Rabu, 20 April 2016

H B D

 
12 April 30 tahun lalu, seorang bocah perempuan terlahir. Di sebuah kamar kecil. Dia terlahir tanpa dibantu bidan, apalagi dokter. Hanya ada seorang dukun bayi yang datang terlambat. Begitu kira-kira cerita dari Ibu.

Lalu, oleh Bapak, anak itu diberi nama Yuyun Nasekha. Ya.. bocah perempuan itu adalah saya. FYI, gara-gara nama ini saya pernah dikira orang Ambon sama guru SMK lho. Beliau bilang nama belakang saya unik. Setuju deh… sama guru Bahasa Indonesia saya yang super killer ini. Beberapa teman di pabrik dulu juga, lebih suka memanggil saya dengan Nasekha ketimbang Yuyun.

Saya kecil yang tumbuh di kampung, pun dengan kondisi fisik yang bisa dibilang sering penyakitan ini pada suatu ketika pernah bercita-cita menjadi seorang psikolog. Cita-cita yang saat itu saya tahu betul berada di luar jangkauan. Kenapa? Karena saya berasal dari keluarga yang tidak cukup mampu untuk membiayai sekolah hingga jenjang kuliah. Bisa lulus SMK dengan mulus saja sudah merupakan prestasi bagi keluarga. Orang tua saya kedua-keduanya buruh dengan penghasilan yang tidak seberapa waktu itu. Dan harus menanggung biaya pendidikan tiga orang anak. Om saya, saya, dan adik yang masih SD. Dan waktu itu belum ada BOS kayak sekarang. Jadi, bersyukur lah anak-anak sekarang yang biaya sekolahnya ditanggung negara.

Waktu berlalu. Dan cita-cita itu hanya menjadi sebuah cita-cita hingga kini.

Setelah lulus dari SMK, saya memutuskan untuk langsung bekerja. Saya diterima sebagai karyawan produksi di sebuah pabrik garment yang tidak jauh dari rumah. Ehm.. kampung saya memang dekat dengan kawasan industri. Perempuan-perempuan di sini—saya jamin—tidak akan sulit untuk menemukan pekerjaan. Tapi, kesulitan bisa ditemukan setelah mendapat pekerjaan. Itu lah kenapa saya hanya mampu bertahan selama 1,5 tahun di pabrik tempat saya bekerja. Ternyata saya baru tahu, saya tipe orang yang tidak tahan terhadap tekanan. Dan pabrik garment adalah tempat dengan tekanan kerja yang luar biasa.

Lalu, untuk sementara waktu saya menjadi seorang pengangguran. Seorang pengangguran dengan beberapa ratus ribu rupiah yang harus ditanggung. Sempat stress? Iya! Dan untungya saat itu belum musih galau seperti sekarang, jadi stress saya tidak berkelanjutan.

Di masa-masa pengangguran itu lah saya berkontemplasi. Merenung sebanyak-banyaknya, karena memang tidak ada hal yang lain yang bisa saya lakukan selain merenung. Di ujung perenungan, saya mulai menyusun rencana hidup yang kira-kira seperti ini;

Bekerja di pabrik selambat-lambatnya 3 tahun terhitung mulai waktu dibuatnya rencana hidup itu—setidaknya hingga kredit motor saya lunas. Selanjutnya, mencari pekerjaan kantoran yang jam kerjanya tidak begitu menyita waktu—tentunya tidak terlalu banyak tekanan. Kebetulan waktu itu di dekat rumah saya sedang dibangun sebuah SMK, jadi lah saya memasukkan lamaran ke situ. “Bismillah, semoga diterima,” begitu doa saya ketika memasukkan lamaran. Alasan lain kenapa memilih kerja kantoran dengan jam kerja bisa diajak kompromi adalah karena suatu saat nanti saya akan berkeluarga. Saya ingin lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang di tempat kerja. Klise sih, tapi memang begitu adanya. Setelah urusan pekerjaan beres, saya ingin menikah. Dengan siapa? Belum tahu!

Setelah 1 bulan menganggur, akhirnya saya mendapat panggilan kerja di sebuah pabrik—masih dekat rumah. Lagi-lagi saya ditempatkan di bagian produksi. Karena sebaik-baiknya tempat untuk orang berijazah SMA sederajat memang bagian produksi. Tidak ada yang berubah dalam hidup saya. Rutinitas harian saya adalah masuk kerja jam 7 pagi, pulang jam 6 petang atau 11 malam. Jika sedang beruntung, saya bisa pulang jam 3 sore. Itu pun sangat jarang. Selama hampir 3 tahun, saya menjalani hari-hari seperti itu. Yang paling menyebalkan adalah ketika hari libur dan diwajibkan untuk lembur. Kan enak banyak uang? Enak sih, gajiannya besar, tapi menyedihkan. Saya sama sekali gak tahu ke mana larinya uang-uang itu. Selama bekerja di pabrik sekian tahun, saya sama sekali tidak bisa menyisakan uang untuk menabung.

Akhirnya saat yang saya tunggu-tunggu datang juga. Saya mendapat panggilan kerja di SMK—yang saat masih satu gedung dengan SMP. Ini dekat rumah banget. Hanya berjarak 200 meter dari tempat saya tinggal. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengundurkan diri dari pabrik. Persetan dengan sisa waktu kontrak. Yang penting saya bisa keluar.

Beberapa bulan kemudian, gedung SMK rampung dibuat. Saya ditawari oleh atasan, mau ikut ke SMK atau tetap di SMP? Kalau saya ya ambil enaknya saja. Saya pilih yang terdekat dengan rumah. Setidaknya bisa meniadakan biaya transportasi. Secara, gaji seorang honorer kan jauh dari kata tinggi. Alhamdulillah buat saya cukup-cukup saja. Termasuk bisa membantu biaya kuliah.

Begitu lah ceritanya, kenapa saya bisa sampai berada di sini sekarang. Bisa bekerja kantoran dengan jam kerja yang tidak terlalu banyak seperti sekarang. Bisa bekerja tanpa adanya tekanan. Bahkan bisa kuliah dan mendapat ijazah D3. Bonusnya adalah bisa sering jalan-jalan dan nambah pengalaman.

Dan saat saya menulis postigan ini, saya mulai berpikir, kenapa tidak memasukkan cita-cita saya dulu ke rencana hidup? Kenapa saya tanggung banget menyusun keinginan dalam hidup? Sementara Tuhan begitu Maha Kaya. Coba kalau saya memasukkan psikolog dalam rencana hidup waktu itu, bisa jadi Tuhan akan mewujudkan. Njuk jadi serakah gini haaa...

Happy birthday to me. Wish me better in every way.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar