan dari rasa benci dan dendam. Gue takut menyakiti diri sendiri dengan rasa-rasa semacam itu. Kalo gue menghindar dari dia, bukan berarti gue benci sama dia. Gue hanya menjaga perasaan sendiri. Siapa yang bisa menjaga hati gue, selain gue sendiri? Gue paham apa yang gue rasain. Selama logika dan hati gue masih belum klop, gue lebih baik ngalah. Ngalah untuk gak berhubungan sama dia. Ngalah untuk menjauh dari dia”. Ribi memalingkan wajah ke Audy dengan tersenyum.

Kali ini mata Audy yang berkaca-kaca. Audy mendekat dan memeluk sahabatnya erat. Audy kenal betul dengan sahabatnya ini. Dia tahu apa yang dirasakan Ribi. Meskipun Ribi terlihat keras dan kuat, itu hanya kulit luarnya. Hatinya rapuh. Nonton film india saja dia bisa nangis-nangis bombay.

Thank’s ya Dy!”

“Apaan? Gue kali yang makasih ke elu. Udah bantuin seharian gini”. Audy masih memeluk Ribi.

“Buat pelukannya. Nyesek nih..”, canda Ribi.

Buru-buru Audy melepas pelukannya “Sorry By. Saking sayangnya gue sama sahabat gue yang baik hati dan tidak sombong ini hehe..”. Audy nyengir.

Malam yang melegakan untuk Ribi. Malam itu dia bisa meluapkan apa yang ada di pikiran dan hatinya yang selama ini tidak bisa dia ceritakan kepada siapapun. Dan Audy, sahabatnya lah, yang selalu bisa menjadi pendengar yang baik untuk segala macam keluh kesah Ribi.

Quote : Sahabat, dia yang tetap tinggal di sampingmu bagaimanapun keadaanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar