Rabu, 18 September 2013

Ulang Tahun



Hari ini Ribi ulang tahun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ribi selalu merayakan hari lahirnya dengan acara syukuran di rumahnya. Bersama keluarga dan orang-orang terdekatnya. Kali ini, tidak ada kue tart atau blackforest seperti biasanya. Ribi hanya memesan nasi kuning berukuran sedang dari Lena, teman Ribi yang punya usaha catering. Dan beberapa cemilan yang Ribi pesan dari pedagang di pasar.

Ba’da magrib, keluarga dan kerabat sudah berkumpul. Mereka duduk lesehan. Ribi diapit kedua orang tuanya berada di ujung. Tidak ada lagu Panjang Umurnya atau Happy Birthday. Ayah Ribi mulai membaca do’a. Dan yang lain mengamini. Sejenak Ribi menutup mata. Menyatukan kedua telapak tangannya. Dan megangkatnya ke depan. Dekat jantung, di bawah dagu. Kepalanya menunduk. Dia melakukan semacam wishing sebelum memotong pucuk nasi kuning.

Ribi tampak bahagia berada di antara orang-orang yang menyayanginya. Tak ada seorangpun yang tahu bahwa saat itu hati Ribi menangis. Hanya Debora, yang tadi sempat melihat Ribi menyeka air mata saat berada di kamar. Bahkan Audy pun terkecoh dengan canda tawa dan omelan-omelan Ribi. Apalagi orang tuanya. Saat berada di rumah, Ribi tidak pernah memperlihatkan kesedihan. Ribi ingin, yang orang tuanya lihat hanya Ribi yang bahagia dan tidak kurang satu apapun.

Saat semua orang sibuk menikmati hidangan yang disediakan, Debora mendekati Ribi. Dia memeluk Ribi, seraya membisikkan kalimat di telinga Ribi. “Bi, Selamat ulang tahun ya. Semoga panjang umur, bahagia selalu. Sabar ya. Yakinlah semua pasti akan berlalu. Itu kan yang selalu lu bilang kalo gue lagi down?”.

Ribi terharu. Bibirnya tersenyum. Tapi matanya memanas. Air matanya sudah menumpuk di ujung. Siap terjatuh sekali saja tuannya memejamkan mata. “Thank’s ya Deb. Gue bahagia punya lu semua.” Jawab Ribi dengan suara yang begitu berat dan pelan.

Audy yang sedari tadi memperhatikan adegan drama mereka, mendekat dan ikut memeluk Ribi. “Happy birthday, dear. Semoga, apapun yang lu mau bisa lu raih. Bahagia selalu.” Kemudian mereka bertiga berpelukan. Pelukan hangat persahabatan.

Di ulang tahun kali ini, tidak banyak catatan di daftar permintaannya. Ribi merasa hidupnya sudah sangat diberkahi. Ribi punya orang tua, keluarga, pekerjaan, sahabat, teman, dan kehidupan yang sudah bisa membuat orang lain iri melihatnya. Hanya satu yang belum Ribi punya. Pasangan hidup. Dan setiap kali berhadapan dengan tema seperti ini, Ribi selalu menciut. Hatinya kelu. Itu mengingatkannya kembali dengan Kala. Seorang laki-laki yang pernah mengisi hari-harinya di masa lalu. Itu artinya, dia harus bergulat lagi dengan perasaannya yang masih terasa nyeri sampai hari ini. Semua usaha yang Ribi lakukan untuk mengusir Kala dari hatinya akan terlihat sia-sia. Dan Ribi benci dengan situasi seperti ini.

“Kala. Seandaninya hari ini kamu hadir di sini. Meminta maaf sekali saja. Mungkin aku akan melupakan semuanya. Sakit hatiku masih terlalu lemah untuk melawan rasa cintaku.” Jerit hati Ribi di tengah keramaian yang melingkupinya. Iya, Ribi hanya bisa berandai-andai. Ribi sadar, saat ini Kala sudah tidak mungkin bersamanya. Kala sudah bahagia dengan orang lain. Seperti Kala, Ribi juga ingin bisa berbahagia dengan orang lain. Tapi sayang, masih sulit bagi Ribi untuk berpindah ke hati yang lain. dari sekian laki-laki yang mendekati. Belum ada satupun yang mampu menaklukan hatinya.

Quote : Ini tidak semudah memindahkan panci dari satu kompor ke kompor lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar